Ilustrasi. (foto: cdn.cnn.com)
JAKARTA, DDTCNews – Meskipun sudah melancarkan aksi protes karena tingginya tarif bea masuk, para pedagang tetap harus membayar 35% atas nilai impor pakaian. Langkah ini menyusul upaya pemerintah untuk melindungi industri nasional.
Presiden Kenya Uhuru Kenyatta mulai mewujudkan agenda penciptaan lapangan kerja melalui perlindungan industri tekstil lokal. Tahun lalu, Sekretaris Kabinet Departemen Keuangan Nasional Henry Rotich memperkenalkan bea masuk impor sebesar 35% dan menangguhkan tarif eksternal umum (Common External Tariff/CET) Komunitas Afrika Timur sebesar 25%.
“Langkah itu dimaksudkan untuk melindungi sector tekstil dan alas kaki lokal dari ‘persaingan tidak adil’. Daripada kembali ke CET 25%, Kenya melalui pemberitahuan gazette yang dikeluarkan 30 Juni mempertahankan bea impor 35%,” kata Rotich, seperti dikutip pada Selasa (9/7/2019).
Tarif 35% itu dikenakan pada barang-barang dari pakaian, aksesoris, rajutan, dan lainnya. Kenya juga telah menetapkan barang-barang yang ‘sensitif’ selama satu tahun sejak barang-barang itu dianggap sangat penting untuk agenda penciptaan lapangan kerja.
Presiden Kenya telah mengalokasikan sektor tekstil dan pakaian jadi sebagai salah satu pendorong utama penciptaan lapangan. Pasalnya, sector tekstil dan alas kami lokal selama ini tutup karena meningkatnya persaingan yang tidak adil dari impor tekstil dan alas kaki serta pakaian bekas.
“Untuk mendorong produksi lokal dan pembuatan lapangan pekerjaan di sektor ini, saya telah memperkenalkan tarif khusus bea masuk 500 shilling per item atau 35%, yang mana lebih tinggi dari sebelumnya. Ini harus dijaga agar tidak diremehkan,” tegas Rotich, seperti dilansir Standard Media.
Tahun lalu, Kenya mematahkan peringkat dengan negara-negara peers Komunitas Afrika Timur (East African Community/EAC) untuk mengurangi tarif pakaian bekas impor untuk memenuhi tuntutan Amerika Serikat.
Nilai pakaian bekas impor dalam tiga bulan pertama tahun ini meningkat 9% dibandingkan kuartal pertama 2018. Namun demikian, impor pakaian secara keseluruhan tercatat berkurang 22% bila dibandingkan kuartal yang sama pada tahun lalu. (MG/dnl-kaw)