Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pengembangan manufaktur energi terbarukan di Asean berpotensi meraup penerimaan negara sejumlah US$90 hingga US$100 miliar pada 2030.
Dalam publikasi yang disusun Asian Development Bank (ADB) bersama beberapa organisasi lainnya, mereka menilai negara perlu lebih serius menggarap manufaktur energi terbarukan agar memperoleh manfaat ekonomi sekaligus mendukung penurunan emisi karbon.
"Asia Tenggara sudah berada pada posisi yang baik untuk memenuhi permintaan input manufaktur di sektor energi terbarukan," bunyi laporan berjudul Renewable Energy Manufacturing: Opportunities For Southeast Asia, dikutip pada Senin (28/8/2023).
Modal negara Asia Tenggara dalam mengembangkan manufaktur tersebut juga memadai. Sebab, negara di kawasan ini telah menghasilkan 9%-10% sel dan modul fotovoltaik (PV) surya di dunia, sekitar 50% produksi nikel global, serta 6%-10% produksi kendaraan listrik roda 2.
Tak hanya itu, Asean punya keunggulan alami untuk mendukung peningkatan produksi manufaktur energi terbarukan, yaitu potensi teknis tenaga surya sebesar 16 terawatt (TW), cadangan nikel 25%, cadangan kobalt 10%, dan 25% pasar kendaraan roda 2 global.
Laporan ADB juga menyebutkan beberapa sektor manufaktur yang dapat dioptimalkan oleh negara-negara Asia Tenggara sehingga dapat meraup keuntungan besar dari transisi energi, yaitu PV surya, baterai kendaraan listrik, serta kendaraan listrik roda 2.
Untuk manufaktur baterai kendaraan listrik, Asean dinilai memiliki potensi yang cukup besar dalam mengembangkan rantai nilai manufaktur baterai regional, meningkatkan permintaan nasional dan regional, serta menjadi pusat ekspor regional dan global.
Apabila manufaktur baterai kendaraan listrik terus didorong, beberapa negara Asean berpeluang untuk bersaing dengan pusat manufaktur global seperti Jepang, China, dan Korea Selatan.
Meski begitu, terdapat tantangan yang harus diantisipasi negara Asean untuk bisa mendorong industri manufaktur baterainya antara lain seperti skala permintaan domestik, daya saing manufaktur, potensi ekspor, efektivitas infrastruktur dan jaringan logistik, serta transparansi dalam pengembangan kebijakan dan efektivitas pemerintah.
Lebih lanjut, peluang untuk pengembangan manufaktur kendaraan listrik roda 2 juga sangat terbuka. Kapasitas perakitan kendaraan listrik roda 2 di Asia Tenggara saat ini sekitar 1,4-1,5 juta unit per tahun dan berpotensi tumbuh menjadi 4 juta unit pada 2030.
Namun, terdapat tantangan yang perlu diantisipasi di antaranya seperti rendahnya permintaan dalam negeri, rendahnya potensi laba atas investasi manufaktur, kurangnya ekosistem pemasok, serta inkonsistensi dan kurangnya kedalaman kebijakan pemerintah.
"Tantangan-tantangan ini perlu diatasi melalui kolaborasi sektor pemerintah dan swasta, seperti terus menawarkan insentif keuangan untuk meningkatkan permintaan, serta memberikan insentif kepada produsen seperti pengecualian PPh badan dan bea masuk, dan insentif terkait dengan produksi," bunyi laporan tersebut. (rig)