TREN optimalisasi pajak dari segmen orang kaya (high wealth individual/HWI) telah menjadi perhatian, terutama pada saat pandemi.
Selain untuk menyeimbangkan penerimaan negara yang hilang dari berbagai program belanja dan stimulus fiskal, pemajakan HWI dapat menjadi salah satu saluran solidaritas pada masa pelemahan ekonomi. Tidak mengherankan jika beberapa negara, seperti Kolombia, Argentina, dan Kenya, memperkenalkan dan mulai mempertimbangkan pajak berbasis kekayaan.
Lantas, apa saja yang dapat menjadi justifikasi untuk menaruh fokus yang besar pada segmen HWI?
Karakteristik Khusus HWI
HWI dapat diartikan sebagai wajib pajak yang memiliki keunggulan dalam kekayaan dan penghasilan, hubungan sosial yang lebih baik, akses ke konsultan pajak yang lebih baik, akses yang lebih mudah pada lembaga permodalan di berbagai negara, dan aktivitas yang ruang lingkupnya mengglobal (Tanzi, 2012).
Berdasarkan pada definisi tersebut, dapat dilihat, HWI memiliki karakteristik yang berbeda dan cenderung kompleks dibandingkan dengan segmen wajib pajak lainnya (Simak Inside Tax edisi 30). Oleh karena itu, meskipun jumlahnya sedikit, kompleksitas HWI nyatanya memberikan tantangan tersendiri bagi otoritas pajak di berbagai negara.
OECD (2009) juga menyatakan terdapat empat pertimbangan yang dapat menjustifikasi perlunya bagi otoritas pajak untuk fokus pada penanganan HWI. Pertama, kompleksitas urusan perpajakan. HWI biasanya memiliki penghasilan dari berbagai sumber dengan struktur bisnis yang kompleks.
Selain itu, kelompok ini memiliki bentuk bisnis yang beragam, bahkan investasinya tidak hanya ditanamkan di satu negara. Hal ini juga menyebabkan kemunculan isu-isu perpajakan internasional seperti tax treaty, status residen, dan penentuan negara yang akan berhak memajaki penghasilannya.
Kedua, kontribusi HWI terhadap penerimaan pajak. Berbagai negara pada umumnya mengenakan tarif pajak penghasilan (PPh) yang lebih besar bagi lapisan penghasilan kena pajak tertinggi. Dengan demikian, HWI diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan PPh.
Ketiga, kemampuan HWI untuk melakukan tax planning yang agresif. HWI memiliki sumber penghasilan yang beragam dan tersebar secara global sehingga ada kesempatan lebih besar untuk melakukan perencanaan pajak secara agresif. Tidak hanya itu, HWI juga dapat melakukan penggelapan pajak (tax evasion) melalui penyembunyian aset di luar negeri sehingga tidak dapat diketahui otoritas pajak di negara domisili.
Keempat, upaya menjamin integritas sistem perpajakan. Terdapat persepsi bahwa pihak yang mempunyai kekayaan tertinggi harus membayar pajak yang lebih tinggi dari yang lainnya (Tanzi, 2012). Oleh karena itu, perlakuan pajak terhadap HWI tidak hanya berpengaruh pada penerimaan pajak, tetap juga kepada kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan nasional.
Konteks Indonesia
LAPORAN kekayaan di seluruh dunia bertajuk World Wealth Report yang dirilis Capgemini (2019) menunjukkan peningkatan jumlah populasi orang kaya (HWI) di Indonesia. Pada 2018, Indonesia memiliki 129.000 orang HWI. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 124.000 orang. Menariknya, laporan itu juga menyebutkan jumlah orang terkaya di Indonesia merupakan yang terbanyak di Asia Tenggara.
Sementara itu, laporan yang dilansir Knight Frank (2020) menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ke-45 dari negara dan yurisdiksi yang memiliki ultra high-nett worth individual (UHNWI) terbanyak di dunia.
Jumlah individu yang memiliki kekayaan lebih dari US$30 miliar – atau disebut UHNWI di Indonesia – pada 2019 mencapai 675 orang. Laporan ini juga mengestimasi UNHWI Indonesia akan tumbuh sebesar 57% setiap lima tahun.
Meskipun jumlahnya terus meningkat, kontribusi HWI terhadap penerimaan pajak masih belum optimal. Pada 2020, realisasi PPh orang pribadi (baik PPh pasal 21 maupun PPh pasal 25/29) hanya mencapai Rp152,34 triliun atau 14,2% dari total realisasi penerimaan pajak Rp1.070 triliun. Dari jumlah tersebut, PPh pasal 25/29 hanya berkontribusi sebesar 1,08% dari total penerimaan pajak.
