Ilustrasi. Pekerja berjalan keluar usai bekerja di kawasan industri berbasis nikel di Kecamatan Bahodopi, Sulawesi Tengah, Jumat (26/1/2024). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/aww.
JAKARTA, DDTCNews – Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan pensiunan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 dibedakan menjadi 2.
Pertama, penghitungan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh setiap masa pajak selain masa pajak terakhir. Kedua, penghitungan kembali PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam 1 tahun pajak/bagian tahun pajak.
“[Penghitungan kembali PPh Pasal 21] … yang digunakan sebagai dasar pengisian bukti pemotongan PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir,” bunyi penggalan petunjuk umum penghitungan PPh Pasal 21 pegawai tetap dan pensiunan dalam Lampiran PMK 168/2023, dikutip pada Rabu (31/1/2024).
Adapun penghitungan kembali PPh Pasal 21 terutang tersebut dilakukan pada:
Besarnya PPh Pasal 21 terutang pada setiap masa pajak selain masa pajak terakhir dihitung dengan menggunakan tarif efektif bulanan dikalikan dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai tetap dan pensiunan dalam 1 masa pajak.
Adapun tarif efektif bulanan itu sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tentang tarif pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan wajib pajak orang pribadi.
Jumlah penghasilan bruto untuk pegawai tetap adalah jumlah bruto seluruh penghasilan, baik bersifat teratur maupun tidak teratur (Pasal 5 ayat (1) huruf a PMK 168/2023), yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja dalam 1 masa pajak.
Sementara itu, jumlah penghasilan bruto untuk pensiunan adalah jumlah bruto seluruh penghasilan, berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya (Pasal 5 ayat (1) huruf b PMK 168/2023), yang diterima atau diperoleh dari pembayar uang terkait pensiun berkala dalam 1 masa pajak.
Besarnya PPh Pasal 21 terutang pada masa pajak terakhir dihitung berdasarkan pada jumlah PPh Pasal 21 terutang dalam 1 tahun pajak/bagian tahun pajak dikurangi dengan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada setiap masa pajak selain masa pajak terakhir.
PPh Pasal 21 terutang dalam 1 tahun pajak/bagian tahun pajak dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dikalikan dengan jumlah penghasilan kena pajak. Jumlah penghasilan kena pajak sebagai dasar pengenaan tarif dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
Jumlah penghasilan kena pajak dihitung berdasarkan pada jumlah penghasilan neto dalam 1 tahun pajak/bagian tahun pajak dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Jumlah penghasilan neto untuk pegawai tetap yaitu jumlah bruto seluruh penghasilan dikurangi dengan biaya jabatan, iuran terkait program pensiun dan hari tua, dan zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat wajib dalam tahun pajak bersangkutan.
Sementara itu, jumlah penghasilan neto untuk pensiunan yaitu jumlah bruto seluruh penghasilan dikurangi dengan biaya pensiun dan zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat wajib dalam tahun pajak bersangkutan.
Adapun zakat/sumbangan keagamaan itu dibayarkan melalui pemberi kerja/pembayar uang pensiun berkala kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat, dan lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang berdasarkan pada saat dimulai atau berakhirnya kewajiban pajak subjektif.
Jika jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa pajak selain masa pajak terakhir lebih besar daripada jumlah PPh Pasal 21 terutang dalam tahun pajak bersangkutan, kelebihan tersebut wajib dikembalikan oleh pemotong pajak kepada pegawai tetap dan pensiunan.
Pengembalian kelebihan tersebut dilakukan beserta dengan pemberian bukti pemotongan (bupot) PPh Pasal 21 paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak terakhir.
“Tidak termasuk kelebihan PPh Pasal 21 yang dikembalikan … yaitu PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah,” penggalan petunjuk umum penghitungan PPh Pasal 21 pegawai tetap dan pensiunan. (kaw)