Ilustrasi. (foto: bertramyachts.com)
JAKARTA, DDTCNews – Impor atau penyerahan yacht bisa terutang pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bila tidak digunakan sesuai dengan tujuan awal untuk kegiatan usaha pariwisata.
Pada Pasal 13 ayat (1) PMK 96/2021 disebutkan PPnBM menjadi wajib dibayar bila dalam jangka waktu 4 tahun sejak impor atau perolehan ternyata yacht digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain.
"PPnBM dan/atau PPN yang wajib dibayar ... terutang pada saat barang kena pajak tersebut digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain," bunyi Pasal 13 ayat (3) PMK 96/2021, dikutip pada Jumat (30/7/2021).
Sesuai dengan ketentuan dalam beleid tersebut, wajib pajak harus membayar PPnBM sekaligus PPN terutang ke kas negara paling lambat dalam waktu 1 bulan sejak yacht tersebut digunakan untuk tujuan lain atau dipindahtangankan.
Bila pembayaran dilakukan setelah jangka waktu 1 bulan, Ditjen Pajak (DJP) akan menerbitkan surat tagihan pajak (STP) untuk menagih sanksi bunga atas PPnBM dan PPN yang dimaksud. Bila kewajiban pembayaran tak dipenuhi, DJP juga akan menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP).
Yacht termasuk salah satu barang mewah yang dikenai PPnBM dengan tarif sebesar 75%. Melalui PMK 96/2021, PPnBM dengan tarif 75% tersebut dikecualikan bila yacht yang dimaksud digunakan untuk kegiatan usaha pariwisata.
Agar importasi atau penyerahan yacht kepada wajib pajak pelaku usaha pariwisata dapat dikecualikan dari PPnBM, wajib pajak perlu memiliki surat keterangan bebas (SKB) PPnBM. Adapun SKB PPnBM dapat diperoleh wajib pajak dengan cara mengajukan permohonan secara elektronik kepada DJP.
Ketika mengajukan permohonan, wajib pajak perlu menyertakan informasi-informasi yang dipersyaratkan seperti nama, alamat, NPWP, jenis usaha, nama barang, nilai impor atau harga jual, PPnBM terutang, serta tanggal pembelian.
Tak hanya itu, DJP juga meminta dokumen pendukung berupa nomor izin berusaha dan sertifikat standar yang diverifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata atau izin usaha pariwisata lainnya. ‘Simak Keterangan Resmi Ditjen Pajak Soal Terbitnya PMK 96/2021’. (kaw)