Padahal, Jika dibandingkan dengan performa di negara-negara OECD, kontribusi PPh orang pribadi terhadap penerimaan pajak sangat besar. Rata-ratanya mencapai 26% dari total penerimaan pajak. Oleh karena itu, dapat disimpulkan potensi penerimaan pajak dari HWI di Indonesia masih dapat digali lebih dalam. Lantas, cara apa yang telah digunakan otoritas pajak untuk menggali potensi tersebut?
Langkah teranyar yang tengah direncanakan pemerintah untuk mengoptimalkan kontribusi HWI dalam sistem pajak Indonesia adalah melalui penambahan lapisan penghasilan kena pajak. Pemerintah berencana meningkatkan tarif PPh orang pribadi tertinggi dari 30% menjadi 35% untuk orang kaya yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun.
Selain itu, dari segi administrasi, Indonesia telah memiliki unit administrasi khusus perpajakan HWI. Ditjen Pajak juga akan meningkatkan pemetaan wajib pajak orang kaya beserta grup usahanya. Sumber informasi inilah yang menjadi dasar untuk mengukur kepatuhan masing-masing wajib pajak HWI.
Arah Kebijakan
PEMERINTAH Indonesia masih memiliki ruang yang lebar untuk melakukan optimalisasi sistem pajak bagi HWI. Dalam konteks ini, terdapat beberapa usulan dan rekomendasi dari pakar pajak dan berbagai organisasi internasional yang dapat menjadi catatan.
Pertama, mempertimbangkan pengenaan pajak berbasis kekayaan. Salah satu respons kebijakan pajak paling progresif dalam menghadapi Pandemi Covid-19 yang dilakukan banyak negara adalah memperkenalkan pajak berbasis kekayaan (ADB, 2021).
IMF (2021) juga mengusulkan agar pemerintah dapat mempertimbangkan pengenaan pajak kekayaan sebagai solusi sementara untuk menjaga penerimaan negara serta wujud solidaritas dari masyarakat berpenghasilan tinggi. Di sisi lain, adanya instrumen capital gains tax yang lebih optimal dapat turut dipertimbangkan.
Selain keduanya, opsi pajak warisan juga bisa menjadi instrumen penting dalam mengatasi tekanan keuangan negara akibat Pandemi Covid-19. Lebih dari itu, pemajakan atas warisan juga menekankan fungsi pajak sebagai redistribusi kekayaan antarpenduduk dan mengatasi ketimpangan akibat akumulasi kekayaan antargenerasi (Darussalam, Kristiaji, dan Yustisia, 2019).
Kedua, mengoptimalkan peran unit khusus HWI (World Bank, 2021). Dalam hal ini, perlu dilakukan suatu terobosan administrasi yang memungkinkan unit khusus tersebut untuk memiliki integrasi data HWI, perusahaan-perusahaan yang dimilikinya, informasi pemilik manfaat (beneficial owner), serta seluruh aliran penghasilan (Kristiaji, 2018).
Identifikasi dan pemetaan kelompok HWI juga perlu dilakukan dengan cermat. Semisal karakteristik penghasilan, sektor, maupun demografi. Kita juga perlu memahami adanya kemungkinan status HWI yang timbul akibat akumulasi kekayaan antargenerasi. Dengan demikian, klasifikasi pihak yang terdaftar dalam unit khusus tersebut seyogianya harus mencakup berbagai hal di antaranya penghasilan, posisi di perusahaan, hingga informasi kepemilikan saham.
Praktik ini telah dilakukan beberapa negara seperti Australia, Aftika Selatan, Irlandia, Jepang, Kanada, dan Selandia Baru (OECD, 2009). Dengan skema ini, metode pengawasan terhadap HWI dan entitasnya menjadi saling terintegrasi sehingga otoritas pajak dapat memperoleh gambaran tentang performa HWI dan data yang akurat untuk menlai tingkat risiko masing-masing individu.
Ketiga, membangun cooperative compliance. Studi OECD (2008) di beberapa negara membuktikan relasi antara otoritas pajak dan HWI yang berbasiskan kerjasama, keterbukaan, dan transparansi dapat meningkatkan kepercayaan HWI untuk mematuhi kewajiban pajaknya. Pada akhirnya, cooperative compliance ini dapat berevolusi menjadi kepatuhan sukarela jangka panjang dari HWI.
Keempat, memperkuat database. Salah satu tantangan dalam optimalisasi pajak HWI adalah penghasilan yang umumnya berasal dari modal (passive income) dalam lingkup global. Dalam hal ini, otoritas pajak perlu melakukan pembaruan data dan informasi secara rutin serta mencocokannya dengan informasi keuangan atau kepemilikan harta yang dimiliki HWI tersebut.
Dari catatan di atas, rencana pemerintah, yakni penyesuaian tarif dan lapisan penghasilan kena pajak, hanya salah satu dari beberapa hal yang bisa dilakukan. Namun demikian, perlu ditopang baik dari sisi kebijakan dan administrasi pajak segmen HWI.