LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK

Solusi Perpajakan untuk Mengatasi Kemacetan

Redaksi DDTCNews
Rabu, 06 Desember 2017 | 17.20 WIB
ddtc-loaderSolusi Perpajakan untuk Mengatasi Kemacetan
Yogi Saputra,
Uhamka Jakarta

MENURUT data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, jumlah kendaraan bermotor yang beredar di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2013 mencapai 16.072.869 unit kendaraan, dan terus bertambah 9% sampai 12% tiap tahunnya.

Jumlah ini sangat besar apabila dibandingkan dengan luas jalan di Ibu Kota yang mencapai 48,50 juta m2, itu artinya satu unit kendaraan hanya memiliki ruang 3,02 m2. Maka, tidak heran jika DKI Jakarta merupakan salah satu kota di dunia yang memiliki tingkat kemacetan yang cukup tinggi.

Belum lagi kemudahan masyarakat saat akan membeli sebuah kendaraan, hanya dengan bermodalkan uang Rp500.000 sampai Rp1 juta sebagai uang muka atau down payment serta Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga, seseorang sudah bisa mendapatkan 1 unit sepeda motor.

Selain itu, banyak produsen mobil yang mempromosikan banyak mobil murah, sehingga membuat masyarakat tertarik untuk membelinya. Hal ini tentu saja akan membuat kemacetan di kota Jakarta akan semakin parah.

Pemerintah DKI Jakarta sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi kemacetan, seperti 3 in 1 dan yang terbaru adalah peraturan pelat ganjil genap. Selain itu, juga pembangunan fly over dan underpass yang masih terus dilakukan.

Pada saat yang sama, ada pula penambahan tranportasi umum seperti bus transjakarta, commuter line, dan yang terbaru LRT dan MRT yang masih dalam penyelesaian. Harapannya, warga Jakarta maupun kota di sekitarnya akan beralih ke transportasi umum sehingga mengurangi kemacetan.

Akan tetapi, kebijakan pemerintah DKI Jakarta tidak akan memilik efek yang siginifikan dalam mengurangi kemacetan jika jumlah kendaraan bermotor tetap sama bahkan terus bertambah setiap harinya. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Kasus Jepang

FENOMENA kemacetan seperti di Jakarta sebetulnya juga terjadi di kota-kota besar dunia lainnya. Di kota-kota besar di Jepang seperti Tokyo atau Yokohama misalnya, hampir tidak ada kemacetan yang sangat parah seperti di Jakarta. Kenapa bisa?

Jawaban dari pertanyaan itu sederhana. Banyak kebijakan dari pemerintah yang membuat masyarakat Jepang akan berpikir beribu-ribu kali ketika akan membeli sebuah kendaraan. Misalnya mahalnya biaya parkir, per jamnya bisa mencapai 600 yen setara Rp72.000.

Belum lagi terbatasnya kapasitas parkir di gedung pemerintahan atau perniagaan yang hanya menampung kurang dari 100 unit mobil, serta larangan seseorang untuk memiliki lebih dari satu unit kendaraan. Semua kebijakan itu ditunjang dengan transportasi umum yang murah dan mudah.

Akhirnya,kebijakan tersebuti berhasil mengurangi jumlah kendaraan di jalan dan kemacetan. Apakah Indonesia, khususnya DKI Jakarta, bisa belajar dari situasi ini sekaligus meningkatkan penerimaan pajak kendaraan?

Salah satu solusi untuk mengurangi kemacetan sekaligus untuk menambah pendapatan daerah melalui pajak adalah dengan dinaikkannya retribusi parkir dan pajak kendaraan. Kenaikan tersebut tentu akan membuat masyarakat berpikir ulang untuk membeli kendaraan.

Hari ini, parkir untuk kendaraan roda empat di DKI Jakarta hanya Rp5.000/ jam. Bandingkan dengan di kota-kota besar di Jepang yang mencapai Rp72.000/jam, atau 22 kali lipatnya. Uang hasil retribusi parkir ini pun akan masuk ke dalam kas daerah.

Solusi lainnya adalah dengan menaikkan pajak kendaraan berusia lebih dari 10 tahun untuk motor dan 15 tahun untuk mobil. Peraturan ini sudah berlaku di DKI Jakarta untuk angkutan umum seperti diatur Perda No.5 Tahun 2014. Masa pakai taksi misalnya ditetapkan 7 tahun dan bus 10 tahun.

Namun, akan lebih baik apabila aturan pembatasan masa pakai ini juga diberlakukan untuk kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat. Pajak untuk kendaraan pribadi yang sudah melebihi masa pakai harus dinaikkan secara signifikan, sehingga meningkatkan penerimaan pajak kendaraan.

Solusi ini sekaligus akan ‘memaksa’ masyarakat mengalihkan moda transportasinya ke kendaraan umum dan meninggalkan kendaraannya yang sudah lewat masa pakai.

Namun, solusi yang tertera di atas adalah untuk mereka yang hari ini sudah memiliki kendaraan. Lalu bagaimana dengan fakta bahwa setiap hari  ada sekitar 6000 kendaraan baru yang muncul di jalanan?

Dalam kasus ini, pemerintah bisa membuat sebuah sistem mengenai tarif pajak bagi kendaraan baru. Yaitu semakin banyak jumlah kendaraan yang terdaftar di suatu kota, maka semakin besar pula pajak yang harus dikeluarkan oleh pemilik kendaraan.

Begitu pula sebaliknya, jika di kota lain jumlah kendaraannya sedikit, maka pajak kendaraannya pun tidak sebesar di kota yang ramai dengan kendaraan pribadinya.

Sebagai contoh, jumlah kendaraan yang terdaftar di kota A sebanyak 1000 unit, sementara jumlah kendaraan yang terdaftar di kota B hanya 500 unit, maka nilai pajak kendaraan di kota A lebih besar 2 kali lipat dibandingkan dengan kota B pada jenis kendaraan yang sama.

Perhitungan di atas hanya sebagai contoh dan tentunya hal ini perlu dihitung dan dipertimbangkan lagi secara lebih seksama dengan memperhatikan berbagai faktor yang memengaruhi seperti luas jalan, jumlah penduduk, tranportasi umum dan fasilitasnya dan lain-lain.

Hari ini, pemerintah sedang gencar membangun sistem tranportasi umum yang murah dan ramah untuk menunjang kegiatan masyarakat dan berharap masyarakat mau beralih ke tranportasi umum.

Untuk memaksa masyarakat beralih dari kendaraan pribadinya adalah dengan berbagi kebijakan di atas, sehingga masyarakat akan berpikir dua kali jika ingin menggunakan kendaraannya ataupun ingin membeli kendaraan baru.

Selain untuk mengurangi kemacetan, diharapkan kebijakan di atas juga bisa meningkatkan pendapatan pemerintah melalui melalui pajak kendaraan bermotor.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.