PERSPEKTIF

Bagaimana Kita Harus Menyikapi Pajak Minimum Global?

Redaksi DDTCNews
Rabu, 23 Februari 2022 | 09.15 WIB
ddtc-loaderBagaimana Kita Harus Menyikapi Pajak Minimum Global?
Founder DDTC

SALAH satu agenda pajak internasional yang dibahas pada pertemuan G-20 minggu lalu adalah pajak minimum global. Pajak minimum global merupakan roh dari Pilar 2 tentang upaya untuk mengatasi pemajakan digital yang pada akhirnya kerap disebut dengan agenda BEPS 2.0.

Seperti kita ketahui, di bawah koordinasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G-20, telah disepakati solusi 2 pilar untuk mengatasi tantangan pajak yang muncul akibat digitalisasi ekonomi. Simak Fokus Selangkah Lagi Mencapai Konsensus Global Pajak Digital.

Pajak minimum global bisa disebut suatu reformasi yang signifikan – jika tidak terlalu ‘berani’ – di tataran internasional. Bagaimana tidak, globalisasi yang selama ini tidak diikuti dengan harmonisasi sistem pajak antarnegara telah menyebabkan timbulnya offshore tax evasion, international profit shifting, dan kompetisi pajak.

Proyek BEPS dan pertukaran informasi yang diinisiasi OECD dan G-20 memang telah menunjukkan adanya koordinasi global, tapi sifatnya tidak melakukan koreksi terlalu jauh bagi kebijakan pajak penghasilan (PPh) badan suatu negara.

Dalam konteks ini, pajak minimum global sedikit berbeda. Pajak minimum global, khususnya melalui skema income inclusion rule (IIR), akan menjamin perusahaan multinasional dengan kriteria tertentu, di manapun berada, akan membayar tarif pajak efektif PPh badan sebesar 15%.

Dengan skema IIR, beban pajak tambahan (top-up tax) dikenakan pada entitas induk sehubungan dengan pendapatan bagian dari grup (constituent entity) yang terkena pajak rendah.

Tidak mengherankan jika pada awalnya skema pajak minimum global dianggap utopis. Pasalnya, ia akan bertabrakan dengan kedaulatan pajak (tax sovereignty) dan perbedaan preferensi fiskal yang selama ini menghasilkan tax law market (Peters, 2014).

Skenario pajak minimum global yang dibahas G-20 minggu lalu juga telah mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota BEPS Inclusive Framework. Pada akhir Desember 2021, OECD juga telah merilis model rules untuk pajak minimum global.

Setidaknya terdapat 2 manfaat umum dari pajak minimum global. Pertama, mengurangi risiko praktik base erosion and profit shifting (BEPS) yang telah menjadi tantangan sektor PPh badan di berbagai negara.

Berkurangnya disparitas tarif serta tergerusnya daya saing negara tax haven tentu berpotensi mengurangi insentif BEPS dan mengamankan basis penerimaan pajak yang selama ini berasal dari perusahaan multinasional.

Kedua, mengurangi tensi kompetisi pajak. Selama 3-4 dekade terakhir, tren penurunan tarif PPh dan berbagai insentif pajak adalah kebijakan yang tidak terpisahkan dari reformasi pajak di berbagai negara (Kristiaji, 2019).

Terlepas dari perdebatan tentang efektivitasnya, kompetisi pajak menggarisbawahi tentang daya tawar perusahaan multinasional serta dampaknya bagi penerimaan PPh badan yang direlakan sebagai revenue forgone.

Memang betul bahwa pajak minimum global diperkirakan tidak sepenuhnya mengeliminasi praktik BEPS dan kompetisi pajak (Devereux et al, 2021). Namun demikian, kedua praktik tersebut setidaknya memiliki ambang batas tertentu yang lebih bisa dikendalikan.

Satu hal yang pasti, sepintas, pajak minimum global menyiratkan era baru sistem pajak internasional yang lebih adil dan sehat. Akan tetapi, apakah tidak terdapat risiko yang terselip dalam kesepakatan tersebut?

Kritik Fundamental

PAJAK minimum global akan berpengaruh bagi beban pajak perusahaan multinasional di manapun berada dan apapun sektornya meskipun terdapat beberapa pengecualian, seperti entitas pemerintah, organisasi internasional, organisasi nirlaba, dana pensiun, dan investment fund.

Dalam konteks Indonesia, kesepakatan tersebut dapat berdampak bagi perusahaan multinasional yang induknya (ultimate parent entity/UPE) berkedudukan di Indonesia ataupun perusahaan multinasional dari luar negeri yang menjalankan operasinya di Indonesia (constituent entity).

