Ilustrasi.
ISLAMABAD, DDTCNews – Pakistan merilis pernyataan terbaru mengenai sikap mereka terhadap proposal 2 pilar oleh OECD. Negara tersebut menegaskan akan menyampaikan sikap apabila blueprints dari kesepakatan negara Inclusive Framework terkait proposal pilar 1 dan 2 siap untuk diratifikasi pada 2022 nanti.
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memilih untuk menunggu dan memberikan waktu kepada Pakistan untuk memutuskan. Dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta orang, Pakistan memang memiliki daya tawar. Yurisdiksi ini dianggap sebagai pasar potensial terhadap kebijakan ekonomi digital ke depan.
"Pasar domestik Pakistan ini sangat besar. Oleh karena itu, penting bagi kami untuk tetap terbuka pada setiap kemungkinan dan tidak tertekan oleh keadaan. Kami hanya perlu bersabar, tetap terlibat, dan tidak menyerah di bawah tekanan yang sengaja diberikan," tulis OECD dalam laporannya, dikutip dari thenews.com.pk, Kamis (14/10/2021).
Dilansir dari dokumen bertajuk Pakistan’s Stance Minimum Corporate Income Tax-Two-Pillar-Solution, rezim pajak digital sebenarnya sudah dilaksanakan di negara ini. Transaksi dengan sistem elektronik dikenakan pajak baik terhadap residen maupun nonresiden.
Namun, Pakistan mempertanyakan kualifikasi dari proposal kedua pilar. Dalam Pilar 1, skema pemajakan hanya berlaku untuk perusahaan yang memiliki omset global lebih dari €20 miliar dengan profitabilitas 10%. Yurisdiksi pasar akan mendapatkan hak pemajakan sebesar 25% dari residual profit yang diterima oleh korporasi multinasional terbesar di dunia.
Pakistan tidak yakin laba perusahaan multinasional yang eksis di negara mereka akan mencapai standar omzet yang ditentukan. Selain itu, nilai alokasinya dianggap terlalu kecil. Tidak sebanding dengan jumlah uang yang hilang karena adanya rezim baru ini.
Kemudian Pilar 2 mengatur pemberlakuan tarif pajak korporasi minimum global sebesar 15% atas korporasi global dengan annual revenue di atas EUR750 juta. Selain itu ada skema Switch Over Rule (SOR) yang akan menggantikan skema kredit pajak.
Bagi yurisdiksi sumber yang notabene adalah negara berkembang, ketentuan subject to tax rule (STTR) juga telah disepakati pada Pilar 2.
Dengan STTR, yurisdiksi yang menerapkan pajak korporasi dengan tarif di bawah 9% atas bunga, royalti, dan pembayaran lainnya, wajib menerapkan STTR di dalam P3B-nya dengan negara berkembang anggota Inclusive Framework.
Nantinya, negara sumber akan mendapatkan hak pemajakan sebesar selisih antara tarif pajak minimum STTR sebesar 9% dan tarif pajak atas penghasilan di negara lain.
Pakistan lagi-lagi melayangkan keluhannya atas skema yang ditawarkan. Menurutnya, tidak perlu ada pengaturan baru karena saat ini pun dunia telah memiliki rezim pajak internasional dan kredit pajak yang baik.
Lebih lanjut, persentase 15% dinilai terlalu kecil dibandingkan dengan tarif yang berlaku sekarang yakni 10% hingga 20% untuk withholding tax. Perlu diketahui bahwa sudah ada 136 negara yang bersedia menerapkan perjanjian ini. Pakistan menjadi salah satu dari 4 negara yang belum memberikan keputusan. Tiga negara lainnya yaitu Sri Lanka, Nigeria, dan Kenya. (sap)