DALAM momentum pembangunan yang sedang gencar dilakukan, Indonesia dihadapkan pada dua persoalan terkait perubahan iklim (climate change). Pertama, kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim, terutama terkait variabilitas cuaca dan peningkatan muka air laut. Kedua,ketergantungan perekonomian Indonesia pada ekstraksi dan ekspolitasi sumber daya alam yang berpengaruh terhadap keberlanjutan daya dukung lingkungan (BKF 2015).
Dengan kedua persoalan tersebut, maka jika Indonesia ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi dan berpenghasilan tinggi secara aman dan berkelanjutan di masa depan, maka mengadopsi kebijakan mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan.
Mitigasi, sebagai salah satu respon atas perubahan iklim dilakukan melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca (GRK). Diperkirakan biaya yang diperlukan untuk mitigasi secara nasional dari tahun 2010 -2020 mencapai sekitar Rp670 triliun atau US$70,5 miliar (PKPPIM 2017).
Kebutuhan pendanaan ini belum termasuk pembiayaan adaptasi dan akan terus berkembang dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu mengandalkan pendanaan dari sektor publik dapat menjadi beban berat bagi anggaran negara, sehingga dibutuhkan dukungan sektor privat dan masyarakat guna mengefektifkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Salah satu instrumen fiskal yang dapat ditempuh pemerintah guna mengatur dan memobilisasi ‘investasi’ terkait perubahan iklim adalah pajak. Dalam hal ini, pajak dan insentif perpajakan ditujukan guna mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan pemerintah, yakni pengurangan emisi, dan lebih jauh mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Dalam penerapan kebijakan pajak, juga dikehendaki daya ungkit yang diharapkan mendorong sektor privat dan masyarakat untuk mengadopsi proses ekonomi rendah karbon dan pola hidup ramah lingkungan.
Pajak dan Pertumbuhan Emisi
SALAH satu bentuk eksternalitas negatif adalah emisi GRK yang berakibat pada peningkatan risiko perubahan iklim. Musgrave (dalam Rosdiana dan Irianto 2012) menyatakan bahwa eksternalitas merupakan situasi di mana manfaat konsumsi dibagi dan tidak dapat dibatasi pada konsumen tertentu, atau jika aktivitas ekonomi menghasilkan biaya sosial yang tidak dibayarkan oleh produsen atau konsumen yang menyebabkannya.
Oleh sebab itu Verhoef (dalam Mukhlis, 2010) mengajurkan intervensi pajak (dalam hal ini dikenal sebagai pigovian tax) atau subsidi guna mengoreksi dampak eksternalitas negatif. Dimana menurut Main (2013) pigovian tax seharusnya diterapkan sebanding dengan biaya eksternal marginal yang dihasilkan sehingga menghasilkan manfaat sosial yang optimal.
Di lain sisi, jumlah rata-rata emisi GRK Indonesia dari tahun 2000 - 2013 mencapai 1.262 giga ton CO2e, yang masing-masing berasal dari penggunaan dan alih fungsi lahan serta sektor kehutanan (44,3%), disusul sektor energi (38,5%), sektor pertanian (7,4%), limbah (6,8%) dan industri (3%) (KLHK 2016).
Menurut Verchot et al. (2010) salah satu upaya mengurangi emisi sektor kehutanan adalah melalui penanaman baru (untuk produksi kehutanan atau perkebunan) pada lahan kritis daripada pembukaan lahan baru yang meningkatkan deforestasi.
Dalam hal ini, pemerintah perlu menyediakan fasilitas perpajakan, seperti pengurangan penghasilan neto atau tarif pajak yang lebih rendah pada Pajak Penghasilan (PPh) sektor perhutanan. Dari segi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perhutanan dapat dikenakan tarif yang lebih rendah atau penetapan nilai bumi tertentu pada lahan kritis guna menarik investasi di sektor kehutanan dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
Dari sektor energi, sumber emisi didominasi oleh pembakaran bahan bakar fosil (KLHK 2016). Dimana terdapat 3 bidang kegiatan yang mendominasi penggunaan energi, yakni industri, pembangkit listrik dan panas serta transportasi (KLHK 2016; Supriyadi et al. 2015).
Menurut Sugiyono (2016), kebutuhan energi untuk industri diproyeksikan meningkat dengan laju 5,1% per tahun dan didominasi oleh kebutuhan batu bara, gas dan listrik sedangkan kebutuhan energi sektor transportasi meningkat seiring bertambahnya jumlah kendaraan dengan didominasi kebutuhan bensin dan solar.
Dalam hal ini pengenaan pajak kendaraan dan pajak bahan bakar perlu dioptimalkan guna menekan laju jumlah kendaraan. Pengenaan pajak progresif dapat dilakukan terhadap pembelian kendaraan untuk kedua kalinya berdasarkan jumlah kepemilikan atau menurut tingkat emisi yang dihasilkan.
Lebih lanjut, opsi-opsi yang telah dikaji oleh PKPPIM (2015) seperti, pengurangan PPN atau bea masuk peralatan hemat energi; pengurangan PPh untuk usaha yang mendukung konservasi energi; atau penyederhanaan prosedur dan operasionalisasi guna mempermudah perolehan fasilitas perpajakan perlu untuk segera diimplementasikan.
Pengembangan Lebih Lanjut
TANTANGAN dalam merealisasikan pajak menyangkut perubahan iklim (juga dampak negatif terhadap lingkungan) adalah menyangkut penentuan biaya eksternal marginal. Suparmoko dan Suparmoko (2000) menekankan perlunya informasi yang memadai seperti pengetahuan macam dan jumlah produk; dosis pencemaran; sifat akumulasi pencemaran dan penilaian dalam mata uang, dalam merumuskan tingkat pajak yang optimal.
Di sisi lain, netralitas pajak lingkungan dalam lalu lintas perdagangan pun juga dipertanyakan. Untuk itu, solusi Nordhaus (2007) mengenai harmonized carbon tax atau di mana negara-negara bersepakat menerapkan pajak karbon atau harga karbon pada tingkat yang setara secara internasional, dapat dipertimbangkan.
Lebih jauh, penanganan masalah perubahan iklim pun tidak bisa hanya mengandalkan mekanisme nasional, perlu kerjasama antarnegara termasuk dalam hal perpajakan untuk perubahan iklim.
Dukungan lebih lanjut juga diperlukan dari masyarakat dan sektor privat dalam merealisasikan tujuan mitigasi perubahan iklim. Menurut Brekke dan Stenmann (2008) pilihan untuk turut serta dalam suatu kerjasama dipengaruhi oleh keterlibatan orang lain dan adanya timbal balik yang bisa diperoleh.
Untuk itu diperlukan adanya sosialisasi dan kampanye mengenai kesadaran lingkungan dan tujuan pemajakan yakni pengurangan emisi. Mekanisme pajak yang konsisten (guna pelestarian lingkungan) dan transparan juga perlu dilakukan agar mampu meraih kepercayaan masyarakat. Terakhir, penggunaan pajak atas perubahan iklim juga harus diarahkan kepada perbaikan lingkungan dan upaya mitigasi-adaptasi perubahan iklim yang dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat. *
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.