BASE EROSION AND PROFIT SHIFTING (BEPS)

Apa itu BEPS?

Darussalam | Minggu, 19 November 2017 | 08:10 WIB
Apa itu BEPS?

KETENTUAN anti-penghindaran pajak di masing-masing negara, baik melalui ketentuan domestik maupun melalui ketentuan bilateral, ternyata belum efektif dalam melawan praktik penghindaran pajak. Mencermati hal tersebut, pada November 2012, Menteri Keuangan negara-negara G20 sepakat untuk memulai suatu agenda bersama yang diberi nama Proyek Anti-Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan Laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS Project). Untuk merealisasikannya, G20 memberikan mandat kepada OECD untuk merumuskan rekomendasi yang diperlukan.

Apa itu BEPS? Pada pertemuan antara G8 dan OECD di bulan Mei 2013, terdapat suatu pernyataan bersama bahwa BEPS telah menyebabkan persoalan yang serius bagi penerimaan pajak, kedaulatan pajak, serta kepercayaan atas integritas sistem pajak di seluruh negara yang akan berakibat negatif pada investasi, jasa, kompetisi, dan pertumbuhan dan pasar tenaga kerja global (OECD, 2013). Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa BEPS tidak mengacu pada kebocoran yang diakibatkan oleh pengelakan pajak lintas batas (offshore tax evasion) yang sifatnya ilegal.

Pada dasarnya BEPS merupakan dua terminologi yang berbeda namun saling berkaitan satu sama lain. Base erosion mengacu pada penggerusan basis pajak yang berpengaruh secara negatif terhadap penerimaan pajak domestik, kedaulatan, serta mencederai prinsip keadilan pajak (Isabel Lamers, Pauline Mcharo, dan Kei Nakajima, 2013). Sementara itu, salah satu cara untuk menggerus basis pajak adalah melalui pengalihan laba (profit shifting).

Baca Juga:
Perkembangan Teknologi Jadikan Prospek Profesi Pajak Makin Luas

Menurut OECD, BEPS berkaitan erat dengan upaya memanfaatkan interaksi ketentuan pajak antarnegara yang berbeda yang berakibat pada berkurangnya pajak terutang maupun tidak adanya pemajakan sama sekali (double non-taxation). Walau demikian, OECD tidak mempermasalahkan adanya perbedaan tersebut karena setiap negara memiliki kedaulatan penuh dalam merancang sistem dan ketentuan pajak. OECD justru menitikberatkan pada maraknya skema artifisial yang dilakukan dengan cara memisahkan keterhubungan (nexus) antara laba kena pajak dengan aktivitas yang dilakukan dalam memperoleh laba tersebut.

Selain berkaitan dengan penghindaran pajak, proyek BEPS juga terkait dengan upaya melawan kompetisi pajak yang merugikan negara lain, melawan perencanaan pajak yang agresif, hingga adanya keinginan untuk koordinasi internasional yang lebih baik di sektor pajak. Dengan demikian, BEPS dalam Proyek Anti-BEPS sesungguhnya tidak hanya mendiskusikan tentang praktik penghindaran pajak saja. Lebih dari itu, BEPS diletakkan juga dalam konteks keseluruhan lanskap pajak internasional yang menyebabkan maraknya aktivitas penghindaran pajak.

Dengan demikian, Proyek Anti-BEPS sesungguhnya berupaya menyelesaikan hampir seluruh persoalan yang ada dalam sistem pajak internasional saat ini, mulai dari: kompetisi pajak, kurangnya koordinasi, penghindaran pajak dan perencanaan pajak yang agresif, perilaku perusahaan multinasional, sistem yang adil, serta penerimaan pajak. Tidak mengherankan, jika banyak pihak yang menganggap proyek ini sebagai proyek yang ambisius.

