FOKUS AKHIR TAHUN

Mimpi Besar di Balik UU Cipta Kerja Bidang Perpajakan

Kurniawan Agung Wicaksono
Selasa, 22 Desember 2020 | 10.10 WIB
Mimpi Besar di Balik UU Cipta Kerja Bidang Perpajakan

Ilustrasi. (DDTCNews)

HADIRNYA bidang perpajakan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa jadi di luar ekspektasi masyarakat pada umumnya. Beberapa poin penting dalam rencana reformasi perpajakan masuk dalam UU tersebut, menyusul Perpu 1/2020 yang telah diundangkan menjadi UU 2/2020.

Dalam rencana reformasi perpajakan, pemerintah berencana mengubah sejumlah ketentuan dalam paket UU di bidang pajak. Namun, menjelang akhir 2019, pemerintah menggaungkan RUU Omnibus Law Perpajakan yang mencakup poin-poin penting perubahan paket UU di bidang pajak.

RUU Omnibus Law Perpajakan itu sudah disampaikan kepada DPR pada  Februari 2020. Namun, pada akhir Maret 2020, tidak lama setelah kasus Covid-19 masuk ke Indonesia, pemerintah menerbitkan Perpu 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU 2/2020.

Setidaknya ada 2 kebijakan yang awalnya direncanakan masuk dalam RUU Omnibus Law Perpajakan tapi dibawa masuk ke dalam UU 2/2020. Keduanya adalah penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dan perlakuan perpajakan dalam kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Tidak berhenti sampai di sana, beberapa poin penting lain dalam RUU Omnibus Law Perpajakan ternyata juga dimasukkan dalam bidang perpajakan UU 11/2020. Disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020, UU Cipta Kerja ini diundangkan pada 2 November 2020.

Dari perjalanan itu terlihat pemerintah benar-benar memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk melanjutkan reformasi perpajakan dalam konteks jangka panjang. Untuk membantu memitigasi efek jangka pendek dari pandemi, pemerintah juga banyak menawarkan insentif pajak.

Langkah yang ditempuh pemerintah ini sejalan dengan pernyataan Wakil Direktur Centre for Tax Policy and Administration OECD Grace Perez-Navarro. Menurutnya, pandemi memang harus dijadikan momentum dan waktu yang terbaik untuk strategi kebijakan fiskal baru, terutama pajak.

Pasalnya, belajar dari pengalaman masa lalu, banyak negara lebih mudah mengenalkan jenis pajak baru pada reformasi pajak. Di Indonesia, momentum ini juga telah ditunjukkan melalui pengenaan pajak digital. Saat ini, baru pengenaan PPN atas impor produk digital yang sudah diterapkan.

Adapun bidang perpajakan dalam UU Cipta Kerja mencakup perubahan 4 UU, yakni UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Terkait dengan perubahan UU PPh, UU PPN, dan UU KUP, Perpajakan DDTC menyajikannya secara lengkap dalam kanal UU Perpajakan Konsolidasi. Simak artikel ‘‘Baca 3 UU Pajak Konsolidasi? Tersedia Lengkap di Perpajakan DDTC!’.

Dalam wawancara khusus dengan DDTCNews, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan perubahan beberapa aspek fundamental dalam reformasi perpajakan sudah masuk dalam UU Cipta Kerja. Namun, pemerintah tetap akan melihat kebutuhan dan dinamika dunia perpajakan.

“Beberapa yang fundamental kami taruh di UU Cipta Kerja. Kalau ada evolusi lagi, kita lihat. Sekarang kita jalanin UU Cipta Kerja. Kami menyiapkan juga beberapa aturan turunan,” ujar Suahasil. Simak artikel wawancara khusus.

Ekonomi Bergerak
DIRJEN Pajak Suryo Utomo mengatakan berbagai kebijakan pajak yang ditempuh dalam UU 2/2020 dan UU 11/2020 bermuara pada kemudahan berusaha. Kebijakan tersebut diharapkan mampu membuat perekonomian bergerak, terutama setelah ada pandemi Covid-19.

