Ilustrasi. Sebuah mobil dengan bendera sejumlah partai politik saat Kirab Pemilu di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (26/5/2023). ANTARA FOTO /Mohamad Hamzah/tom.
HAWA pemilu makin hari makin terasa. Jalanan yang biasanya sepi, kini dipenuhi spanduk-spanduk berwarna-warni, termasuk bendera-bendera partai politik, di setiap lekuknya. Mencuri pandangan setiap mata yang melintas.
Wajah-wajah calon legislatif pun terpampang di mana-mana, tersenyum manis dalam seragam warna partai mereka. Sorot mata mereka penuh harapan, berjanji membawa perubahan, mewakili suara-suara rakyat ingin didengar.
2023-2024 menjadi salah satu periode penting dalam perkembangan Indonesia. Rakyat akan memilih anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden beserta wakil presiden pada 14 Februari 2024.
Saat pemilu makin dekat, calon legislatif, partai politik, termasuk calon presiden dan wakilnya ramai-ramai bersiap menyusun dan mengusung program-programnya. Mereka berlomba-lomba menawarkan janji dan program yang menarik bagi masyarakat.
Salah satu program kerja yang ditunggu dari partai politik atau calon pemimpin adalah pajak. Harus diakui, pajak merupakan isu yang sangat penting untuk dibahas dalam pemilu. Terlebih, pajak memiliki implikasi yang luas dalam pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kancah internasional, program pajak dalam pemilu merupakan salah satu pertimbangan utama bagi voters dalam menentukan calon pemimpin. Sebagai contoh, pada pemilu 2020 ketika Donald Trump bersaing dengan Joe Biden.
Program pajak menjadi pusat perhatian di hari-hari terakhir sebelum pemilihan presiden AS kala itu. Kedua kandidat presiden mengeklaim pajak merupakan alat untuk mengangkat AS dari kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan.
Meski tujuannya, cara yang ditempuh kedua kandidat sangatlah berbeda. Biden menginginkan adanya kenaikan pajak atas masyarakat berpenghasilan sangat tinggi. Sebaliknya, masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah mendapatkan keringanan pajak.
Sementara itu, Trump berpendapat kenaikan pajak untuk orang kaya justru merusak perekonomian. Untuk itu, rezim pajak yang rendah sebagaimana dimuat dalam Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) akan dilanjutkan, bahkan akan ada lebih banyak lagi insentif pajak.
Arah kebijakan pajak kemudian dielaborasi secara lebih detail oleh Biden dan Trump, mulai dari soal lapisan penghasilan kena pajak (tax bracket), pajak penghasilan (PPh) badan, pengurangan pajak, pajak keuntungan modal, pajak transaksi keuangan, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, beradu program pajak dalam pemilu mungkin tidak selengkap AS. Meski demikian, isu pajak tetaplah krusial bagi pemilih. Terlebih, pekerjaan rumah mengenai pajak di Indonesia tidaklah sedikit dan makin menantang pada masa mendatang.
Salah satu pekerjaan rumah di bidang perpajakan ialah terkait dengan rasio pajak (tax ratio). Menurut data OECD, rasio pajak Indonesia pada 2021 mencapai 10,1%. Angka tersebut menjadi salah satu yang terendah di antara negara Asia Pasifik.
Rasio pajak Indonesia itu kalah jauh dengan negara tetangga seperti Vietnam sebesar 22,7%. Disusul, Filipina 17,8%, Thailand 16,5%, Singapura 12,8%, dan Malaysia 11,4%. Rasio pajak Indonesia juga kalah dengan negara kecil seperti Vanuatu sebesar 14,2% dan Maladewa 19,1%.
Menaikkan rasio pajak bukanlah perkara mudah. Dalam 10 tahun terakhir, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kenaikan rasio pajak tidak terlalu kencang. Pada gilirannya, program-program yang dicanangkan presiden turut didukung pembiayaan dari instrumen lainnya selain dari penerimaan pajak.
Founder DDTC Darussalam menilai angka rasio pajak 15% - 18% paling ideal bagi Indonesia untuk bisa mendanai seluruh program pembangunan, sekaligus mengurangi ketergantungan utang. Terlebih, tax effort saat ini baru 0,6. Artinya, hanya 60% potensi setoran pajak yang baru tergarap.
