Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Aroma resesi global mencuat karena perkembangan data-data ekonomi Amerika Serikat belum lama ini. Antisipasi harus mulai disusun pemerintah agar tidak berdampak negatif ke dalam negeri.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan tanda resesi tersebut bersumber dari ekonomi terbesar dunia yakni Amerika Serikat. Data utang jangka pendek dan jangka panjang Negeri Paman Sam, menurutnya, serupa dengan era Great Depression pada 1929.
“Utang jangka panjang dan jangka pendek AS hampir konvergen dengan yang terjadi pada 1929,” katanya dalam diskusi public bertajuk ‘Urgensi Reformasi Pajak: Indeks Ketaatan Pajak VS Tradisi Pungli’, Kamis (4/4/2019).
Dalam kondisi ini, instrumen fiskal harus mampu berperan ekstra untuk menghadapi beberapa risiko yang mengarah pada resesi global. Ada dua pilihan kebijakan yang setidaknya menjadi arus utama kebijakan fiskal dalam dua tahun ke depan.
Pertama, melakukan pemangkasan pajak untuk menstimulus kegiatan ekonomi domestik sehingga efek negatif dari faktor eksternal dapat diminimalisasi. Kedua, memperbesar alokasi anggaran dalam pos subsidi yang diberikan pemerintah.
Kedua kebijakan ini, menurutnya, menjadi insentif untuk kegiatan konsumsi pada dua kelompok masyarakat. Kebijakan pemangkasan pajak dapat digunakan untuk menggairahkan konsumsi pada kelompok atas.
Kemudian, kebijakan subsidi tidak lain lagi untuk menjaga konsumsi masyarakat bawah tetap terjaga. Dua kebijakan dinilai penting karena konsumsi merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.
“Secara empiris kebijakan tax cut lebih powerful ketimbang naiknya government spending (subsidi). Ini karena kebijakan potong pajak akan menyasar 20% kelompok atas yang punya porsi terbesar atas konsumsi nasional. Meskipun secara populasi kelompok ini sedikit tapi menggerayangi pergerakan konsumsi,” jelasnya. (kaw)