DIGITALISASI

Ini Aspek yang Perlu Dipertimbangkan Jika Mau Pajaki Robot

Redaksi DDTCNews
Senin, 18 November 2019 | 10.45 WIB
Ini Aspek yang Perlu Dipertimbangkan Jika Mau Pajaki Robot
Managing Partner DDTC Darussalam saat memberikan materi mengenai pemajakan di era 4.0 atas robot di UPN Veteran Jakarta.

JAKARTA, DDTCNews – Ada beberapa aspek yang perlu menjadi pertimbangan pemangku kebijakan jika berencana memungut pajak dari maraknya upaya efisiensi melalui penggunaan robot.

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan wacana pengenaan pajak atas robot sudah menyeruak. Terlebih, World Economic Forum (WEF) dalam laporan bertajuk ‘The Future of Jobs 2018’ memproyeksi sekitar 52% pekerjaan manusia pada 2025 akan digantikan dengan robot.

Terkait hal tersebut, Darussalam mengingatkan agar definisi robot memuat unsur-unsur yang jelas, pasti, dapat dipraktikkan, serta dapat dijustifikasi agar dapat dipajaki. Hal tersebut akan menentukan skema kebijakan yang bisa diambil.

“Sepanjang robot tidak memiliki self-defined needs, pemajakan atas robot sebaiknya menyasar kepada pajak atas penggunaan robot, bukan kepada pajak atas robot itu secara pribadi,” ujarnya dalam seminar perpajakan di UPN Veteran Jakarta, Senin (18/11/2019).

Pilihan skema kebijakan ini juga berkaitan dengan tantangan untuk menentukan dasar pengenaan pajak serta cara penghitungan pajak terutang. Dia menjabarkan ada beberapa alternatif pengenaan pajak yang bisa dipertimbangkan.

Pertama, penggunaan dasar remunerasi yang ‘seharusnya diterima’ oleh robot dari pekerjaannya, seandainya pekerjaan itu dilakukan oleh manusia. Kedua, penggunaan dasar penghasilan yang timbul dari penggunaan robot dan teknologi terotomatisasi.

Ketiga, penggunaan rasio penjualan terhadap jumlah manusia yang menjadi karyawan dalam menghitung dasar pengenaan pajak. Keempat, penarikan pungutan tambahan dari penjualan produk yang dihasilkan sepenuhnya dari penggunaan robot.

Dalam konteks transaksi lintas batas, Darussalam memaparkan pajak atas robot (robot tax) dapat memicu konflik terkait karakterisasi dan atribusi penghasilan. Konflik terjadi ketika suatu negara mengkategorisasikan robot sebagai subjek pajak, sedangnya negara lainnya menganggap robot sebagai transparent entity sehingga pajak dikenakan kepada pemilik robotnya.

Konflik juga terjadi jika suatu negara memperlakukan remunerasi sebagai employment income, sedangkan negara lain menerapkan ketentuan business profits atau other income atas remunerasi yang didapatkan.

Darussalam mengungkapkan hingga saat ini memang masih ada pro—kontra terkait robot tax. Dari sisi pendukung, pajak tersebut dibutuhkan karena ada kepentingan distribusi kekayaan dan penyediaan lapangan kerja bagi manusia.

Sementara, di sisi penentang, pajak atas robot dianggap berisiko memunculkan compliance cost dan administrative cost yang tinggi dalam pemungutannya. Selain itu, robot tax juga dinilai menghukum perkembangan teknologi dan mengurangi produktivitas hasil inovasi.

Sejauh ini, salah satu orang yang mendukung pemajakan atas robot sama seperti seandainya robot adalah manusia adalah Bill Gates. Pemajakan itu dinilai mampu mengurangi eksternalitas negatif yang timbul dari pekerjaan yang sama yang sama-sama bisa dilakukan oleh manusia dan robot. Dalam konteks sekarang, manusia dikenai pajak penghasilan, sedangkan robot tidak.

Sekadar informasi, seminar perpajakan ini diadakan bersamaan dengan penandatanganan perjanjian kerja sama pendidikan antara DDTC dan UPN Veteran Jakarta. Dalam seminar ini, hadir pula Kepala Seksi Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional I DJP Arnaldo Purba.

Membawakan materi tantangan pajak internasional di era 4.0, Arnaldo memaparkan pentingnya pengolahan data pajak dengan mengoptimalkan teknologi. Apalagi, data menjadi aset yang paling utama bagi setiap perusahaan teknologi.

Dia juga memaparkan sulitnya memungut pajak perusahaan digital. Hal ini dikarenakan persyaratan physical presence dalam penentuan bentuk usaha tetap (BUT). Hal ini membuat perusahaan memilih melaporkan pajaknya di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Operasi di negara-negara lain dilakukan dengan mengandalkan teknologi, tanpa kehadiran fisik.

Hal tersebut menjadi perhatian pemerintah. Dalam rencana omnibus law perpajakan, pemerintah akan menyodorkan usulan redefinisi BUT. Penentuan BUT tidak hanya berdasarkan kehadiran fisik, tetapi juga nilai tambah ekonomi. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.