SEPERTI kita ketahui, pajak merupakan sumber pendapatan yang penting bagi suatu negara. Dengan kuantitas penduduk di Indonesia yang tidak sedikit, penerimaan pajak seharusnya melimpah. Namun, yang terjadi, ekspektasinya tidak sesuai dengan realitas.
Ternyata, masih banyak wajib pajak yang belum menjalankan kewajibannya seutuhnya. Tidak sedikit pula yang melupakan kewajiban membayar pajak, sehingga banyak sumber penerimaan pajak yang belum tergali.
Berdasarkan data per 31 Desember pada tahun 2016 lalu, jumlah wajib pajak (WP) riil di Indonesia hanya sekitar 34 juta. Hal ini menyebabkan pendapatan APBN Indonesia yang bersumber dari pajak hanya sekitar 80% persen, dari idealnya 100%.
Data tersebut memberikan gambaran nyata bahwa hanya beberapa persen penduduk yang taat pajak dan patuh menjalankan kewajibannya membayar pajak dari sekitar 261,1 juta jiwa total penduduk Indonesia tahun lalu.
Padahal, kebutuhan negara dalam rangka membangun tentu akan dapat terpenuhi dan negara tidak perlu berutang ke luar negeri jika penerimaan pajak dapat dioptimalkan. Tentunya jika dana tersebut dialokasikan dengan benar.
Masalah Krusial
UNTUK memecahkan masalah tersebut, harus ditelusuri terlebih dahulu akar permasalahan yang ada pada WP yang sebenarnya. Jika dilihat lebih cermat, maka permasalahan yang melanda WP sering terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, lupa membayar pajak. Meski terlihat sepele, namun tidak sedikit WP yang terkena virus lupa tersebut disebabkan minimnya informasi dan kesadaran tentang kapan harus membayar pajak. Dengan lupa ini tidak sedikit kemudian yang berakhir dengan dikenai denda.
Kedua, bingung mengurus pajak. Poin kedua ini, dialami oleh sebagian besar WP di Indonesia. Akibatnya para WP tersebut memilih untuk menunda membayar pajak disebabkan pengetahuan yang minim tentang mekanisme pengurusan pajak.
Ketiga, terkena masalah pajak. Akibat dari menunda untuk bayar pajak, masalah pajak pun timbul sehingga menimbulkan bagi para WP tersebut. Dari kejadian ini, seringkali kemudian WP menjadi tidak patuh dan tidak menjalankan kewajibannya membayar pajak.
Keempat, terkena denda pajak. Membayar denda bagi WP sudah tentu sangat merugikan. Namun, itu adalah bentuk kebijakan dari pemerintah agar dapat menimbulkan efek jera. Masalahnya, denda ini juga bisa memuat WP tidak patuh.
Peran Konsultan
Dari beberapa masalah tersebut, maka kita dapat melihat bahwa profesi konsultan pajak (tax consultant) yang berhubungan langsung dengan WP memiliki peran penting dalam meningkatkat jumlah WP dan otomatis pendapatan pajak di Indonesia.
Secara definisi, konsultan pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada WP dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan data dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), jumlah WP yang melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) pada tahun 2016 hanya sekitar 12,2 juta jiwa. Sedangkan, rasio pengguna konsultan pajak di Indonesia hanya 10%.
Situasi ini memang masih jauh dari kata sempurna. Dari angka yang bisa menjadi tolak ukur itu akan segera terlihat bahwa jumlah profesi konsultan pajak masih sedikit di tengah minimnya kesadaran masyarakat akan kewajiban membayar pajak.
Dengan situasi ini, maka apabila profesi konsultan pajak dikembangkan dan diberdayakan, tentu hal tersebut akan berdampak besar pada peningkatan jumlah WP di Indonesia sekaligus pendapatan pajak untuk APBN.
Padahal ,dengan memberdayakan konsultan pajak akan meningkatkan efisiensi waktu, tenaga dan mengurangi risiko kesalahan yang biasa terjadi, serta mengantisipasi kesalahan perhitungan yang berpotensi merugikan para WP itu sendiri.
WP juga tidak perlu pusing memikirkan dan mengurus kewajiban administrasi pajak, karena hal tersebut sudah menjadi tugas konsultan pajak yang lebih berpengalaman dalam pelaksanaannya, karena konsultan pajak juga ikut bertanggungjawab atas pelaporan pajak yang dibuat.
Tentunya, bukan sembarang orang yang dapat menduduki profesi konsultan pajak. Terdapat kompetensi utama yang menjadi bahan pertimbangan dalam menciptakan konsultan pajak yang siap diterjunkan ke lapangan.
Kompetensi itu di antaranya adalah memahami aturan dan dapat menghitung, serta mengisi SPT, menguasai segenap peraturan yang antara lain menyangkut Pajak Penghasilan (PPh) Badan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN,) PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22,23/26,24,25, serta PPh Pasal 4 ayat (2).
Para konsultan pajak juga tidak asal dalam melayani para WP. Masing-masing konsultan pajak memiliki koridor tersendiri dalam melayani kliennya berdasarkan tingkatan sertifikasi yang sudah didapatkan.
Konsultan pajak bersertifikasi A berhak mendampingi klien (WP) orang pribadi/individu. Adapun konsultan pajak yang bersertifikasi B mendampingi klien orang pribadi dan badan, sedangkan konsultan pajak C mendampingi klien orang pribadi, badan dan perusahaan multinasional.
Sampai di sini tentu dapat disimpulkan, memaksimalkan peran konsultan pajak dalam menambah jumlah WP dalam rangka ekstensifikasi pajak sekaligus meningkatkan penerimaan pajak adalah langkah strategis yang harus diupayakan pemerintah.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.