KEBIJAKAN CUKAI

DDTC Fiscal Research: Ada 3 Masalah Fundamental Kebijakan Cukai Rokok

Redaksi DDTCNews
Selasa, 21 Juli 2020 | 15.00 WIB
DDTC Fiscal Research: Ada 3 Masalah Fundamental Kebijakan Cukai Rokok

Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro saat memberikan pemaparan materi dalam webinar bertajuk “Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang Berkepastian dan Berimbang”, siang ini, Selasa (21/7/2020).

JAKARTA, DDTCNews – DDTC Fiscal Research mengidentifikasi adanya tiga permasalahan fundamental terkit dengan kebijakan cukai hasil tembakau – atau dikenal dengan cukai rokok – yang berlaku saat ini.

Hal ini diungkapkan Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro dalam webinar bertajuk “Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang Berkepastian dan Berimbang”, siang ini, Selasa (21/7/2020). Webinar ini sebagai bagian dari rangkaian peringatan HUT ke-13 DDTC.

“Kebijakan CHT yang berlaku saat ini cenderung kompleks dan tidak menentu,” ujar Denny.

Adapun ketiga permasalahan fundamental tersebut antara lain, pertama, struktur tarif dan produk hasil tembakau yang sangat kompleks. Berdasarkan studi World Bank pada 2018, sambungnya, sistem strata tarif CHT di Indonesia merupakan salah satu yang paling rumit di dunia.

Kerumitan itu terlihat dari sistem multi-tier berdasarkan produk tembakau, jumlah produksi, dan harga jual eceran (HJE) per unit. Padahal, lanjut Denny, skema penggolongan tarif yang kompleks ini cenderung ditinggalkan dan tidak umum diterapkan di berbagai negara.

Kedua, kenaikan tarif CHT dan HJE yang tidak menentu, baik antargolongan maupun antarjenis hasil tembakau. Penetapan tarif CHT dan HJE yang tidak konsisten, jelas Denny, dapat menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap produktivitas para pelaku pasar.

Kondisi ini juga dapat berpengaruh pada peredaran rokok ilegal. Apabila kenaikan HJE terlalu tinggi, konsumen berpotensi memilih untuk mengkonsumsi produk ilegal dengan harga yang lebih murah. Apalagi, HJE merupakan harga penentu keputusan konsumen.

Ketiga, adanya ketidaksesuaian antara harga produk tembakau yang beredar di pasaran (harga transaksi pasar/HTP) dengan harga yang didaftarkan atau tertera pada pita cukai di kemasan (HJE). Akibatnya, predatory pricing dan perang harga antarpabrikan sulit untuk dihindari sehingga fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi rokok sulit diterapkan.

Denny menjelaskan konsekuensi dari tiga permasalahan terkait dengan kebijakan CHT sangat beragam. Konsekuensinya mulai dari potensi masih adanya shortfall untuk penerimaan CHT pada 2020 – termasuk karena pelemahan ekonomi sebagai dampak Covid-19 – hingga level of playing field yang tidak setara.

Terkait dengan penerimaan negara, pada 2018 dan 2019, kontribusi CHT terhadap penerimaan perpajakan sebesar 10,07% dan 10,67%.  Padahal pada satu dekade yang lalu, kontribusinya hanya berkisar 8%.  

Kemudian, terkait dengan level of playing field, ketidaksetaraan terjadi antara pelaku bisnis yang memiliki hubungan istimewa dengan berbagai pabrikan besar dan para pelaku bisnis skala mikro dan menengah yang independen karena banyaknya strata tarif CHT di Indonesia.

“Sistem multi-tier untuk strata tarif CHT sebagaimana diterapkan saat ini juga rawan untuk disalahgunakan oleh para pelaku bisnis,” imbuh Denny.

Pasalnya, struktur tarif CHT yang lebih sederhana dapat mempermudah fungsi pengawasan serta menurunkan biaya administrasi. Selain itu, struktur tarif CHT yang tidak kompleks dinilai lebih sejalan dengan fungsi pengendalian konsumsi rokok.

Adanya permasalahan fundamental dan konsekuensinya tersebut pada akhirnya membuat fungsi CHT, baik untuk penerimaan negara maupun pengendalian konsumsi rokok di Indonesia, menjadi tidak bisa berjalan optimal.

Mencermati kondisi terkini yang terjadi di sektor IHT dengan berbagai tujuan yang digagas untuk CHT, DDTC Fiscal Research kemudian mencatat pentingnya untuk menciptakan suatu iklim usaha yang kondusif.

“Dengan kata lain, kebijakan CHT di Indonesia sudah seharusnya mengakomodasi persaingan yang dirasa adil dan tidak berpihak,” tegas Denny.

Kajian komprehensif mengenai permasalahan fundamental dan konsekuensi yang ditimbulkan dari kebijakan CHT saat ini bisa Anda simak juga dalam Policy Note DDTC Fiscal Research bertajuk “Kebijakan Cukai Hasil Tembakau yang Berimbang & Berkepastian”.

Policy Note tersebut disusun oleh Partner Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji, Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro, dan Senior Researcher DDTC Fiscal Research Dea Yustisia. Download Policy Note dalam artikel 'Rilis! Begini Kebijakan Cukai Rokok yang Berkepastian dan Berimbang'. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Estu Kresnha
baru saja
CHT menjadi salah satu penyumbang penerimaan negara yang signifikan. Pembenahan aturan CHT dapat memberikan dampak yang baik bagi penerimaan negara yang saat ini terkontraksi imbas pandemi Covid-19. Simplifikasi aturan tarif CHT contohnya, yang menjadi salah satu rekomendasi yang diberikan oleh DDTC Fiscal Research, selain memberikan kemudahan bagi produsen produk hasil tembakau juga akan memberikan biaya administrasi pajak yang lebih murah untuk pemerintah.