Mahasiswa memainkan papan permainan Emisi pada kegiatan workshop edukasi solusi iklim di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (14/10/2023). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/hp.
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian ESDM mencatat realisasi penurunan gas rumah kaca pada 2022 mampu mencapai 118,2 juta ton CO2, lebih tinggi dari target penurunan emisi yang ditetapkan yakni sebesar 116 juta ton CO2.
Dengan tercapainya target penurunan gas rumah kaca pada 2022, Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwinanda mengatakan pihaknya berkomitmen untuk memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 32% dengan usaha sendiri atau sebesar 41% dengan bantuan dunia internasional. Hal itu sesuai dengan komitmen Indonesia dalam nationally determined contribution (NDC).
"Jadi kita sekarang sudah bonus sekitar 2 juta ton CO2. Kalau bisa, ke depan bonus ini kita ingin kita bisa perdagangkan di pasar karbon, karena we do better than our target. Sejalan dengan komitmen dan ambisi besar Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca," ujar Yudo, dikutip Senin (16/10/2023).
Kementerian ESDM mencatat sektor energi memberikan kontribusi besar terhadap penurunan emisi pada tahun lalu, yakni mencapai 91,5 juta ton CO2.
Kontribusi sektor energi dalam penurunan emisi gas rumah kaca tercatat terus meningkat. Pada 2019, Â penurunan emisi dari sektor energi tercatat mencapai 54,8 juta ton dan naik menjadi 70 juta ton CO2 pada 2021.
Penurunan emisi gas rumah kaca pada sektor energi timbul berkat aksi efisiensi energi, pemanfaatan energi baru dan terbarukan, penggunaan bahan bakar rendah karbon, serta penggunaan teknologi pembangkit yang lebih bersih.
Dengan tren ini, Yudo mengatakan Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Guna mempercepat tercapai NZE, Yudo mengatakan Indonesia membutuhkan dukungan pendanaan dari komunitas global dalam rangka mendorong transisi energi.
"Selanjutnya adalah teknologi, kita membutuhkan teknologi yang baru, yang lebih efisien, lebih produktif, karena kita juga masih negara berkembang, sehingga diperlukan teknologi yang affordable juga," kata Yudo. (sap)