Syaratnya, perusahaan multinasional tersebut memiliki penghasilan bruto global senilai EUR750 juta (sekitar Rp11 triliun). Alhasil, jumlah perusahaan multinasional yang terdampak Pilar 2 akan lebih banyak daripada Pilar 1.

Selama tarif pajak efektif perusahaan multinasional di suatu yurisdiksi lebih rendah dari 15%, akan ada top-up tax di negara tempat kedudukan UPE (negara domisili). Sebagai ilustrasi, induk perusahaan multinasional XCo berada di Jerman dan memiliki anak perusahaan di Kenya dan Bermuda.

Tarif pajak efektif di Bermuda adalah 0% dan selama ini dijadikan tempat untuk diparkirnya laba global. Tarif pajak efektif di Kenya juga sebesar 0% karena adanya rezim tax holiday untuk menarik investasi padat karya. Atas penghasilan anak perusahaan di Kenya dan Bermuda tersebut kemudian akan dipajaki di Jerman sebesar 15% (15% - 0%).

Dengan kata lain, pajak minimum global ‘menutup mata’ tentang penyebab rendahnya tarif pajak efektif di suatu yurisdiksi. Pajak minimum global akan berdampak bagi daya saing baik Bermuda (yang mewakili tax haven) dan Kenya (yang mewakili negara berkembang).

Melalui pajak minimum global, akan terdapat netralitas pemilihan lokasi investasi. Di manapun perusahaan multinasional berinvestasi, investor akan menghadapi beban tarif pajak efektif minimum yang sama, yaitu sebesar 15%.

Sampai di titik ini, kita semua memahami bahwa pajak minimum global bermaksud mendorong ‘inter-nation equity’. Akan tetapi, jika kita pahami secara seksama, pajak minimum global justru kurang selaras dengan agenda Proyek BEPS yang menjadi kerangka dimulainya pembicaraan tentang pajak minimum global (Titus, 2021).

Proyek BEPS pada dasarnya bertujuan untuk melawan praktik penghindaran pajak yang tercermin jelas pada dalam BEPS Aksi 5 tentang harmful tax regime (OECD/G20, 2015). Aksi yang ditetapkan sebagai standar minimum tersebut secara rutin mengevaluasi insentif dan preferential tax regime yang semata-mata bertujuan untuk menarik paper profit, tanpa disertai substansi ekonominya.

Menariknya, dalam banyak kasus, negara berkembang justru kerap memberikan insentif pajak guna menarik real economic activity. Misalkan, membangun pabrik, mendorong penyerapan tenaga kerja, dan sebagainya.

Langkah yang ditempuh negara berkembang cenderung melalui pemberian insentif dan bukan penurunan tarif PPh badan. Tujuannya adalah menciptakan daya saing tanpa merelakan revenue forgone, sehingga kerap diistilahkan sebagai partial race to the bottom (Park et al, 2012).

Kehadiran pajak minimum global jelas akan memaksa negara berkembang untuk berhadap-hadapan dengan negara yang lebih mapan dan mampu memberikan insentif nonpajak.

Pertanyaannya, apakah ini adalah wujud dari level playing field? Atau hal tersebut justru mengonfirmasi pendapat Avi-Yonah (2000) yang menegaskan bahwa skema semacam pajak minimum global tidak akan mengeliminasi kompetisi pajak, tapi mengeliminasi negara berkembang untuk bisa merespons perkembangan kompetisi memperebutkan investasi?

Satu hal yang pasti, skema pajak minimum global sesungguhnya sudah mencermati perdebatan tersebut. Melalui klausul substance carve-out, terdapat 10% biaya sumber daya manusia (SDM) serta 8% kepemilikan harta berwujud (tangible assets) yang dapat menjadi pengurang laba dan akan diperhitungkan dalam menghitung pajak minimum global (GloBE income).

Walau kerap dikritik sebagai celah dalam pajak minimum global, substance carve out jelas perlu diperjuangkan negara-negara yang memang secara sengaja merelaksasi beban pajak perusahaan multinasional untuk menarik real economic activity.

Akan tetapi, setidaknya terdapat 3 aspek substance carve out yang perlu dicermati. Pertama, ruang lingkup substance carve out atas aspek SDM dan harta berwujud. Kedua aspek tersebut sedikit banyak merefleksikan bahwa pembuktian suatu substansi didorong oleh kehadiran SDM dan juga aset berwujud yang digunakan. Namun, pembatasan tersebut tidak merefleksikan kepemilikan harta tidak berwujud sehingga kurang selaras dengan industri kreatif ataupun pengembangan litbang.

Kedua, pendekatan berbasis formula. Penggunaan formula memang lebih sederhana, tetapi belum tentu sepenuhnya mencerminkan fakta dan kondisi perusahaan multinasional. Penggunaan formula juga kurang selaras dengan mantra value creation, ketentuan CFC yang mengecualikan penghasilan yang secara fakta bersifat active income, dan banyak ketentuan antipenghindaran pajak lainnya.

