Tampilan sampul depan IHPS II/2019 BPK.Â
JAKARTA, DDTCNews – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti pengelolaan utang negara dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2019. Pemerintah diminta untuk segera melakukan pembenahan secara komprehensif.
Auditor Utama Keuangan Negara II BPK Laode Nusriadi mengatakan persoalan pengelolaan utang tidak bisa berdiri sendiri. Dimensi utang berkaitan dengan kinerja sektor penerimaan, belanja, hingga strategi pembiayaan.
“Pengelolaan utang ini kan sifatnya residual yang tidak hanya dipengaruhi faktor utang saja, tapi ada faktor lain," katanya dalam konferensi video, Senin (11/5/2020).
Berdasarkan IHPS II/2019, sambung Laode, utang secara signifikan dipengaruhi oleh kinerja penerimaan negara, khususnya pajak. Dalam beberapa tahun terakhir rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) cenderung bergerak stagnan pada kisaran 9%-10%.
Tax ratio yang cenderung stagnan tersebut salah satunya berasal dari banyaknya insentif yang diberikan. Hal ini tercermin dalam belanja perpajakan atau tax expenditure. Pemberian insentif tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat kinerja tax ratio belum memenuhi target RPJMNÂ sebesar 16% pada tahun lalu.
“Pada aspek kebijakan pendapatan seperti tax expenditure ini memberikan keringanan agar ekonomi tumbuh. Namun, lihat rasio pajak terhadap PDB menjadi tidak tercermin sesuai pertumbuhan ekonomi tersebut," ungkapnya.
Selain itu, pemerintah juga belum menyusun dan melaporkan debt sustainability analysis (DSA) secara komprehensif. Untuk saat ini posisi rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di bawah 60%. Namun, indikator rasio lain, terutama menyangkut penerimaan negara menunjukkan kerentanan pengelolaan utang pemerintah.
Rasio debt service terhadap penerimaan pada 2018 mencapai 39%. Padahal, sambung Laode, rekomendasi IMF berada di angka 25,3%. Begitu juga dengan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang sebesar 13,2% atau sudah melampaui ukuran IMF yang sekitar 7%-10%. Kemudian rasio utang terhadap penerimaan yang pada 2018 mencapai 227,5% atau melampaui rekomendasi IMF yang sebesar 90% hingga 150%.
"Pengelolaan utang kami lihat dari berbagai aspek sebagai suatu kesatuan. Jadi, rekomendasi yang dihasilkan untuk perbaikan secara struktural. Tidak hanya dari sisi pengelolaan utang, tapi juga dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan," ungkapnya. (kaw)