"Kalau 100% potensi bisa digali dengan baik, Indonesia masih perlu utang tidak? Setidaknya [potensi penerimaan yang tergali optimal] cukup untuk membiayai pembangunan. Kita bisa mengurangi utang dengan menggali penerimaan pajak yang optimal," katanya saat mengisi seminar nasional bertajuk Upaya Menggenjot Tax Ratio yang digelar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang (FE UNP).
Selain tax ratio, isu-isu perpajakan penting lainnya yang bakal dihadapi pada tahun mendatang antara lain implementasi pajak karbon, kenaikan tarif PPN menjadi 12%, pajak e-commerce, insentif pajak, pengurangan tarif PPh badan, dan lain sebagainya.
Dengan berbagai isu tersebut, partai politik dan calon pemimpin berikutnya tentu dituntut untuk dapat menjawab segala tantangan tersebut melalui programnya masing-masing. Program yang ditawarkan juga diharapkan dapat komprehensif dan jelas.
Program yang jelas tentu akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang rencana dan langkah-langkah calon pemimpin dalam menjawab tantangan perpajakan. Alhasil, pemilih pun bisa mengukur fisibilitas dari program yang ditawarkan secara cermat.
Pemilu di Ghana pada 2016 mungkin bisa menjadi pembelajaran mengenai pentingnya fisibilitas dari suatu program yang ditawarkan. Kala itu, Nana Akufo-Addo akhirnya terpilih sebagai presiden Ghana setelah 3 kali mengikuti pemilu.
Saat kampanye, Nana Akufo-Addo yang diusung oleh New Patriotic Party telah berjanji banyak hal. Mulai dari, membebaskan biaya sekolah menengah atas, menghapus beberapa jenis pajak, hingga membangun pabrik di 261 distrik masing-masing.
Setelah terpilih, program-program yang diusung presiden tersebut ternyata menguras keuangan negara. Pemerintah harus berutang dengan nilai sangat besar untuk membiayai programnya dan menutup penerimaan yang shortfall.
Angka defisit fiskal Ghana pun melonjak dari sebelumnya 4,7% menjadi 11,7% pada 2020. Angka itu terbilang tinggi dibandingkan dengan rata-rata defisit fiskal di negara-negara Afrika Barat sebesar 7,5% atau rata-rata negara-negara Afrika sebesar 7,2%.
Pada pemilu 2023-2024, masyarakat tidak hanya memilih calon presiden dan wakilnya, tetapi juga mencoblos para wakil rakyat untuk menempati di kursi DPR, DPRD, dan DPD. Total kursi wakil rakyat yang diperebutkan mencapai 20.462 kursi.
Memilih wakil rakyat memang tak semudah saat mencoblos presiden dan wakilnya. Selain jumlahnya yang sangat banyak, pemilih juga mungkin kesulitan untuk mengetahui janji yang ditawarkan dari tiap-tiap calon wakil rakyat.
Namun yang pasti, wakil rakyat sudah seharusnya menyuarakan kepentingan masyarakat, termasuk wajib pajak. Di sini, wakil rakyat punya posisi penting dalam menyeimbangkan antara kebutuhan penerimaan pajak dan beban yang ditanggung oleh pembayar pajak.
Hal ini juga diperkuat dalam Pasal 23A UUD 1945 yang memberikan kekuasaan kepada lembaga legislatif (DPR) untuk mengatur pengenaan pajak melalui undang-undang pajak. Artinya, rancangan undang-undang pajak yang diajukan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR.
Wakil rakyat juga perlu memastikan dan melindungi hak-hak wajib pajak. Setidaknya terdapat 10 hak wajib pajak Indonesia yang perlu dipahami dan dijamin serta dilindungi oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pentingnya perlindungan atas hak-hak wajib pajak juga diutarakan Founder DDTC Danny Septriadi. Dia memandang jaminan kepastian mengenai hak-hak wajib pajak merupakan aspek penting untuk meningkatkan kepatuhan.
Menurutnya, wajib pajak akan cenderung patuh untuk memenuhi seluruh kewajibannya jika mereka mengetahui haknya—yang dilindungi dengan undang-undang—dan mendapat perlakuan adil dari otoritas pajak.
“Jika wajib pajak tahu haknya, mereka akan cenderung patuh," ujarnya.
Kesimpulannya, jangan sepelekan suara Anda dalam pemilu. Pilih dengan bijak karena suara Anda menjadi penentu arah kebijakan pajak ke depan, yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan dan pembangunan negara secara keseluruhan. (rig)