Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 makin disorot publik. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama sejumlah media nasional pada hari ini, Senin (25/11/2024).
Isu kenaikan PPN ini terus mendapat atensi. Sebenarnya, rencana kenaikan PPN menjadi 12% sudah tertuang di dalam Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, urgensinya kian dipertanyakan, apalagi di tengah melemahnya daya beli masyarakat.
Pemerintah sendiri berdalih manfaat dari kenaikan PPN ini akan ikut dirasakan masyarakat. Tambahan penerimaan yang diperoleh dari kenaikan PPN akan dipakai untuk mendanai program peningkatan kesejahteraan, termasuk bantuan sosial (bansos) hingga subsidi.
"Pemerintah akan melanjutkan bantuan langsung tunai, program keluarga harapan, program Indonesia pintar, subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, subsidi pupuk, semuanya membutuhkan dana dari pembayaran pajak, di antaranya dari kenaikan 1% ini," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti.
Untuk mengulas baik-buruknya kenaikan PPN, Harian Kompas mengangkat topik ini menjadi salah satu headline-nya pada hari ini.
Kebijakan menaikkan tarif PPN dinilai bakal lebih banyak membawa kerugian ketimbang keuntungan. Jika tarif pajak dinaikkan ketika daya beli masyarakat melemah maka berbagai sendi perekonomian akan tergerus. Pada saat yang sama, potensi penerimaan dari kenaikan PPN dikhawatirkan tidak akan optimal.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan pemerintah bahwa 2025 menjadi tahun penentu Indonesia dalam melakukan lompatan ekonomi dalam meraih target pertumbuhan 8% dan cita-cita menyandang status negara maju.
Namun, mesin utama pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi masyarakat, dikhawatirkan akan tergerus ketika kenaikan PPN dilakukan.
Apalagi, imbuh Faisal, tanda-tanda pelemahan konsumsi masyarakat sudah terlihat. Hal ini tecermin dari jumlah kelas menengah yang makin menyusut. Dalam 5 tahun terakhir, 9,7 juta orang kelas menengah turun kelas. Padahal kelas menengah selama ini menyumbang 40% dari total konsumsi nasional.
Pada saat yang sama, kenaikan PPN diprediksi tidak akan mengerek banyak-banyak penerimaan. Pemerintah perlu diingatkan mengenai risiko shortfall penerimaan pajak di tengah pelemahan konsumsi domestik.
Selain bahasan mengenai kenaikan PPN, ada pula topik-topik lain yang juga diangkat oleh media massa nasional pada hari ini. Di antaranya, periode pemanfaatan PPh final UMKM yang segera habis, rencana digelarnya tax amnesty, dan progres penyusunan upah minimum provinsi (UMP).
Menyambung pembahasan soal kenaikan tarif PPN di atas, Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati meminta pemerintah untuk mempertimbangkan ulang rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 memang telah disepakati dalam UU HPP. Namun, proyeksi ekonomi pada 2024 dan 2025 tidaklah sekuat perkiraan pemerintah dan DPR ketika menyusun UU HPP tersebut.
"Saat UU HPP dibentuk pada 2021, asumsi yang digunakan kala itu ialah perekonomian pada 2025 diperkirakan sudah pulih bahkan meningkat. Namun, dari seluruh indikasi indikasi yang ada kondisi ekonomi kita saat ini, nyatanya sedang kurang baik," katanya. (DDTCNews)
Anggota Komisi VI DPR Asep Wahyuwijaya menilai berakhirnya periode pemanfaatan skema PPh final dengan tarif 0,5% pada tahun depan akan membuat UMKM orang pribadi makin sulit bersaing di pasar.
Asep mengatakan skema PPh final selama ini menjadi fasilitas yang diberikan untuk mendukung pengembangan UMKM. Menurutnya, dibutuhkan dukungan yang besar dari pemerintah agar UMKM terus bertambah dan bisa naik kelas.
"UMKM perlu tumbuh 12,5%, dan ini tahun terakhir UMKM PPh-nya 0,5%. Tahun depan itu berlakunya normal," katanya dalam rapat kerja bersama pemerintah. (DDTCNews)
Pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (coretax administration system) tetap mewajibkan pengusaha kena pajak (PKP) untuk mengunggah faktur pajak ke sistem yang dimiliki oleh DJP.
Merujuk pada Pasal 387 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81/2024, faktur pajak harus diunggah oleh PKP menggunakan modul dalam portal wajib pajak dan harus memperoleh persetujuan dari DJP.
Bila faktur pajak berbentuk elektronik yang dibuat oleh PKP tidak mendapatkan persetujuan oleh DJP maka dokumen tersebut dianggap bukan merupakan faktur pajak. (DDTCNews)
Pemerintah berencana menggulirkan kembali program pengampunan pajak alias tax amnesty. DPR memasukkan revisi UU 11/2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
DPR membocorkan tax amnesty ini rencananya akan digelar pada 2025. Saat dikonfirmasi, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan belum mau menyampaikan perincian revisi UU Tax Amnesty.
Tax Amnesty Jilid III ini diadakan, salah satunya, untuk mengerek penerimaan pajak. Menurut Bob, rencana tax amnesty ini sesuai dengan komitmen pemerintah untuk mengejar pengemplang pajak serta memacu penerimaan dari aktivitas underground economy dan shadow economy. (Kontan)
Penetapan upah minimum provinsi (UMP) molor dari jadwal yang semestinya, yakni 21 November 2024. Pemerintah berdalih masih perlu waktu untuk mendesai skema upah yang selaras dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Penetapan UMP ini makin kompleks karena bertepatan dengan momentum pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada risiko guncangan politik jika penetapan UMP dilakukan sebelum pemilihan kepala daerah.
Penetapan UMP akan menimbang sejumlah hal, terutama kondisi ekonomi, kemampuan dunia usaha, serta insentif untuk mendorong konsumsi. Meski molor, pemerintah sendiri memastikan UMP 2025 tetap akan mengalami kenaikan. (Bisnis Indonesia) (sap)