Ketiga, dasar pertimbangan persentase 8% dan 10%, khususnya sejauh mana besaran tersebut dapat mewakili kepentingan negara berkembang. Kita juga perlu mencermati bahwa dalam waktu 10 tahun, persentase substance carve out akan berangsur-angsur diturunkan hingga mencapai 5% (OECD, 2021). Artinya, perlindungan bagi insentif yang berorientasi bagi real economic activity akan kian memudar.

Hegemoni dan Dilema Insentif

ISU yang tidak kalah penting ialah proyeksi bahwa pajak minimum global akan berdampak bagi tambahan penerimaan pajak sebesar EUR150 miliar per tahun. Namun, pertanyaannya, tambahan penerimaan pajak bagi siapa?

Pajak minimum global akan mengakibatkan yurisdiksi tempat berlokasinya entitas induk perusahaan dapat mengenakan top-up tax. Bagi perusahaan multinasional yang UPE-nya berdomisili di Indonesia, pajak minimum global dapat menambah alokasi pajak bisa dipungut di Indonesia jika anak perusahaan di yurisdiksi lain memiliki tarif pajak efektif lebih rendah dari 15%. Namun demikian, bukankah ini lebih menguntungkan bagi negara domisili yang bertindak sebagai capital exporting countries?

Pajak minimum global menyiratkan pembaruan hegemoni politik ekonomi bagi negara maju – yang notabene capital exporting countries – untuk memobilisasi penerimaan. Indikasinya bisa ditelusuri dari inisiatif G-7 yang mendorong kesepakatan pajak minimum global di forum yang lebih luas.

Kepentingan tersebut juga secara tidak langsung mengingatkan adanya keengganan banyak negara maju untuk mengadopsi klausul tax sparing dalam P3B. Sebagai akibatnya, insentif PPh yang diberikan negara sumber justru menjadi subsidi pajak bagi negara domisili (Ault dan Arnold, 2017).

Bagi Indonesia, hadirnya pajak minimum global akan menjadi pilihan yang dilematis khususnya terkait dengan masa depan insentif pajak. Baik dalam hal pilihan mempertahankan insentif yang mengurangi tarif pajak efektif ataupun menerapkan penerapan pajak minimum global, daya saing untuk menarik investasi akan berkurang.

Celakanya, kerugian tersebut akan bertambah jika Indonesia tetap mempertahankan insentif karena besaran pajak yang seharusnya bisa dikenakan justru dipungut di negara induk perusahaan.

Kita perlu memahami bahwa dampak insentif pajak bagi investasi adalah sesuatu yang masih kerap diperdebatkan (IMF, 2015). Namun demikian, fakta bahwa rezim insentif pajak Indonesia – khususnya tax holiday dan tax allowance – relatif berkontribusi bagi investasi tetap perlu jadi perhatian.

Berdasarkan bahan paparan menteri keuangan pada rapat Komisi XI DPR pada Juni 2021, diketahui bahwa selama 2018-2021, investasi baru yang masuk melalui pemanfaatan instrumen tax holiday adalah senilai Rp1.278,4 triliun. Kemudian, selama 2020-2021, investasi baru melalui pemanfaatan tax allowance adalah senilai Rp26,6 triliun.

Dengan demikian, prospek penerapan pajak minimum global dapat memberikan dampak serius bagi ketidakpastian wajib pajak yang telah memeroleh fasilitas. Padahal, fasilitas tersebut –khususnya tax holiday—baru akan dinikmati setelah commercial date, yang rata-rata berlaku setelah 2023 atau pajak minimum global diimplementasikan.

Hal yang lebih serius adalah prospek investasi dan kaitannya dengan agenda Indonesia Emas 2045. Sejauh ini, desain insentif pajak Indonesia yang berkaitan dengan beban pajak korporasi pada dasarnya telah disusun secara selektif. Arsitektur insentif pajak korporasi lebih berorientasi bagi industri pionir, sektor, dan kawasan tertentu, sektor padat karya, kewirausahaan, serta aktivitas litbang dan vokasi.

Caranya dengan meningkatkan nilai keekonomian investasi pada aktivitas yang memiliki internal rate of return (IRR) yang rendah. Tujuannya jelas, yakni saling bahu-membahu antara pemerintah dan sektor swasta untuk keluar dari jeratan middle income trap serta mendorong pemerataan pembangunan.  

Pertanyaan berikutnya, bisakah kita tetap mendorong keberpihakan bagi investasi melalui opsi untuk mendesain insentif pajak yang ‘bebas’ dari ruang lingkup pajak minimum global? Jawabannya, relatif sulit.

