Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Penggunaan nomor identitas tempat kegiatan usaha (NITKU) akan dimulai bersamaan dengan implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system (CTAS). Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (6/6/2024).
Dirjen Pajak Suryo Utomo menjelaskan NITKU memang disiapkan untuk mendukung coretax system. Karenanya, penerapannya pun akan menunggu kesiapan implementasi coretax system.
"NITKU itu dipakai untuk coretax sebetulnya. Kayak 16 digit itu [NPWP], kalau cabangnya NITKU. Jadi sebetulnya itu dipakai di mana? Konteksnya kan coretax, sekarang ini kita padan-padankan. Kalau memang bisa sekali, ya sekali kita jalanin, kalau belum ya kita transisikan," kata Suryo selepas rapat bersama Komisi XI.
Sejalan dengan persiapan coretax, DJP juga tengah menyiapkan regulasi tentang NITKU. Pasalnya, saat ini masih banyak regulasi DJP yang memuat ketentuan NPWP cabang, bukan NITKU. Contoh, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 yang masih mengatur tentang NPWP cabang dan tidak memuat ketentuan tentang NITKU.
Sebagai informasi, NITKU adalah nomor identitas yang diberikan untuk tempat kegiatan usaha wajib pajak yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak. NITKU terdiri 22 digit yang terdiri dari 16 digit NPWP dan 6 digit nomor urut cabang.
Selain bahasan mengenai NITKU, ada pula ulasan mengenai mengenai persiapan penerapan coretax system, penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang solusi 2 pilar, serta strategi pemerintah untuk mengejar penerimaan pajak pada tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menargetkan coretax administration system siap berjalan pada tahun ini. Berbarengan dengan coretax, menurutnya, CEISA serta Simbara diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa menambah beban perekonomian.
Menurut Sri Mulyani, pengembangan coretax harus diselesaikan pada tahun ini untuk mendukung upaya peningkatan penerimaan. Sementara itu, CEISA yang saat ini sudah diperbarui hingga versi 4.0 juga perlu terus dikembangkan.
"Tujuannya adalah untuk meningkatkan tax ratio tanpa membuat ekonomi kita mengalami tekanan," katanya dalam rapat bersama Komisi XI DPR. (DDTCNews)
Transformasi digital yang dilakukan Ditjen Pajak (DJP) melalui coretax administration system akan berdampak pada automasi sejumlah proses bisnis.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi mengatakan dengan adanya coretax administration system (CTAS), urusan administrasi lebih banyak menggunakan mesin dibandingkan pegawai DJP.
“Intinya adalah more machine, less people. Jadi, kegiatan administrasinya akan more machine,” katanya dalam sebuah webinar. (DDTCNews)
Pengembangan coretax administration system menjadi momentum bagi DJP menjadi future state organization.
Iwan Djuniardi mengatakan dalam konsep future state organization, ada transformasi menuju institusi yang berbasis teknologi digital. Nantinya, DJP akan memiliki karakter digital native.
Karakter itu, antara lain, pertama, berinovasi dengan kecepatan yang jauh lebih besar dibandingkan bisnis tradisional. Kedua, merangkul risiko sambil terus belajar dan beradaptasi.
Ketiga, berorientasi pada kebutuhan masyarakat atau customer-centric serta sumber daya manusia yang berdaya guna. Keempat, mendorong operasional yang efisien, sumber pendapatan baru, serta loyalitas customer melalui penggunaan teknologi dan data. (DDTCNews)
Sri Mulyani Indrawati mengatakan masih ada 1 yurisdiksi yang belum menyetujui solusi 2 pilar yang diusung oleh OECD, yakni Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan terus memperhatikan proses negosiasi dan adopsi global atas kedua pilar.
"Ini sudah menjadi perhatian dan diskusi intens di G-20, tinggal 1 negara dan mengenai 2 pilar dalam hal ini dan bagaimana mereka bisa mengadopsi, maka kemudian akan menimbulkan global taxation agreement terutama untuk 2 pilar, yakni minimum taxation dan pajak dari perusahaan multinasional terutama digital," ujar Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI. (DDTCNews)
Sri Mulyani Indrawati menargetkan pendapatan negara pada 2024 sebesar 12,14% hingga 12,36% dari produk domestik bruto (PDB).
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan melaksanakan kebijakan collecting more namun dengan tetap menjaga iklim investasi di dalam negeri. Reformasi perpajakan akan terus dilakukan sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Selain itu, penguatan coretax system, perbaikan sistem CEISA, dan pelaksanaan aplikasi Simbara juga dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan dan perluasan basis pajak.
Tak ketinggalan, peningkatan rasio pajak alias tax ratio juga akan dilakukan. Maklum, tax ratio Indonesia masih ketinggalan dibandingkan negara lain, khususnya negara-negara maju. (Kontan) (sap)