Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Guna mengoptimalkan penerimaan, Ditjen Pajak (DJP) menyusun daftar sasaran prioritas penggalian potensi (DSP3) setiap tahun.
Merujuk pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ/2018, DSP3 adalah daftar wajib pajak yang menjadi sasaran prioritas penggalian potensi sepanjang tahun berjalan baik melalui pengawasan maupun pemeriksaan.
"Agar DSP3 berisi daftar wajib pajak yang memiliki potensi tinggi dan sesuai dengan peta kepatuhan maka DSP3 tersebut dapat di-update oleh KPP sepanjang tahun berjalan," tulis DJP dalam SE-15/PJ/2018, dikutip Selasa (6/6/2023).
Penggalian potensi dalam tahun pajak berjalan oleh setiap KPP hanya dapat dilakukan terhadap wajib pajak yang terdapat dalam DSP3, kecuali KPP memperoleh data konkret yang dapat ditindaklanjuti tersendiri sesuai ketentuan yang berlaku.
Guna menentukan wajib pajak yang masuk dalam DSP3, KPP perlu memperhatikan indikasi ketidakpatuhan dengan melihat adanya gap antara profil perpajakan dalam SPT wajib pajak dan profil ekonomi yang sebenarnya.
Untuk wajib pajak yang terdaftar di Kanwil DJP Wajib Pajak Besar (LTO), Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya, indikasi ketidakpatuhan dilihat berdasarkan analisis corporate tax to turnover ratio (CTTOR), gross profit margin (GPM), atau net profit margin (NPM) dibandingkan dengan benchmarking industri sejenis.
"Risiko ketidakpatuhan tinggi apabila selisih antara analisis tersebut dengan rata-rata industri lebih besar dari 10%," bunyi SE-15/PJ/2018.
Indikasi ketidakpatuhan dilihat berdasarkan adanya transaksi dengan pihak afiliasi yang berkedudukan di negara dengan tarif pajak rendah, memiliki transaksi afiliasi dalam negeri lebih dari 50% dari total transaksi, atau memiliki transaksi dalam negeri dengan anggota grup usaha yang memiliki kompensasi kerugian.
Wajib pajak juga dipertimbangkan masuk dalam DSP3 bila belum pernah dilakukan pemeriksaan dengan ruang lingkup all taxes dalam 3 tahun terakhir, menerbitkan faktur pajak kepada pembeli NPWP 000 lebih dari 25% dari total faktur pajak yang terbit dalam 1 masa pajak, atau terdapat hasil analisis IDLP.
Untuk wajib pajak badan yang terdaftar di KPP Pratama, indikator yang digunakan antara lain ketidakpatuhan dalam membayar dan menyampaikan SPT, wajib pajak belum pernah diperiksa dengan ruang lingkup all taxes selama 3 tahun terakhir, atau ada ketidaksesuaian antara profil SPT dengan profil ekonomi.
Indikasi ketidakpatuhan juga dilakukan berdasarkan analisis CTTOR, GPM, dan NPM dibandingkan dengan hasil benchmarking industri sejenis di kanwil terkait.
"Risiko ketidakpatuhan tinggi apabila selisih antara analisis tersebut dengan rata-rata industri lebih besar dari 20%," bunyi SE-15/PJ/2018.
Selanjutnya, wajib pajak badan KPP Pratama juga terindikasi tidak patuh bila transaksi dengan pihak afiliasi yang berkedudukan di negara dengan tarif pajak rendah, memiliki transaksi afiliasi dalam negeri lebih dari 50% dari total transaksi, atau memiliki transaksi dalam negeri dengan anggota grup usaha yang memiliki kompensasi kerugian.
Lebih lanjut, wajib pajak badan KPP Pratama terindikasi tidak patuh bila menerbitkan faktur pajak dengan pembeli NPWP 000 lebih dari 25% dari total faktur yang diterbitkan dalam 1 masa pajak atau terdapat hasil analisis IDLP.
Untuk wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama, indikator yang dipertimbangkan antara lain ketidakpatuhan pembayaran dan penyampaian SPT serta ketidaksesuaian profil SPT dengan skala usaha, harta wajib pajak, gaya hidup wajib pajak, atau profil pinjaman wajib pajak.
Wajib pajak orang pribadi juga dipertimbangkan untuk masuk dalam DSP3 apabila belum pernah dilakukan pemeriksaan dengan ruang lingkup all taxes dalam 3 tahun terakhir atau jika terdapat hasil analisis IDLP. (rig)