Ilustrasi
JAKARTA, DDTCNews – Dirjen Pajak berwewenang untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak atau untuk tujuan lain. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pemeriksaan ini dilaksanakan oleh pemeriksa pajak.
Untuk keperluan pemeriksaan, pemeriksa pajak berwenang melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan atau objek yang terutang pajak. Selain itu, pemeriksa pajak juga berwenang meminta keterangan lain yang diperlukan.
“Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, wajib pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan,” bunyi penjelasan Pasal 29 ayat (3) UU KUP, dikutip pada Kamis (27/6/2024).
Secara lebih terperinci, berdasarkan penjelasan Pasal 29 ayat (3) UU KUP, keterangan tertulis yang dimaksud di antaranya bisa berupa 4 bentuk. Pertama, surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Kedua, keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan kepada pemeriksa pajak sesuai dengan aslinya. Ketiga, surat pernyataan tentang kepemilikan harta. Keempat, surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.
Sementara itu, keterangan lisan dapat berupa 3 bentuk, yaitu wawancara tentang proses pembukuan wajib pajak; wawancara tentang proses produksi wajib pajak; dan/atau wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus.
Terkait dengan wewenang tersebut, wajib pajak yang diperiksa wajib untuk memenuhi keterangan lain yang diminta. Selain di dalam UU KUP, kewajiban wajib pajak untuk memberikan keterangan lisan dan/atau keterangan tertulis juga tertuang dalam PMK 17/2013.
Sebagai informasi, kewajiban memberikan keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan itu berlaku, baik untuk pemeriksaan lapangan maupun pemeriksaan kantor.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian keterangan lisan dan/atau keterangan tertulis itu dapat disimak dalam UU KUP dan PMK 17/2023 s.t.d.t.d PMK PMK 18/2021. (rig)