Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan beberapa tujuan dibangunnya coretax administration system oleh Ditjen Pajak (DJP). Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (2/8/2024).
Sri Mulyani menjelaskan coretax administration system merupakan bagian dari reformasi sistem teknologi informasi serta manajemen data dan proses bisnis berdasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 40/2018
“Transformasi Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan digital teknologi dan manajemen data ini melengkapi reformasi organisasi, SDM, proses bisnis dan peraturan,” katanya.
Sri Mulyani menuturkan transformasi tersebut merupakan keniscayaan, kebutuhan, dan keharusan untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak dan peningkatan kepatuhan sukarela. Pajak mendukung dan menopang pembangunan berkelanjutan.
Terdapat beberapa tujuan pembangunan coretax. Pertama, melakukan automasi dan digitalisasi layanan administrasi perpajakan. Layanan itu mulai dari pendaftaran, ekstensifikasi, pembayaran, pelaporan, layanan wajib pajak, data pihak ketiga, serta pertukaran informasi.
Kedua, meningkatkan data analytics. Hal ini terkait dengan kepatuhan wajib pajak berbasis risiko, business intelligence, serta pengelolaan akun wajib pajak. Akun ini terdiri atas 3 modul, yaitu revenue accounting system, taxpayer profile, serta potential revenue monitoring.
Ketiga, menciptakan transparansi akun wajib pajak. Dengan adanya CTAS, ada kemampuan untuk melihat seluruh transaksi. Hal ini dinilai akan mempermudah urusan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan.
Keempat, memperbaiki layanan perpajakan menjadi lebih cepat serta dapat diakses dari berbagai saluran. Layanan perpajakan dapat dipantau secara real time oleh wajib pajak. Kelima, menciptakan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih berkeadilan bagi wajib pajak.
Keenam, menyediakan data yang lebih kredibel (valid dan terintegrasi) serta memperluas jaringan integrasi data pihak ketiga. Ketujuh, menciptakan knowledge management for better decision serta menjadikan DJP sebagai data and knowledge driven organization.
Kedelapan, membuat laporan keuangan DJP yang prudent dan accountable dengan adanya revenue accounting system. Saat ini, DJP menangani 70 juta wajib pajak dengan volume e-faktur mencapai 776 juta, SSP sebanyak 74 juta, dan SPT sebanyak 31 juta.
Selain coretax, ada pula ulasan lainnya terkait dengan perpajakan di antaranya mengenai proyeksi World Bank terhadap penerimaan pajak karbon di Indonesia. Ada pula ulasan mengenai modifikasi Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan web e-faktur.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system akan meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio) sebesar 1,5% dari PDB.
Sri Mulyani menambahkan pemerintah juga akan tetap melakukan perbaikan dari sisi regulasi dan kebijakan dalam rangka meningkatkan kinerja tax ratio secara lebih lanjut.
"Tax ratio yang berasal dari perbaikan organisasi, administrasi, dan sistem IT bisa memberikan kontribusi sebesar 1,5% dari PDB, dan perbaikan policy dan regulasi bisa memberikan hingga 3,5% dari PDB," katanya. (DDTCNews/Kompas/Kontan/Antara)
World Bank memperkirakan implementasi pajak karbon pada tahun pertamanya hanya bakal menghasilkan tambahan penerimaan pajak senilai Rp200 miliar.
Sebab, tarif pajak karbon sebagaimana diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ditetapkan paling rendah hanya senilai Rp30.000 per ton CO2 ekuivalen.
"Tarif pajak karbon yang diusulkan sangat rendah dan diperkirakan memberikan dampak kecil terhadap pendapatan dan pengurangan emisi dalam jangka pendek," tulis World Bank dalam laporannya. (DDTCNews)
DJP merilis surat edaran mengenai penerapan multilateral instrument (MLI) atas persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan 5 negara mitra, yakni Meksiko, Bulgaria, Romania, Afrika Selatan, serta Hong Kong.
Surat edaran dirjen pajak yang dimaksud antara lain SE-5/PJ/2024, SE-6/PJ/2024, SE-7/PJ/2024, SE 8/PJ/2024, dan SE-9/PJ/2024 yang seluruhnya ditetapkan oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo pada 23 Juli 2024.
"Surat edaran dirjen ini untuk memberitahukan seluruh unit di lingkungan DJP mengenai saat berlaku, saat berlaku efektif, dan pokok-pokok pengaturan dalam konvensi yang berlaku untuk P3B Indonesia-Meksiko," bunyi SE-5/PJ/2024. (DDTCNews)
Gangguan yang sempat terjadi pada e-faktur web based sudah pulih sepenuhnya, Rabu (31/7/2024) malam. Dengan begitu, DJP menegaskan tidak ada relaksasi batas akhir pelaporan SPT Masa PPN untuk masa Juni 2024.
Tak cuma itu, DJP juga memastikan ketentuan mengenai sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN juga berlaku normal.
"Sampai saat ini tidak terdapat kebijakan perpanjangan waktu pelaporan SPT Masa PPN. Batas waktu pelaporan SPT Masa PPN dan sanksi administrasi tetap mengacu ketentuan yang ada," tulis Kring Pajak merespons pertanyaan netizen. (DDTCNews)
PBB mendorong otoritas pajak di berbagai yurisdiksi untuk dapat mengembangkan transfer pricing compliance assurance programme dalam rangka meningkatkan kepatuhan para wajib pajak grup korporasi multinasional.
Menurut PBB, program tersebut mampu memitigasi tergerusnya penerimaan pajak akibat abusive transfer pricing arrangement, mengurangi potensi terjadinya sengketa, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
"Ketiganya dapat dicapai dengan tetap memaksimalkan efisiensi dan efektivitas sumber daya yang dibutuhkan untuk mengelola sistem perpajakan," sebut PBB dalam Transfer Pricing Compliance Toolkit yang baru dirilis pada bulan lalu. (DDTCNews) (rig)