Pekerja melakukan bongkar muat tandan kelapa sawit di PTPN IV Cibungur, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (12/7/2024). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan sejak Mei 2024 penyaluran dana program peremajaan sawit rakyat (PSR) untuk petani meningkat dari Rp30 juta per hektare menjadi Rp60 juta per hektare. ANTARA FOTO/Henry Purba/agr/tom.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menargetkan penerimaan penerimaan bea keluar senilai Rp4,5 triliun pada 2025. Angka ini turun 74,29% dari target tahun ini senilai Rp15,6 triliun.
Dokumen Buku II Nota Keuangan 2025 menyatakan penurunan target penerimaan bea keluar ini antara lain mempertimbangkan fluktuasi harga komoditas. Pada tahun ini, terjadi tren penurunan harga beberapa komoditas, terutama minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
"Dengan memperhatikan fluktuasi harga komoditas terutama CPO serta realisasi dan outlook bea keluar tahun sebelumnya, penerimaan bea keluar dalam RAPBN tahun 2025 diperkirakan sebesar Rp4.470,6 miliar," bunyi dokumen tersebut, dikutip pada Sabtu (31/8/2024).
Dokumen ini menjelaskan penerimaan bea keluar dalam 5 tahun terakhir antara lain dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas utama dunia terutama yang dikenakan pungutan ekspor, seperti produk kelapa sawit dan mineral. Selain itu, penerimaan bea keluar juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah terkait ekspor komoditas terutama terkait hilirisasi SDA.
Penerimaan bea keluar pada 2020 tumbuh 21,3% seiring dengan kenaikan harga komoditas, terutama produk kelapa sawit dan tembaga. Pada saat itu, juga terjadi peningkatan permintaan dari negara tujuan ekspor utama pada akhir tahun.
Peningkatan harga komoditas terutama harga CPO berlanjut pada 2021 yang disebabkan oleh adanya kebijakan lockdown yang dilakukan negara produsen CPO lainnya sehingga pasokan CPO dunia relatif terbatas. Pada akhirnya, penerimaan bea keluar pada 2021 mampu tumbuh signifikan sebesar 708,2%.
Tren peningkatan harga komoditas terutama CPO serta mineral masih berlanjut pada 2022, yang disebabkan oleh eskalasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina sehingga berdampak pada berkurangnya pasokan di pasar dunia. Hal ini membuat penerimaan bea keluar pada akhir 2022 mampu tumbuh 15,2%.
Selanjutnya pada 2023, moderasi harga komoditas utama dunia, terutama CPO, serta menurunnya volume ekspor mineral dan penyesuaian tarif bea keluar produk mineral seiring dengan kemajuan hilirisasi SDA memberikan tekanan pada penerimaan bea keluar. Pada tahun tersebut, penerimaan bea keluar pun terkontraksi 65,9%.
"Selanjutnya penerimaan bea keluar pada tahun 2024 diperkirakan akan tumbuh 15,0% yang dipengaruhi terutama kebijakan relaksasi ekspor tembaga," bunyi dokumen tersebut. (sap)