Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Upaya otoritas pajak untuk mengikis shadow economy dan memungut pajak dari sektor tersebut seringkali terhalang oleh kualitas data yang kurang memadai.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan Ditjen Pajak (DJP) memang menerima banyak data dan informasi dari berbagai pihak. Namun, terdapat beberapa data yang formatnya belum memenuhi standar.
"Banyak yang perlu kita perbaiki. Dalam konteks internasional pun, diskusi kami dengan berbagai otoritas pajak masih sama ini. Kita masih kadang-kadang ada beberapa data dari negara lain tidak bisa kita buka karena strukturnya tidak standar," ujar Yon, Selasa (29/8/2023).
Hal yang sama juga terjadi atas data dan informasi dari kementerian dan lembaga (K/L) serta pemerintah daerah (pemda). "Beberapa data yang kami terima dari instansi itu beberapa kualitasnya perlu kita improve," ujar Yon.
Terlepas dari permasalahan-permasalahan tersebut, Yon mengatakan pemerintah tetap memiliki komitmen untuk mengatasi masalah shadow economy dan mengoptimalkan pajak dari sektor-sektor yang selama ini belum tercatat dalam sistem administrasi pajak.
"Isu kita adalah bagaimana untuk wajib pajak-wajib pajak shadow economy? Misalnya, sudah bukan UMKM tetapi berada di bawah radar. Inilah kekuatan data yang kami coba tingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu," ujar Yon.
Untuk diketahui, shadow economy adalah semua aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, aktivitas tersebut sama sekali tidak terdaftar dan tercatat dalam administrasi pemerintah.
Pelaku shadow economy seringkali tidak terdaftar sebagai wajib pajak sehingga memperlebar selisih antara jumlah wajib pajak yang terdaftar dan yang seharusnya terdaftar. Akibatnya, terdapat potensi pajak yang tidak tergali. Di banyak negara, seringkali aspek yang memberikan kontribusi besar terhadap tax gap adalah shadow economy. (sap)