Baca Juga:
FEB UI Tanda Tangani Kerja Sama Pendidikan dengan DDTC

Elemen dan Tujuan

Terdapat tiga tujuan diadakannya Proyek Anti-BEPS: (i) berupaya untuk mencegah dan mengurangi tergerusnya penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan usaha; (ii) memastikan bahwa pajak dikenakan di lokasi (negara atau yurisdiksi) aktivitas ekonomi dilakukan yang memberikan kontribusi pada terbentuknya penghasilan; serta (iii) untuk merumuskan ulang sistem pajak yang lebih adil.

Dalam rangka menanggulangi persoalan penghindaran pajak dan menciptakan pemajakan secara adil, Proyek Anti-BEPS ini berdiri di atas tiga prinsip, yaitu: (i) menetapkan rezim pajak internasional yang berdasarkan paradigma kolaboratif dan bukan kompetitif; (ii) pentingnya menggunakan pendekatan sistematis dan bukan ad-hoc, dengan pemahaman adanya keterkaitan antara norma-norma sistem pajak internasional; (iii) keniscayaan untuk mengadopsi solusi baru atas persoalan yang tidak dapat dipecahkan melalui norma-norma yang ada.

Baca Juga:
Pengembang Tak Setor PPN Rp 1,88 Miliar, Direktur Ditahan Kejaksaan

Proyek ini tidak ditujukan untuk mengecilkan kedaulatan pajak suatu negara. Namun, bertujuan untuk merestorasi dan memperkuat kedaulatan hak pemajakan masing-masing negara melalui suatu upaya untuk memastikan suatu negara dapat memajaki laba yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi yang dilakukan di negara tersebut.

Selain itu, Proyek Anti-BEPS memiliki keinginan untuk menyelesaikan harmful tax practice yang ditandai dengan adanya kompetisi pajak serta penggunaan perusahaan cangkang yang kerap dimanfaatkan untuk menampung laba serta penyalahgunaan P3B. Proyek Anti-BEPS tidak bermaksud untuk memaksa perubahan kebijakan pajak di negara tax haven, namun hanya untuk memastikan rezim tersebut tidak menarik investasi asing dengan aktivitas yang artifisial.

Lebih lanjut lagi, perubahan ketentuan domestik ataupun internasional sebagai hasil dari Proyek Anti-BEPS, ditenggarai akan meningkatkan sengketa pajak internasional di kemudian hari. Oleh karena itu, Proyek Anti-BEPS juga bermaksud untuk memberikan kepastian, mengurangi sengketa, memberikan keadilan dan konsistensi dari sistem pajak internasional.

Baca Juga:
Binus University Raih Juara I PERTAPSI Tax Competition 2024

Dalam rangka memberikan kepastian, Proyek Anti-BEPS juga tidak bertujuan untuk merubah standar internasional atas alokasi hak pemajakan dari penghasilan yang bersifat lintas-batas. Proyek ini hanya akan meletakkan kerangka dasar pajak internasional yang modern yang bertujuan agar laba dipajaki di lokasi terbentuknya nilai dan aktivitas ekonomi dilakukan.

Terkait dengan tujuan yang hendak dicapai, terdapat tiga elemen utama yang mendasari Proyek Anti-BEPS (OECD, 2013), yaitu:

Pertama, elemen koherensi yang berangkat dari pertimbangan bahwa standar dalam melawan praktik BEPS akan lebih efektif diimplementasikan, jika hal tersebut berada dalam kerangka kesepahaman yang sama. Cara penanggulangan yang berbeda-beda dapat menciptakan celah untuk adanya praktik BEPS. Koherensi juga mencakup adanya upaya untuk mempertalikan antara standar untuk mencegah pemajakan berganda dan standar untuk mencegah penghindaran pajak.

Baca Juga:
Keseruan Babak Final PERTAPSI Tax Competition 2024 di Menara DDTC

Kedua, elemen substansi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa BEPS berkaitan erat dengan skema artifisial yang minim substansi ekonomi, yang memungkinkan adanya pemisahan atas laba kena pajak dan aktivitas yang dilakukan untuk memeroleh laba tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya kesesuaian hak pemajakan dengan substansi ekonomi. Salah satunya dapat dilakukan melalui memperbaiki sistem pajak internasional agar dapat mengimbangi pesatnya perubahan model bisnis dan perkembangan teknologi.

