LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK

Urgensi Pemajakan Bitcoin

Redaksi DDTCNews
Selasa, 23 Januari 2018 | 18.45 WIB
ddtc-loaderUrgensi Pemajakan Bitcoin
Dwi Anggoro Widiyanto,
Politeknik Keuangan Negara STAN - Bintaro

DEWASA ini, mata uang virtual telah menjadi tren yang semakin dikenal di masyarakat. Mata uang virtual, yang kini populer dengan sebutan cryptocurrency, memiliki banyak jenis yang telah beredar di pasar.

Bitcoin (BTC), cryptocurrency pertama dan oleh berbagai kalangan dianggap sebagai yang terbaik, saat ini merupakan mata uang virtual yang paling populer baik di Indonesia maupun di dunia. Dikutip dari Reuters, menjelang akhir tahun ini saja kapitalisasi pasar cryptocurrency (mayoritas bitcoin) di dunia mencapai US$200 miliar. Benar-benar angka yang fantastis.

Meski kehebohan Bitcoin terjadi dan memuncak sepanjang tahun 2017 di Indonesia, namun sejatinya mata uang virtual tersebut telah diluncurkan di publik sejak tahun 2009. Bitcoin diciptakan oleh Satoshi Nakamoto, seseorang/ pihak yang hingga kini identitasnya masih misterius.

Pada awal diluncurkan, bitcoin tidak bernilai serta tidak memiliki nilai tukar, sehingga belum dianggap sebagai mata uang yang viabel. Baru pada tahun 2010, transaksi pertama yang menggunakan bitcoin terjadi di mana seseorang membayar dua porsi pizza dengan 10.000 BTC.

Saat itu dapat dikatakan terjadi penciptaan nilai terhadap Bitcoin. Dan sejak saat itu, nilai bitcoin terus meroket hingga menembus angka 257.282.000/ BTC per hari ini (27 Desember 2017, dilansir dari situs www.bitcoin.co.id).

Keunggulan Bitcoin

BANYAK kalangan menilai bahwa cryptocurrency, khususnya bitcoin merupakan mata uang masa depan. Popularitas bitcoin tidak terlepas dari keunggulan cryptocurrency dibandingkan dengan mata uang digital, apalagi konvensional. Ada beberapa faktor yang menyebabkan bitcoin begitu banyak dicari dan nilainya cenderung naik setiap waktu, sejalan dengan hukum permintaan dan penawaran.

Pertama, easy to transfer. Transfer dengan menggunakan bitcoin dapat dilakukan setiap saat tanpa batasan waktu (24/7), nominal, batasan kebijakan antar negara serta lebih rendah dibanding dengan transfer mata uang digital yang harus melalui otorisasi bank.

Kedua, kontrol atas penyimpanan. Pemilik mata uang digital menyimpan uang mereka di bank. Hal ini berarti bahwa pemilik uang tersebut harus tunduk pada peraturan dari bank maupun pemerintah. Di lain sisi, seseorang yang menerima bitcoin baik dari transaksi mining maupun transfer dari pihak lain akan langsung masuk ke media penyimpanan dompet digital yang disebut Cryptonator. Dompet digital ini sangat aman, memiliki privasi tingkat tinggi serta kontrol penuh oleh pemiliknya tanpa melalui pihak ketiga.

Ketiga, masalah anonimitas. Data atas segala aktivitas uang masuk atau keluar dari rekening bank baik melalui media kartu kredit,debit atau media lainnya akan otomatis terekam dan tersimpan pada server bank atau pihak ketiga.

Namun, apabila transfer atau pembayaran melalui bitcoin maka baik data pengirim maupun penerima akan terjaga anonimitasnya dan untraceable. Dengan privasi tingkat tinggi seperti ini sebenarnya juga memiliki efek negatif yaitu timbulnya potensi penyalahgunaan untuk kegiatan kriminal maupun money laundry.

Keempat, yaitu berkaitan dengan penciptaan nilai. Nilai dari mata uang digital sangat dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral di suatu negara untuk mengatur jumlah yang beredar di pasar – mengendalikan inflasi dan deflasi.

Hal ini berarti bahwa penciptaan nilai dari mata uang digital sangat dipengaruhi oleh pemerintah. Berbeda halnya dengan bitcoin, penciptaan nilai ditentukan oleh jumlah permintaan dan penawaran, tidak dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.

Perlu diketahui bahwa jumlah bitcoin beredar di dunia akan tetap selalu sama, yaitu 21 juta BTC. Dengan karakteristik jumlah uang beredar yang terbatas tersebut diharapkan nilai bitcoin akan lebih stabil daripada mata uang digital.

Pengenaan Pajak
ADA dua alasan mendasar yang melatarbelakangi pengenaan pajak atas bitcoin. Pertama, objek pajak. Untuk mengetahui hal ini, mari kita kembali pada esensi bahwa yang dikenakan pajak hanyalah objek pajak.

Pengertian objek pajak sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan berbunyi:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.”

Mengacu pada pasal tersebut, maka yang menjadi objek pajak dari transaksi atas bitcoin ini adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan ekonomis sebagai keuntungan dari kepemilikan bitcoin itu sendiri.

Sebagaimana diketahui bahwa terdapat 3 aktivitas utama untuk memperoleh bitcoin. Pertama, penambangan (mining), yaitu aktivitas pemrosesan penghitungan matematis yang rumit yang dilakukan melalui perangkat lunak pada komputer. Para penambang (miners) akan mendapatkan insentif berupa bitcoin.

Aktivitas kedua, adalah dengan membeli langsung bitcoin kepada exchanger (penjual bitcoin). Exchanger bitcoin resmi di Indonesia adalah PT. Bitcoin Indonesia. Aktivitas ketiga, adalah melakukan penjualan barang atau jasa dengan menerima pembayaran melalui bitcoin.

Dari ketiga aktivitas utama tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomi dalam hal ini adalah penghasilan yang diperoleh atas penambangan bitcoin serta tambahan nilai ekonomis atas kepemilikan bitcoin, yaitu selisih harga beli dengan harga jualnya.

Alasan kedua adalah untuk menciptakan rasa keadilan. Teori The Four Canons of Taxation dari Adam Smith (1723-1790) mengemukakan bahwa Canons of Equity (Prinsip Keadilan), keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.

Sejalan dengan teori tersebut, Bitcoin, dalam hal ini seharusnya diperlakukan sama seperti instrumen investasi lainnya yang juga dikenakan pajak. Sebagai akibat dari hal tersebut, maka potensi akan adanya penyalahgunaan bitcoin sebagai sarana penghindaran pajak dapat diminimalisir.

Karena kesamaan sifat dan karakteristiknya, sebenarnya pengenaan pajak atas transaksi bitcoin ini dapat disederhakan sama seperti pengenaan pajak atas saham, yaitu dikategorikan bersifat final sesuai dengan pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan. Untuk kepastian hukum, penegasan berupa diterbitkannya aturan perpajakan yang khusus mengatur tentang cryptocurrency sebenarnya diperlukan.

Bagai fenomena gunung es, yang menjadi permasalahan utama dalam bitcoin ini justru adalah pengawasan atas kepatuhan pembayaran pajak (tax compliance), mengingat bahwa sifat transaksi bitcoin yang cenderung untraceable. Untuk itu, diperlukan peran aktif Ditjen Pajak untuk bekerjasama dengan para Exchanger Bitcoin dalam rangka pengawasan tax compliance atas bitcoin.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.