Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan 8 poin penting terkait perombakan beberapa ketentuan di bidang perpajakan. Poin-poin tersebut juga masuk dalam revisi undang-undang (UU) dalam konteks reformasi perpajakan.
Pemerintah, sambungnya, tengah menyusun rancangan regulasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menambah pendanaan investasi, menyesuaikan prinsip pemajakan bagi wajib pajak orang pribadi menggunakan asas territorial, mendorong kepatuhan, dan menjaga iklim usaha.
“Dan menempatan berbagai fasilitas perpajakan dalam perundang-undangan,” katanya di Kantor Presiden, Selasa (3/9/2019).
Pertama, perubahan dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Perubahan regulasi ini bukan hanya memangkas tarif pajak badan dari 25% menjadi 20%. Perubahan sistem pajak dari berbasis worldwide menjadi berbasis territorial juga manjadi perubahan besar dari UU PPh.
Terkait dengan pemangkasan tarif, pemerintah akan melakukannya secara efektif pada 2021. Sri Mulyani juga menjanjikan tarif pajak serupa dengan Singapura, yaitu sebesar 17%, untuk perusahaan terbuka.
Kedua, Penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri dan luar negeri. Kebijakan ini berlaku apabila dividen diinvestasikan kembali di wilayah NKRI.
Ketiga, sistem pajak akan berubah dari worldwide menjadi territorial untuk wajib pajak orang pribadi. Rezim pajak territorial ini berlaku untuk baik untuk WP OP dalam negeri dan WP OP asing dengan masa tinggal lebih dari 183 hari.
Keempat, relaksasi sanksi administratif bagi wajib pajak. Sri Mulyani menyatakan sanksi 2% per bulan yang berlaku saat ini sangat memberatkan wajib pajak karena secara akumulasi nilainya melebihi suku bunga konvensional di lembaga keuangan. Rencananya tarif sanksi akan diturunkan menjadi 1%.
“Kami susun bagaimana sanksi administrasi perpajakan didesain ulang agar kepatuhan pajak jadi jauh lebih mudah dan lebih logis untuk patuh dibanding kalau mereka tidak patuh,” paparnya.
Kelima, relaksasi diberikan terkait pajak pertambahan nilai (PPN). Pemerintah akan membuka ruang bagi pelaku usaha untuk bisa melakukan pengkreditan untuk barang yang dikecualikan atau bukan merupakan objek pajak.
“Kami berikan relaksasi terhadap hak untuk kreditkan pajak masukan terutama bagi perusahaan kena pajak yang selama ini mereka, barang yang dihasilkan tidak dibukukan sebagai obyek pajak. Pajak masukan yang tadinya tidak bisa dikreditkan menjadi bisa dikreditkan,” jelas Sri Mulyani.
Keenam, reformasi perpajakan dari sisi regulasi akan menempatkan seluruh fasilitas insentif perpajakan dalam satu aturan tersendiri. Fasilitas sepertitax holiday, super deduction, fasilitas PPh untuk KEK, dan PPh untuk SBN di pasar internasional memiliki landasan hukum yang kuat dan dalam implementasinya dapat dilakukan secara konsisten.
Ketujuh, pemerintah akan menjawab tantangan ekonomi digital seperti Google dan Amazon dengan membuat aturan main yang memungkinkan pemain raksasa digital tersebut dapat menjadi subjek pajak. Dengan demikian, perusahaan digitaltersebut mempunyai kewajiban memungut pajak dan menyetornya ke kas negara. Instrumen PPN menjadi pintu masuk negara dalam memajaki entitas digital.
“Dengan RUU ini, kami tetapkan bahwa mereka perusahaan digital internasional, Google, Amazon, mereka bisa memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Ini supaya tidak ada penghindaran pajak karena mereka tahu berapa jumlah volume kegiatan ekonominya. Tarif sama, 10%,” jelasnya.
Kedelapan, aturan main Bentuk Usaha Tetap (BUT) akan diubah dan tidak kaku terkait syarat mutlak untuk bisa menjadi BUT harus dengan kehadiran fisik. Aspek nilai tambah ekonomi yang dihasilkan atau significant economic presence juga akan dihitung sebagai komponen pembentuk BUT.
“Presiden dan Wapres meminta matangkan RUU ini sehingga bisa lakukan konsultasi publik sehingga bisa disampaikan segera ke Dewan untuk perkuat ekonomi Indonesia,” imbuhnya. (kaw)