Sebagai contoh, pajak berbasis konsumsi, seperti halnya PPN, menganut prinsip destinasi. Berbeda dengan PPh badan yang menganut origin principle, segala beban yang timbul dari PPN akan dikenakan di lokasi konsumsi bukan produksinya. Artinya, PPN tidak akan berpengaruh bagi pilihan lokasi investasi.

Usulan mengenai adanya hibah atau bantuan dari pemerintah kepada perusahaan multinasional juga saat ini cukup banyak dipertimbangkan sebagai pengganti insentif. Namun demikian, perlu kita waspadai bahwa skema semacam itu serupa dengan state aid yang tidak diperbolehkan di ruang lingkup Uni Eropa dan berpotensi melanggar prinsip non-discrimination dalam P3B.

Oleh sebab itu, ada baiknya Indonesia mendorong pembicaraan penerapan pajak minimum global yang fokus menyasar tarif pajak efektif yang rendah akibat harmful tax regime. Bisa juga, setidaknya mendorong perubahan skema substance carve-out yang melindungi kepentingan negara berkembang.

Isu Lainnya

SKEMA pajak minimum global juga memiliki tantangan lain jika diadopsi oleh Indonesia. Pertama, dampaknya bagi desain kebijakan PPh badan di Indonesia. Model kebijakan pajak minimum global yang akan diterapkan Indonesia pada dasarnya bisa mengikuti model rules yang dirilis akhir tahun lalu.

Namun demikian, kebijakan yang kompleks tersebut diperkirakan akan memiliki interaksi dan dampak terhadap sistem PPh yang berlaku di Indonesia. Hal ini mencakup prinsip pemajakan kita yang condong kepada semi-territorial tax system dengan adanya foreign dividend exemption.

Interaksinya bagi ketentuan controlled foreign corporation (CFC), pengkreditan pajak luar negeri, dan ketentuan antipenghindaran pajak lainnya juga perlu untuk ditinjau lebih lanjut. Dari sisi otoritas pajak, pemetaan dan informasi detail perusahaan multinasional yang akan menjadi ruang lingkup pajak minimum global juga menjadi pekerjaan rumah yang menantang.

Kedua, kebijakan yang kompleks dan target implementasi pada 2023 juga menimbulkan tantangan kepastian bagi wajib pajak. Perusahaan multinasional yang merupakan wajib pajak dalam negeri Indonesia harus sesegera mungkin bersiap atas aspek pemenuhan kewajiban pajak yang akan timbul.

Menariknya, di saat yang bersamaan lanskap pajak Indonesia juga sedang bergerak dinamis pajak pascaterbitnya UU Cipta Kerja, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dan UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Berbagai perubahan tersebut tentu menimbulkan tantangan dalam hal prediktabilitas.

Ketiga, pengaturan atas subject to tax rule (STTR). Melalui STTR, negara sumber dapat memberlakukan tarif withholding tax secara penuh (tanpa reduced rate dalam perjanjian penghindaran pajak berganda/P3B) apabila penerima penghasilan yang berada di negara lain ternyata tidak membayar pajak di negara domisili.

Berbeda dengan IIR dan undertaxed payment rule (UTPR), STTR dalam Pilar 2 lebih condong pada kepentingan negara sumber yang bisa mendapatkan minimum withholding tax sebesar 9% atas pembayaran penghasilan jasa, royalti, dan bunga bagi subjek pajak luar negeri. Simak Perspektif Mencermati Kesepakatan Pajak Minimum Global.

Pada dasarnya, adanya klausul STTR bisa jadi tidak terlalu bermanfaat positif bagi Indonesia. Kondisi ini mengingat bahwa rata-rata tarif reduced rate withholding tax atas ketiga jenis penghasilan tersebut dalam P3B Indonesia sudah berada di atas 9%.

Dengan sifatnya yang perlu mengubah P3B, Indonesia juga perlu mendorong adanya kesepakatan dan komitmen instrumen multilateral untuk mengubah Pasal 4 ayat (1) dari P3B. Hal ini khususnya mengubah terminologi liable to tax menjadi subject to tax. Tanpa adanya skema instrumen multilateral, penerapan STTR terkendala oleh waktu negosiasi dengan berbagai negara mitra P3B yang umumnya cukup panjang (Septriadi, 2005).

Sebagai penutup, sebagai pemegang Presidensi G-20 pada 2022, Indonesia bisa memainkan peranan strategis dengan meletakkan isu riil negara berkembang di meja perundingan negara-negara dengan perekonomian terbesar.

Isunya bukan hanya memberikan asistensi kepada negara berkembang, melainkan lebih kepada bagaimana menjamin lanskap pajak global ke depan memberikan ruang gerak bagi kompetisi yang sehat dan adil.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.