Berbagai kebijakan yang ditempuh itu mengusung 4 tujuan. Pertama, meningkatkan pendanaan investasi. Kedua, mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela. Ketiga, meningkatkan kepastian hukum. Keempat, menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri.

“Ini juga menjadi bagian reformasi perpajakan yang fundamental. Harapannya, kegiatan ekonomi dapat bergerak lebih cepat lagi,” kata Suryo.

Pokok perubahan UU PPh antara lain, pertama, penegasan penentuan subjek pajak orang pribadi. WNI dan WNA yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia menjadi subjek pajak dalam negeri (SPDN). WNI yang di Indonesia kurang dari 183 hari dapat menjadi subjek pajak luar negeri (SPLN) dengan syarat tertentu.

Kedua, pengenaan PPh bagi WNA yang merupakan SPDN dengan keahlian tertentu hanya atas penghasilan dari Indonesia. Ketiga, penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri. Keempat, penerapan ketentuan tidak dikenakannya PPh atas dividen dan penghasilan setelah pajak dari luar negeri sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk kegiatan usaha lainnya di Indonesia.

Kelima, pemberlakuan ketentuan tidak dikenakannya PPh atas penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap (BUT) asalkan diinvestasikan di Indonesia. Keenam, pengaturan non-objek PPh atas bagian laba/SHU koperasi serta dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Ketujuh, non-objek PPh atas sisa lebih dana Badan Sosial & Badan Keagamaan. Kedelapan, pemberian ruang untuk penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga. 

Pokok perubahan dalam UU PPN antara lain, pertama, konsinyasi bukan termasuk penyerahan barang kena pajak (BKP). Kedua, penyertaan modal dalam bentuk aset (inbreng) tidak terutang PPN. Ketiga, penyerahan batu bara termasuk penyerahan BKP.

Keempat, relaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak (PKP). Kelima, pencantuman nomor induk kependudukan (NIK) pembeli yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam faktur pajak. Keenam, pengaturan faktur pajak untuk PKP pedagang eceran.

Adapun pokok perubahan dalam UU KUP antara lain, pertama, penurunan sanksi administrasi pengungkapan sendiri ketidakbenaran perbuatan wajib pajak dari 150% menjadi 100%. Kedua, pengaturan ulang sanksi administrasi pajak dan imbalan bunga.

Ketiga, penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PKP tidak melakukan penyerahan dan/atau ekspor BKP dan/atau jasa kena pajak (JKP) serta telah diberikan pengembalian atau telah mengkreditkan pajak masukan.

Keempat, penerapan satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi antara sanksi bunga dan sanksi kenaikan dalam pemeriksaan atas PPN dan PPnBM. Kelima, penegasan Surat Pemberitahuan (SPT) menjadi pasti jika dalam 5 tahun tidak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), kecuali wajib pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Keenam, penerapan ketentuan tidak lagi diterbitkannya ketetapan pajak atas pidana pajak yang telah diputus. Ketujuh, penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) daluwarsa 5 tahun. Kedelapan, penerbitan STP yang dapat dilakukan untuk menagih imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan.

Suryo mengatakan berbagai perubahan fundamental dalam ketiga UU Pajak melalui UU 11/2020 serta UU 2/2020 tidak hanya difokuskan untuk mendorong agar perekonomian bergerak. Menurutnya, sejumlah kebijakan juga ditujukan untuk memperluas basis pajak.

“Ini cara kami membawa aktivitas ekonomi ini masuk ke dalam sistem. Tujuannya apa? Fairness. Semua orang seharusnya menanggung beban pajak yang proporsional,” imbuhnya.

Managing Partner DDTC Darussalam mengungkapkan pandemi Covid-19 seharusnya dimaknai sebagai momentum solidaritas pajak. Berbagai kebijakan pemerintah harus bisa memastikan wajib pajak membayar sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, pembenahan di area pajak merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya menciptakan iklim usaha yang mendukung penciptaan lapangan kerja. Diikutsertakannya bidang perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan memberikan sinyal pemerintah ‘tidak setengah-setengah’. Simak Perspektif ‘Makna Positif Klaster Perpajakan dalam UU Cipta Kerja’.

