Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pengadilan Pajak resmi menggunakan aplikasi e-Tax Court mulai pekan ini. Melalui aplikasi tersebut, keperluan administrasi sengketa pajak dan persidangan bisa dipenuhi secara elektronik. Kabar ini cukup mendapat sorotan dari netizen sepanjang pekan terakhir.
Sebelum mengajukan permohonan banding dan gugatan melalui e-tax court, wajib pajak, penanggung pajak, atau kuasa hukum perlu melakukan registrasi terlebih dahulu di etaxcourt.kemenkeu.go.id agar tercatat pemohon terdaftar.
"Pemohon terdaftar adalah wajib pajak atau penanggung pajak, atau kuasa hukum sebagai pemohon banding atau penggugat yang telah memiliki akun sebagai pengguna e-tax court," bunyi Pasal 1 angka 6 Peraturan Ketua Pengadilan Pajak No. PER-1/PP/2023.
Pendaftaran akun bagi wajib pajak dilakukan dengan mengunggah surat permohonan registrasi akun dan surat keterangan terdaftar atau NPWP. Bagi penanggung pajak, perlu untuk mengunggah surat permohonan dan surat keterangan terdaftar; NPWP; KTP; KK; atau paspor.
Untuk kuasa hukum, pendaftaran dilakukan dengan mengunggah surat permohonan registrasi akun dan surat izin kuasa hukum atau kartu tanda pengenal kuasa hukum.
Bagaimana alur pendaftaran akun oleh pihak-pihak yang bersengketa? Baca artikel lengkapnya 'Catat! e-Tax Court Pengadilan Pajak Sudah Bisa Digunakan'.
Selanjutnya, topik tentang pembaruan aturan penyusutan yang baru saja dilakukan oleh DJP juga menarik untuk diulas.
Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 72/2023 yang memperbarui ketentuan tentang penghitungan penyusutan harta berwujud dan amortisasi harta tidak berwujud untuk keperluan perpajakan.
Beleid yang terbit dan berlaku mulai 17 Juli 2023 tersebut merupakan amanat dari Pasal 21 ayat (10) dan Pasal 22 ayat (5) Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Menyusul dirilisnya PMK 72/2023, Ditjen Pajak (DJP) menyampaikan pernyataan resmi yang menjelaskan secara terperinci pokok-pokok aturan yang tertuang dalam beleid tersebut.
"Peraturan tersebut terbit untuk memberikan kepastian hukum sesuai UU HPP dan melakukan simplifikasi peraturan perundang-undangan terkait penyusutan dan amortisasi yang sebelumnya tersebar di beberapa peraturan," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti dalam keterangan tertulis.
DJP lantas menguraikan pokok-pokok pembaruan yang diatur dalam PMK 72/2023. Seperti apa? Simak artikel lengkapnya, 'Ada Pembaruan Aturan Penyusutan, Ditjen Pajak Beri Pernyataan Resmi'.
Selain 2 topik di atas, masih ada sejumlah pemberitaan lain yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, terkait dengan dimudahkannya relawan pajak untuk menjadi konsultan, fitur baru di DJP Online, modus penipuan yang mengatasnamakan DJP, hingga update tentang penerapan cukai plastik.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mempertimbangkan untuk mempermudah proses sertifikasi dan perizinan konsultan pajak khusus bagi mereka yang pernah menjadi relawan pajak.
Kepala Bidang Perizinan dan Kepatuhan Penilai, Aktuaris, dan Profesi Keuangan Lainnya PPPK Sekti Widihartanto mengatakan klausul ini sedang dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam peraturan menteri keuangan (PMK) baru terkait konsultan pajak.
"Ke depan kita mungkin juga akan mempertimbangkan keterlibatan dalam relawan pajak sebagai salah satu elemen yang dipertimbangkan ketika nanti mereka mengajukan menjadi konsultan pajak," ujar Sekti.
DJP menyediakan fitur layanan Permohonan Pemanfaatan Fasilitas & Insentif. Fitur layanan tersebut sudah tersedia pada laman DJP Online.
Untuk menampilkannya, wajib pajak perlu melakukan aktivasi fitur terlebih dahulu pada menu Profil. Secara umum, fitur Permohonan Pemanfaatan Fasilitas & Insentif tersebut menyediakan 3 menu utama, yakni Dashboard, Permohonan, dan Monitoring.
“Permohonan pemanfaatan fasilitas dan insentif yang disampaikan harus lolos validasi yang dilakukan secara system. Setiap permohonan memiliki jenis validasi data yang berbeda disesuaikan dengan regulasi yang berlaku,” bunyi bagian petunjuk pengisian pada menu Permohonan.
Wajib pajak diminta untuk senantiasa mewaspadai modus-modus penipuan yang mengatasnamakan DJP.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas (P2Humas) DJP Dwi Astuti mengatakan DJP telah bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) serta aparat penegak hukum (APH) dalam merespons maraknya modus penipuan ini. Namun, modus penipuan terus berkembang dan mitigasi paling awal ada di tangan wajib pajak sendiri.
Dwi mengatakan domain yang digunakan DJP ketika menyampaikan email hanyalah pajak.go.id dan nomor telepon yang digunakan adalah 1500-200. Lebih lanjut, DJP juga tidak pernah mengirimkan informasi kepada wajib pajak menggunakan format android package kit (.apk).
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menyatakan pemerintah terus mematangkan rencana pengenaan cukai plastik.
Kepala Subdirektorat Penerimaan Direktorat Penerimaan dan Perencanaan Strategi DJBC Lupi Hartono mengatakan cukai plastik perlu dikenakan sebagai bagian dari upaya pengendalian limbah plastik. Saat ini, pemerintah masih mengkaji jenis plastik yang bakal dikenakan cukai.
Terdapat 3 jenis produk plastik yang direncanakan dikenakan cukai. Pertama, kantong belanja plastik atau kresek dengan ketebalan hingga 75 mikron.
Kedua, kemasan/wadah plastik sekali pakai seperti kemasan sachet, botol, kantong (pouch), dan wadah mika. Ketiga, alat makan dan minum sekali pakai seperti sendok, garpu, pisau, piring, sedotan, dan pengaduk plastik.
DJP memberikan penjelasan mengenai pengisian Bank Wide Customer Information (BWCIF) pada masa transisi implementasi penuh penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.
Jika formulir pembukaan rekening untuk BWCIF saat ini masih memiliki 2 elemen nomor indentitas nasabah orang pribadi WNI, NPWP bisa tidak dimasukkan lagi. Namun, bank tersebut harus telah memiliki hak akses dengan Dukcapil untuk melakukan validasi data NIK nasabah.
“Maka NPWP tidak diperlukan lagi untuk di-input oleh nasabah dan data NIK tersebut menggantikan isian NPWP bagi nasabah orang pribadi WNI,” tulis DJP dalam laman resminya. (sap)