Harlinda Siska Pradini,
REFORMASI perpajakan terus berjalan untuk meningkatkan tax ratio Indonesia. Dalam publikasi Sekretariat Nasional Asean-Indonesia, tax ratio pada 2018—2020 stagnan sebesar 10-12%. Rendahnya tax ratio menjadi tantangan dalam pemulihan ekonomi nasional.
Perekonomian terkontraksi akibat pandemi Covid-19. Namun, sektor ekonomi terkait dengan digital masih tetap tumbuh. Pada 2020, nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara mencapai US$105 miliar. Dari jumlah tersebut, sebanyak US$44 miliar disumbang Indonesia (e-Conomy SEA, 2020). Nilai ekonomi itu salah satunya dilihat dari transaksi bruto sektor finansial.
Dunia digital menyediakan ruang gerak yang luas baik dalam relasi sosial maupun pekerjaan, sumber penghasilan, bahkan lahan untuk investasi. Digitalisasi telah melahirkan aset digital, seperti aset kripto dengan nilai transaksi pada 5 bulan pertama 2021 mencapai Rp370 triliun.
Dalam perspektif perpajakan, harta atau aset dapat digunakan untuk mengukur kewajaran penghasilan. Ketika memperoleh penghasilan, setiap individu akan mengalokasikan untuk konsumsi, pelunasan kewajiban, dan investasi.
Adapun investasi dapat diwujudkan dalam bentuk aset. Dengan mengetahui keseluruhan aset individu maka fiskus akan mampu mengestimasi penghasilan yang seharusnya diterima. Dengan kata lain, pendekatan aset digunakan untuk menganalisis ada atau tidaknya penghasilan yang belum dilaporkan.
Pengungkapan kepemilikan harta oleh wajib pajak secara self assessment dilakukan saat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Tidak semua wajib pajak memahami kewajiban pengungkapan harta. Bisa juga, wajib pajak dengan sengaja tidak melaporkan harta secara benar, lengkap, dan jelas.
Untuk menguji pengungkapan harta wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki akses data pembanding seperti data rekening keuangan, Izin Mendirikan Bangunan, serta kepemilikan kendaraan bermotor.
Bagaimanapun, pada era digital, pengawasan pajak atas aset mengalami perluasan ruang lingkup. Keberadaan aset tidak hanya berbentuk fisik, tetapi juga digital. Contohnya, perdagangan secara daring dilakukan melalui toko online.
Toko online mampu menghasilkan pendapatan dan berpotensi untuk dijual kembali, diwariskan, atau dihibahkan. Pasalnya, toko online memiliki nilai ekonomi tertentu ditinjau dari jumlah followers, pengunjung, rating, atau reputasi. Jenis aset digital ini tidak tercatat pada SPT Tahunan.
Inovasi teknologi telah memunculkan ragam aset digital lainnya. Bank Indonesia sendiri berencana untuk menerbitkan mata uang digital rupiah. Pembuatan central bank digital currency (CBDC) tersebut memperluas cakupan pelaporan kas dan setara kas.
Investasi dalam bentuk emas juga telah tersedia secara digital melalui berbagai platform aplikasi. Pembelian emas secara online mampu mengakomodasi pembelian dengan nilai transaksi sesuai dengan daya beli konsumen. Dengan sistem ini, permintaan investasi emas berpotensi meningkat.
Aset digital lain yang telah beredar di beberapa negara adalah karya seni digital. Dengan skema non-fungible token (NFT), karya seni dapat ditokenisasi untuk pembuatan sertifkat kepemilikan digital yang dapat diperjualbelikan. NFT digunakan untuk transaksi karya seni digital seperti GIF, tweet, kartu perdagangan virtual, gambar objek fisik, real estate virtual, dan lain-lain.
Dengan perkembangan aset digital, penyusunan beberapa regulasi untuk pengawasan perpajakan sangat diperlukan. Pertama, pengaturan pengungkapan aset digital di kolom harta pada SPT Tahunan. Diperlukan kriteria khusus atas aset digital yang wajib dilaporkan dan skema konversi nilai perolehannya.
Aset digital memiliki cakupan luas sehingga perlu dipetakan kriteria yang dideklarasikan. Misalnya, memiliki nilai ekonomi tertentu, dapat diperjualbelikan, menghasilan passive income atau active income. Nilai aset digital ini tentu akan sangat fluktuatif sehingga perlu pengaturan mengenai cara pengakuan nilai serta ada atau tidaknya opsi revaluasi.
Kedua, regulasi atas perpindahan kepemilikan aset digital baik melalui mekanisme jual beli, waris, maupun hibah. Penjualan atau pengalihan aset digital dapat dikenakan pajak sesuai dengan karakteristik asetnya.
Misalnya, atas penjualan aset kripto, pengenaan pajaknya dapat dipersamakan dengan PPh final atas transaksi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ketika dijual, aset digital tertentu juga harus dilakukan penilaian untuk mengetahui ada atau tidaknya keuntungan saat pengalihan.
Ketiga, kerja sama penyampaian data dari pihak terkait kepada DJP. Pelaporan tersebut dapat berupa SPT Masa atas transaksi penjualan aset digital atau media pelaporan lainnya. Transaksi atas aset digital setidaknya melibatkan platform penyedia aplikasi, operator pembayaran, pihak penerbit, atau regulator aset digital.
Penelusuran jejak digital dapat digunakan untuk mengungkap beneficial owner atas aset digital. Digital aset tracing diperlukan untuk memitigasi risiko terjadinya potensial loss penerimaan pajak akibat penghasilan yang belum dilaporkan.
Dengan masifnya laju perkembangan dunia digital, aturan perpajakan dituntut mampu memotret seluruh aktivitas ekonomi, termasuk di dunia maya. Pengawasan pajak atas aset digital akan memberikan level playing field dengan aset berwujud atau aset tidak berwujud lainnya yang telah diatur dalam regulasi perpajakan.
Tanpa pengawasan memadai, kehadiran aset digital berpotensi menjadi modus praktik penghindaran pajak yang makin sulit dijangkau otoritas pajak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.