PEMILIHAN Umum (pemilu) merupakan sarana demokrasi bagi segenap rakyat Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Pada 2019 untuk pertama kali pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dilaksanakan serentak, di mana sebelumnya terpisah.
Penyelenggaraan Pemilu 2019 direncanakan dengan anggaran Rp24,8 triliun, lebih tinggi dari pemilu sebelumnya. Meskipun peningkatan itu terbilang wajar mengingat pemilu legislatif dan eksekutif dilakukan serentak, pengalokasian dana tersebut tentu menimbulkan pertanyaan dari masyarakat.
Sebagaimana disebutkan pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu 2019, bahwa dana penyelenggaraan dan pengawasan pemilu dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada APBN 2019 sendiri, pemerintah telah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.786,4 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp378,3 triliun, dan hibah Rp0,4 triliun sehingga totalnya menjadi Rp 2.165,1 triliun.
Sedangkan belanja negara ditargetkan sebesar Rp2.461,1 triliun yang berarti terjadi defisit anggaran Rp296 triliun. Melihat data tersebut, dapat dikatakan anggaran yang dialokasikan untuk menyelenggarakan Pemilu 2019 mendatang bukanlah angka yang tidak wajar.
Penyusunan APBN dilakukan berdasarkan berbagai macam pertimbangan dan asumsi untuk mencapai sasaran pembangunan negara. Upaya untuk mencapai sasaran pembangunan tentunya dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di tingkat global maupun domestik.
Contohnya saat ini ekonomi global sedang dibayangi perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Moderasi perekonomian Tiongkok dan kebijakan proteksi AS dapat memengaruhi perekonomian Indonesia sebagai mitra dagang secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, asumsi dasar makro lain yang mempengaruhi APBN adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 bulan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga minyak mentah Indonesia, serta liftingminyak dan gas.
Hal-hal tersebut menyebabkan perlu adanya langkah untuk mengamankan penerimaan negara di tahun politik. Karena selain asumsi makro, faktor politik juga memiliki peran penting dalam iklim perekonomian suatu negara.
Adapun upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengamankan penerimaan negara di antaranya yaitu maksimalisasi penerimaan pajak, terutama dari sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Maksimalisasi penerimaan pajak pada sektor swasta berhubungan dengan aktivitas swasta yang kurang diawasi secara penuh yang dibuktikan dengan tingginya tingkat korupsi yang terjadi pada sektor ini.
Meskipun portal berita lebih banyak menyoroti korupsi pada sektor publik, penelitian yang dilakukan oleh Rimawan Pradiptyo, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, bersama Putu Sanjiwacika Wibisana dan Putu Arya Wigita menyebutkan 60% korupsi di Indonesia terjadi di sektor swasta.
Di sini, untuk mengurangi korupsi di sektor swasta, pemerintah dapat meningkatkan kualitas pemeriksaan dan pelayanan pajak di sektor swasta dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penerimaan perpajakan.
Sementara itu, BUMN merupakan badan yang diharapkan dapat memberikan sumbangan besar bagi perekonomian negara sekaligus menyelenggarakan kebermanfaatan umum yang menyangkut hajat hidup rakyat.
BUMN memiliki peran besar terutama perintis sektor yang belum dapat ditangani oleh swasta. Namun, untuk mencapai harapan dan potensi maksimal, pemerintah perlu meningkatkan fungsionalitas BUMN dan tingkat sinerginya dengan badan-badan lain.
Jika dilaksanakan dengan tepat, hal ini akan bermuara pada meningkatnya pendapatan BUMN yang juga berdampak pada meningkatkannya tingkat kontribusi pada APBN. Sumbangan BUMN ke APBN melalui dividen dan pajak tentu akan meningkat.
Dengan melihat tantangan dan kesempatan itu, dapat disimpulkan pada 2019 Indonesia masih punya peluang besar untuk mengamankan bahkan meningkatkan penerimaan negara. Namun, hal itu tentu membutuhkan sinergi semua elemen dalam kerangka NKRI, baik dari sektor publik maupun swasta.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.