“Setelah masa pandemi, ya seharusnya kepatuhan sukarela wajib pajak meningkat. Karena pemerintah sudah melakukan banyak hal, seharusnya dijawab oleh wajib pajak sesuai kemampuan membayarnya (ability to pay),” imbuh Darussalam.

Kondisi itu sejalan dengan sistem pajak berbasis paradigma kepatuhan kooperatif yang perlu dikembangkan dalam era baru pascapandemi. Paradigma kepatuhan ini didasarkan atas perumusan kebijakan pajak yang partisipatif dan berorientasi jangka panjang, keterbukaan antara otoritas pajak dan wajib pajak, dan upaya meningkatkan kepastian dan keadilan melalui simplifikasi pajak.

Dalam konteks bidang perpajakan UU Cipta Kerja, Darussalam meminta agar pemerintah juga melibatkan masyarakat dalam penyusunan aturan turunan. Bagian dari transparansi ini juga penting dilakukan agar semua ketentuan masih sejalan dengan tujuan besar dari UU Cipta Kerja.

Aturan Turunan
KETUA Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto mengatakan bidang perpajakan dalam UU Cipta Kerja menjadi upaya nyata Indonesia melakukan langkah fundamental secara struktural melalui penyederhanaan dan keringanan pajak guna mendukung investasi. Dia berharap semua stakeholder dilibatkan dalam penyusunan aturan turunan.

“Tentu diharapkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk asosiasi, konsultan, akademisi, dan pelaku usaha dapat mengerti dan memahami terhadap perubahan yang terjadi di dalam ketentuan atau peraturan yang baru,” katanya.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengakui bidang perpajakan pada UU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan investasi dan meringankan beban yang harus ditanggung pengusaha.

Namun, menurutnya, terdapat klausul-klausul pada UU Cipta Kerja yang masih perlu segera diperjelas kepada pengusaha. Tidak hanya penjelasan atau ketentuan spesifik, dia berharap aturan turunan bidang perpajakan UU Cipta Kerja juga memuat contoh penghitungan.

"Penjelasan saja kadang belum jelas, jadi kami harap ada contoh juga. Saya memohon dengan sangat ada penjelasan, seperti penghitungan itu ada contohnya biar jelas," ujar Suryadi.

Dalam artikel Makna Klaster Pajak di UU Cipta Kerja, Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan selain memberi panduan yang jelas bagi seluruh pemangku kepentingan, aturan turunan seharusnya tetap dijaga dalam koridor kemudahan berusaha yang ingin dicapai. 

Menurut Bawono, setidaknya terdapat 3 kelompok karakteristik peraturan turunan. Pertama, aturan penjelasan mengenai ketentuan yang berkaitan erat dengan aspek kewajiban administrasi wajib pajak, seperti prosedur pembetulan terkait dengan penyesuaian tarif bunga sanksi administrasi.

Kedua, jenis aturan yang dibutuhkan untuk mengantisipasi adanya interpretasi yang timbul akibat interaksi dengan peraturan lain. Contohnya, aturan mengenai pengecualian dividen luar negeri dengan ketentuan controlled foreign corporation (CFC).

Ketiga, aturan yang berfungsi memberikan penjelasan lebih lanjut akibat adanya delegasi dari UU Cipta Kerja. Misalnya, aturan yang memerinci kriteria keahlian tertentu dalam rezim pajak bagi WNA dan sebagainya.

Ya, narasi di belakang penyusunan kebijakan perpajakan dalam UU 2/2020 dan UU 11/2020 sudah benar di tengah kondisi pandemi Covid-19. Jaminan efektivitas pelaksanaan di lapangan pada gilirannya bergantung pada sejumlah aturan turunan yang ditargetkan terbit Januari 2021.

Mimpi besar sistem pajak adil, pasti, dan kompetitif diharapkan benar-benar tercapai. Hingga pada akhirnya, pajak kembali menorehkan kontribusi yang cukup besar dalam perjalanan ekonomi untuk pulih dan bangkit pascapandemi. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.