SUDAH menjadi rahasia umum bahwa pajak merupakan sektor yang paling vital. Hal ini disebabkan karena pajak adalah sumber pendapatan negara yang terbesar. Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, pajak selalu memegang peran utama untuk menunjang kegiatan perekonomian, sumber pembiayaan, dan pembangunan negara.
Apabila dilihat persentasenya, setidaknya pajak memenuhi lebih dari 70% pos penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) beberapa tahun belakangan. Untuk itu, peranan pajak harus lebih ditingkatkan lagi, baik dari segi pengaturannya maupun pengawasannya.
Peningkatan pengawasan ini dilakukan mengingat masih banyaknya pihak yang belum patuh dan sulit dijangkau oleh fiskus. Apalagi saat ini pemerintah belum mampu untuk mendeteksi dengan jelas jumlah transaksi elektronik yang dilakukan masyarakat.
Terutama, pengawasan terhadap transaksi jual beli yang dilakukan secara elektronik (e-commerce). Permasalahan tersebut menyebabkan sulitnya pemungutan pajak oleh fiskus. Di samping itu, sistem self assessment yang dianut di Indonesia, menuntut kejujuran dan kepatuhan dari wajib pajak itu sendiri.
Dilansir dari situs pajak.go.id, saat ini tingkat kepatuhan wajib pajak dalam hal melaporkan pajaknya masih rendah, kisaran 60%-70% dan itupun masih didominasi oleh wajib pajak orang pribadi karyawan bukan wajib pajak pengusaha. Oleh sebab itu, demi meningkatkan pengawasan oleh fiskus, dibutuhkan suatu basis data perpajakan yang kuat.
Upaya penguatan basis data perpajakan Indonesia terlihat dari beberapa kebijakan yang telah ditetapkan hingga saat ini. Kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan antara lain seperti pengampuan pajak (tax amnesty), akses pertukaran informasi pajak, hingga sistem pembayaran nasional atau National Payment Gateway (NPG)/ Gerpang Pembayaran Nasional (GPN).
Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Seperti dikatahui, beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi nasional cenderung mengalami perlambatan yang berdampak pada turunnya penerimaan pajak. Atas dasar-dasar yang disebutkan di atas itulah, maka pemerintah membuat suatu kebijakan perpajakan berupa pengampunan pajak.
Kebijakan seperti pengampunan pajak memang pernah dilakukan pemerintah sebelumnya. Pada tahun 2015, pemerintah menerapkan kebijakan pengampunan sanksi pajak (reinventing policy) dengan harapan dapat mendongkrak penerimaan negara. Hanya saja hasilnya tidak berpengaruhh signifikan.
Setelah itu, program pengampunan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 (UU Pengampunan Pajak) juga rilis pada Juli 2016. Program itu memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam UU ini.
Adanya pengampunan pajak ini mampu meningkatkan pemasukan negara. Di samping itu, dengan bergulirnya program ini, pemerintah memiliki keuntungan dengan terkumpulnya banyak informasi terkait kepemilikan harta masyarakat Indonesia.
Informasi wajib pajak yang mengikuti program ini dapat menjadi modal bagi pemerintah dalam meningkatkan basis data perpajakan. Tentunya, penting bagi pemerintah untuk dapat mengelola data tersebut agar memberikan kontibusi positif bagi penerimaan pajak ke depannya.
Akses Informasi Keuangan
Pada tahun 2017, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, kemudian disahkan menjadi UU Nomor 9 tahun 2017.
Aturan tersebut dirumuskan karena dilihat masih terdapat keterbatasan akses bagi otoritas perpajakan Indonesia untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dari perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal. Kebijakan ini menghendaki adanya suatu pertukaran informasi perbankan yang nantinya dapat digunakan sebagai basis data pengawasan dan pemungutan pajak oleh fiskus.
Pada pasal 2 ayat (1) UU itu menyatakan bahwa akses informasi keuangan tersebut didapatkan fiskus dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan.
Permasalahan yang kemudian muncul yakni apakah aturan tersebut dapat dijadikan sebagai suatu acuan dalam pelaksanaan akses informasi antara fiskus dengan pihak pelaku e-commerce ataupun selain lembaga keuangan.
Kendati demikian, beleid ini dapat menjadi modal besar bagi pemerintah dalam menggali basis data perpajakan ke depan. Hanya saja, kesiapann pemerintah, dari sisi regulasi teknologi, serta sumber daya manusia harus disiapkan secara matang agar kebijakan ini dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway)
Selanjutnya, saat ini pemerintah melalui Bank Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/2017 tentang Gerbang Pembayaran National(National Payment Gateway/NPG). Tujuan dibentuknya sistem ini yakni untuk mewujudkan pembayaran nasional yang terintegrasi dan berkesinambungan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menyatakan bahwa dengan adanya NPG dapat digunakan untuk menambah basis perpajakan. Terhadap transaksi yang terekam secara elektronik, Direktur Jenderal Pajak akan mendapatkan informasi atas transaksi yang yang dilakukan.
Kebijakan ini akan lebih baik apabila bentuk-bentuk bisnis e-commerce yang tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 ikut disinergikan dalam hal proses pembayaran nya terhadap sistem NPG.
Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah seharusnya mampu menghimpun data kekayaan wajib pajak. Himpunan data ini kemudian diolah dengan sistem yang baik sehingga mampu mendorong pengawasan fiskus terhadap wajib pajak ke depannya.
Sinergitas antara basis data dan perkembangan teknologi dapat mengontrol dan memeriksa pihak-pihak mana saja yang tidak patuh menjalankan kewajiban perpajakannya. Cara tersebut menjadi efektif dan tepat apabila pemerintah berani menindak tegas para pengemplang pajak.
Meskipun sudah ada beberapa kebijakan yang dinilai mampu mengontrol transaksi masyarakat, tetap pemerintah tetap harus waspada atas berbagai tantangan global serta kemungkinan pergantian pola transaksi ke depannya. Perubahan dinamika pajak dan teknologi juga harus dihadapi secara responsif dan tepat sasaran.*