Ketiga, elemen transparansi (dan kepastian). Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik BEPS juga didorong oleh ketidakmampuan otoritas pajak untuk memeroleh informasi yang komprehesif, tepat sasaran, dan diperoleh pada saat yang tepat. Skema BEPS yang bersifat lintas yurisdiksi juga tidak hanya membutuhkan informasi yang dapat diperoleh dari dalam negeri saja, namun juga dari negara atau yurisdiksi lain. Untuk mengatasinya, diperlukan mekanisme pengumpulan informasi yang mengacu pada transparansi dari wajib pajak maupun otoritas pajak dari negara lain. Rekomendasi yang diputuskan adalah menyederhanakan kewajiban kepatuhan perusahaan multinasional dan transparansi dalam investasi lintas yurisdiksi (Pascal Saint-Amans dan Raffaele Russo, 2016).

15 Rencana Aksi

Baca Juga:
Babak Final PERTAPSI Tax Competition Resmi Digelar, 5 Tim Berkompetisi


Secara keseluruhan, Proyek Anti-BEPS terdiri atas 15 Rencana Aksi. Ditinjau dari sifat, komitmen, dan tujuannya, dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu:

Pertama, aksi yang berisi suatu laporan analisis dan upaya memetakan BEPS. Kelompok ini terdiri dari 3 aksi, yaitu (i) tantangan pemajakan ekonomi digital (Aksi 1); (ii) merancang metodologi untuk mengukur BEPS dan anti-BEPS (Aksi 11); serta (iii) instrumen multilateral (Aksi 15).

Baca Juga:
IRS Ungkap Orang-Orang Kaya Tak Bayar Pajak 150 Miliar Dolar AS

Kedua, aksi yang berkaitan dengan pendekatan bersama dan praktik terbaik. Kelompok ini terdiri dari (i) upaya menetralisir dampak dari hybrid mismatch arrangements (Aksi 2); (ii) memperkuat aturan anti-CFC (Aksi 3), membatasi biaya bunga (Aksi 4); serta (iii) kewajiban pengungkapan atas perencanaan pajak yang agresif (Aksi 12).

Ketiga, membuat standar internasional yang lebih kuat. Kelompok ini terdiri atas (i) mencegah penghindaran status Bentuk Usaha Tetap (Aksi 7); (ii) serta mengkaitkan kebijakan harga transfer dengan penciptaan nilai atau value creation (Aksi 8-10).

Terakhir, adalah kelompok seluruh rencana aksinya merupakan standar minimum yang harus diimplementasikan oleh negara-negara anggota OECD dan G20. Kelompok ini terdiri dari (i) melawan harmful tax practices melalui elemen transparansi dan substansi (Aksi 5); (ii) mencegah penyalahgunaan P3B (Aksi 6); (iii) format baru dokumentasi transfer pricing (Aksi 13); serta (iv) membuat mekanisme resolusi sengketa pajak yang lebih efektif (Aksi 14).


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 06 Maret 2024 | 15:55 WIB UNIVERSITAS INDONESIA

Perkembangan Teknologi Jadikan Prospek Profesi Pajak Makin Luas

Rabu, 06 Maret 2024 | 15:15 WIB UNIVERSITAS INDONESIA

FEB UI Tanda Tangani Kerja Sama Pendidikan dengan DDTC

Rabu, 06 Maret 2024 | 09:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pengembang Tak Setor PPN Rp 1,88 Miliar, Direktur Ditahan Kejaksaan

Jumat, 01 Maret 2024 | 17:15 WIB KOMPETISI PAJAK

Binus University Raih Juara I PERTAPSI Tax Competition 2024

BERITA PILIHAN