Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (DDTCNews - Instagram Sri Mulyani)
JAKARTA, DDTCNews – Neraca transaksi berjalan yang selalu defisit tidak mendapat lagi tambalan dari masuknya investasi. Tidak mengherankan jika dalam dua kuartal awal tahun ini neraca pembayaran Indonesia sudah menorehkan posisi defisit.
Hal inilah yang menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, meskipun perekonomian terus tumbuh, tingkat inflasi stabil, dan defisit anggaran terus turun.
“Pemerintah menyadari ini menjadi tantangan. Neraca pembayaran, kemampuan kita mendanai defisit transaksi berjalan menjadi tantangan,” ungkapnya dalam konferensi pers, Rabu (5/9/2018).
Mengutip data Bank Indonesia, Sri Mulyani memaparkan perbandingan kondisi neraca pembayaran Indonesia pada saat ini dengan posisi pada 2016 dan 2017.
Pada 2016-2017, defisit transaksi berjalan tercatat relatif sama sekitar US$17 miliar. Namun, pada saat yang bersamaan, ada penambal defisit dari neraca transaksi modal dan finansial yang pada periode itu juga relatif mirip di kisaran US$29 miliar.
Dengan demikian, neraca pembayaran Indonesia pada periode itu masih mampu mencatatkan surplus, persisnya US$12,1 miliar (2016) dan US$11,6 miliar (2017). Posisi cadangan devisa mencapai US$116,4 miliar (2016) dan US$130 miliar (2017).
Pada semester I/2018, defisit transaksi berjalan sudah mencapai US$13,7 miliar dan diproyeksi mencapai US$25 miliar pada akhir tahun. Sementara, surplus neraca transaksi modal dan finansial hanya US$6,5 miliar dan diestimasi US$13 miliar pada akhir 2018.
Hal inilah yang menyebabkan neraca pembayaran sudah mencatatkan defisit US$8,2 miliar. Pada saat yang bersamaan, posisi cadangan devisa pada semester I/2018 tercatat senilai US$119,8 miliar.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengungkapkan ada suasana yang berbeda di dunia saat ini. Dua tahun lalu, kenaikan suku bunga – terutama dari bank sentral Amerika Serikat (AS) – belum seagresif tahun ini.Quantitative easing pun masih berjalan.
Hal inilah yang dinilai menekan dari sisi transaksi modal dan finansial. Dia mengungkapkan ada rebalancing darifund manager di dunia yang menganggap emerging market berisiko. Hal ini tersulut kondisi perekonomian Turki, Argentina, dan Afrika Selatan.
Normalisasi yang dilakukan AS pada gilirannya mengurangi likuiditas. Pada saat yang bersamaan, ada risiko dari fenomena perang dagang. Perang dagang membawa efek negatif pada ekspor-impor barang yang masuk dalam komponen neraca transaksi berjalan.
“Bukan karena kita yang berubah. Mereka yang melakukan rebalancing sehingga tidak ada capital inflow,” imbuh Sri Mulyani.
Berdasarkan data Ditjen Bea dan Cukai, pergerakan impor pada Januari hingga Agustus 2018 tercatat tumbuh 13,4% dibandingkan tahun lalu. Sayangnya, pertumbuhan ekspor justru lebih rendah karena hanya mencapai 5,77%.
Jika dilihat dari sisi penggunaan barang, impor barang konsumsi justru mengalami peningkatan tertinggi sebesar 16,46%. Sementara, impor bahan baku dan penolong tumbuh 12,82%. Impor barang modal tercatat meningkat 13,55%.
“Karena situasi inilah pemerintah melakukan tindakan yang harus cukup cepat untuk meredam [defisit] neraca pembayaran, agar kembali balance,” kata Sri Mulyani.
Dari sisi migas, kewajiban penggunaan 20% biodiesel (B20) diperkirakan mampu memberikan bantuan untuk pengendalian devisa. Sementara, dari sisi nonmigas, pemerintah melakukan penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah, sambungnya, sangat komprehensif. Selain ‘menusuk langsung’ dari sisi ekspor-impor barang manufaktur, pemerintah juga berusaha untuk menarik devisa melalui pariwisata dan pemberikan insentif fiskal untuk investasi.
Pemerintah, sambungnya, berharap segala langkah yang ditempuh dapat memberikan perbaikan dari sisi neraca pembayaran, termasuk di dalamnya neraca transaksi berjalan. Hal ini pada gilirannya juga berpotensi memberikan dukungan pada stabilisasi nilai tukar rupiah.
Dalam perdagangan spot pada Rabu (5/9/2018), mata uang Garuda ditutup pada level Rp14.938 per dolar AS, atau kembali melemah 0,02% dibandingkan posisi pada penutupan hari sebelumnya Rp14.935 per dolar AS. Nilai tukar ini mencatatkan posisi terlemah sejak 20 tahun terakhir.
Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate /Jisdor) kemarin dipatok senilai Rp14.927 per dolar AS, atau melemah 0,6% dibandingkan posisi hari sebelumnya Rp14.840 per dolar AS. (kaw)