JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Kamis, (17/11) sejumlah media nasional beramai-ramai memberitakan soal penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan. Janji penurunan tarif PPh badan yang setara dengan tarif Singapura nampaknya hanya sekedar mimpi belaka.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementeria Keuangan Suahasil Nazara menyatakan saat ini Kemenkeu tengah menuntaskan draf revisi Undang-Undang PPh dan PPN. Targetnya tahun depan kedua draf tersebut akan masuk dalam pembahasan DPR.
Dia menyatakan Kemenkeu memang akan mengusulkan penurunan tarif PPh badan maupun pribadi. Tapi, usulan penurunan tarif pajak tak sebesar rencana awal yang akan sama dengan tarif pajak di Singapura. Pertimbangannya, kebutuhan antara Indonesia dan Singapura yang berbeda.
Kabar lainnya datang usulan revisi UU PPN, pemberian insentif tax holiday yang masih setengah hati, realisasi dana repatriasi hanya soal waktu, perekonomian 2017 masih penuh tantangan, dan ruang pelonggaran moneter tertutup. Berikut ulasan ringkas beritanya:
Dalam revisi UU PPN, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan nantinya tidak akan ada lagi insentif PPN. Sebab PPN sangat berkaitan satu sama lain dan ada mata rantai produksi, sehingga ketika diberikan pengecualian di hulu justru akan kacau di hilir.
Kemenkeu akan mengubah skema insentif pembebasan pajak atau tax holiday. Perubahan dilakukan sebagai langkah win-win solution, agar penerimaan pajak tidak tergerus lebih dalam. Pengamat Pajak dari DDTC Darussalam mengatakan sepinya peminat tax holiday bukan berarti insentif yang ditawarkan tidak menarik, bisa jadi disebabkan oleh investasi yang masuk ke Indonesia minim. Menurutnya, pajak sebenarnya bukan pertimbangan utama bagi investor untuk masuk berinvestasi ke Indonesia. Selain pajak, ada stabilitas politik dan masalah kepastian hukum yang jauh lebih penting. Oleh karena itu, menurutnya jika ingin menarik investasi jangan hanya mengandalkan insentif pajak.
Masih minimnya realisasi dana repatriasi amnesti pajak ke dalam negeri ditengarai karena lamanya proses pemindahan harta terkait perusahaan special purpose vehicle (SPV). Ketua tim repatriasi aset Robert Pakpahan mengatakan biasanya repatriasi aset terkait SPV dilakukan dalam bentuk saham. Menurutnya tidak ada masalah yang serius yang menghambat proses masuknya dana repatriasi dalam program amnesti pajak. Jadi, realisasi repatriasi aset hanya masalah waktu saja.
Penerimaan pajak tahun depan dikhawatirkan bakal lebih rendah dibandingkan tahun ini. Kekhawatiran itu diungkapkan ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri. Menurutnya, pemerintah perlu berhati-hati dengan penerimaan pajak tahun depan karena sudah tidak terbantu lagi oleh program amnesti pajak. Apalagi penerimaan pajak rutin hingga Oktober 2016 masih jeblok. Dibandingkan tahun lalu di periode yang sama, penerimaan pajak hanya tumbuh 0,48%.
Perekonomian Indonesia masih akan menghadapi tantangan berat tahun depan. Selain risiko fiskal, konsumsi rumah tangga yang melemah juga akan membuat pertumbuhan ekonomi RI tidak bisa lebih tinggi. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan jangka pendek untuk mendorong permintaan masyarakat. Misalnya dengan cash forward atau cash transfer untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Gejolak ekonomi global tidak lagi mendukung untuk Bank Indonesia memperlonggar kebijakan moneternya. Hasil pemilihan umum di Amerika Serikat menjadi salah satu pemicunya. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang akan dilakukan pada bulan ini, BI diperkirakan tidak akan memangkas 7 day reverse reporat. Sejumlah ekonom mengatakan BI akan lebih hati-hati dalam memutuskan arah kebijakan moneternya. (Amu)