Ilustrasi. Wajib pajak berjalan memasuki ruangan KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga, Jakarta, Jumat (4/2/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) mengungkapkan risiko atau konsekuensi yang muncul ketika wajib pajak orang pribadi memenuhi kondisi skema kebijakan II Program Pengungkapan Sukarela (PPS), tetapi tidak mengikutinya.
Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Giyarso mengatakan apabila wajib pajak tersebut tidak mengikuti skema kebijakan II PPS, DJP akan meneliti penghasilan yang menjadi sumber diperolehnya harta. Adapun harta yang dimaksud adalah harta yang belum diungkap dalam Surat Pemberitahuan (SPT).
“Apabila penghasilan tersebut adalah penghasilan yang belum dikenakan pajak dan/atau belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh maka DJP, melalui proses pemeriksaan, bisa menerbitkan surat ketetapan pajak kurang pajak (SKPKB),” ujarnya dalam Tax Live, Kamis (23/6/2022).
Atas penghasilan tersebut akan dikenakan tarif progresif sesuai dengan Pasal 17 UU PPh s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kemudian, dalam SKPKB juga akan ada pengenaan sanksi administratif berupa denda.
Apabila harta yang ditemukan DJP terkait dengan tindak pidana perpajakan, otoritas bisa melakukan penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan untuk mengetahui ada atau tidaknya kerugian negara. Menurutnya, konsekuensi itu lebih besar dibandingkan jika wajib pajak mengikuti PPS.
Sesuai dengan UU HPP, jika mengikuti PPS, wajib pajak mendapat perlindungan data atas harta yang diungkap. Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Sebagai informasi kembali, terdapat 2 skema kebijakan pada PPS yang berlaku hingga 30 Juni 2022. Skema kebijakan I untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty dengan basis aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan.
Sementara itu, skema kebijakan II PPS dapat diikuti wajib pajak orang pribadi yang ingin mengungkap harta perolehan 2016—2020, masih dimiliki pada 31 Desember 2020, dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 2020. (kaw)