KEBIJAKAN PAJAK

Stimulus Pajak Sektor Tambang di Negara Berkembang Saat Ada Covid-19

Redaksi DDTCNews
Rabu, 13 Mei 2020 | 17.06 WIB
Stimulus Pajak Sektor Tambang di Negara Berkembang Saat Ada Covid-19

KRISIS ekonomi global akibat wabah virus Corona (Covid-19) telah membawa efek bola salju bagi hampir seluruh sektor perekonomian. Dalam merespons ancaman tersebut, pemerintah di berbagai negara mengadopsi langkah-langkah yang bertujuan melindungi kelangsungan investasi, konsumsi, serta lapangan pekerjaan.

Negara-negara maju secara serentak mengambil kebijakan fiskal ekspansif untuk menstimulus perekonomian. Belanja publik yang besar serta relaksasi pajak merupakan jurus andalannya. Lantas, bagaimana langkah negara berpenghasilan menengah dan rendah?

Artikel berjudul ‘Mining Tax Policy Responses to Covid-19’ ini menawarkan panduan dalam merencanakan respons pajak di negara berkembang, khususnya sebagai stimulus bagi sektor pertambangan.

Bagi negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, tekanan ekonomi yang dipicu oleh pandemi menjadi semakin berat. Pasalnya, penurunan harga minyak dan logam dasar secara signifikan telah menyebabkan double economic shock, baik dari sisi penawaran maupun permintaan.

Terganggunya rantai suplai bahan baku, pembatasan produksi sementara, serta keselamatan pekerja berpengaruh dari sisi penawaran. Sementara itu, jatuhnya harga beberapa komoditas memengaruhi sisi permintaan. Hal ini berdampak pada kesulitan arus kas perusahaan yang pada gilirannya menyebabkan pelemahan ekonomi di lingkup yang lebih luas.

Kondisi tersebut juga menjadi potret usaha industri ekstraktif di berbagai negara dalam beberapa waktu terakhir. Skenario terburuknya, proyek dan investasi pertambangan dapat menutup bisnis mereka akibat dari turunnya keuntungan dan biaya produksi yang meningkat tajam.

Di kondisi tersebut, negara berpenghasilan menengah perlu berhati-hati dalam mendesain kebijakan sebagai stimulus bagi sektor pertambangan. Dengan kapasitas finansial yang terbatas, desain keringanan pajak perlu dirumuskan secara efektif agar tepat sasaran.

Artikel ini kemudian mengindentifikasi beberapa unsur yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah antara lain lingkup dari stimulus pajak yang diberikan, seleksi target dan skala prioritas pemberian keringanan pajak, serta mekanisme pengawasan kepatuhan bagi wajib pajak penerima keringanan pajak.

Setelah memberikan rambu-rambu yang perlu menjadi perhatian, artikel ini selanjutnya menawarkan empat opsi kebijakan pajak jangka pendek dalam rangka membantu sektor pertambangan pada saat kondisi kahar.

Pertama, melalui instrumen penangguhan pajak penghasilan (PPh). Layaknya sektor lainnya, fitur penangguhan pembayaran PPh dapat diperhitungkan bagi keberlangsungan pekerjaan pegawai serta arus kas perusahaan tambang.

Kedua, penangguhan atau pengurangan royalti mineral. Di banyak negara, pembayaran royalti merupakan syarat utama untuk mempertahankan izin penambangan. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memberikan penangguhan termasuk juga penghapusan sanksi dan beban bunga pembayaran.

Ketiga, keringanan pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN). Negara yang memungut PPN pada sektor pertambangan perlu mempertimbangkan untuk memberikan percepatan restitusi pajak. Hal ini ditujukan untuk mengurangi tekanan pada arus kas perusahaan serta melindungi tambang lokal terhadap depresiasi nilai tukar.

Keempat, keringanan pemenuhan kewajiban impor. Sebagian besar tambang membutuhkan barang impor seperti bahan bakar, bahan petrokimia, dan konsentrat logam untuk menunjang kegiatan produksi. Pembebasan bea masuk jangka pendek dapat menjadi opsi kebijakan dengan tetap memperhatikan rantai nilai serta pasokan dalam negeri.

Di sisi lain, artikel ini juga memberikan catatan bagi jenis stimulus pajak yang perlu dihindari karena dinilai tidak efektif bagi usaha pertambangan. Contohnya, pembebasan pajak penghasilan serta pemotongan withholding tax yang justru berpotensi memperlebar celah fiskal dan menyebabkan hilangnya penerimaan (revenue foregone).

Artikel terbitan Intergovernmental Forum ini menunjukkan perlunya justifikasi logis serta analisis komprehensif bagi seluruh respon kebijakan, terlebih dalam situasi krisis seperti saat ini.

Kendati demikian, panduan ini bukanlah model generik yang dapat manjur diterapkan di berbagai kondisi. Pada akhirnya, pengambilan kebijakan perlu direfleksikan sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas masalah yang dialami oleh masing-masing yurisdiksi.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.