Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ada dua aspek yang mendesak untuk diatasi dalam praktik penanganan kasus transfer pricing (TP) di Indonesia. Hal ini menjadi bahasan di beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (6/8/2019).
Indonesia telah memiliki ketentuan yang lengkap dalam pencegahan manipulasi TP. Ketentuan itu mulai dari panduan analisis, prosedur pemeriksaan, dokumentasi, maupun penyelesaian sengketa di tingkat internasional.
Namun demikian, Senior Partner DDTC Danny Septriadi melihat ada dua aspek yang mendesak untuk diatasi dalam penanganan kasus TP. Hal ini dikarenakan upaya menentukan apa dan berapa yang disebut wajar dalam skema TP sering menimbulkan sengketa.
Pertama, pencegahan sengketa. Menurutnya, penentuan harga atau laba wajar seharusnya dilakukan tanpa menimbulkan ketidakpastian serta waktu yang berlarut bagi pihak yang bersengketa.
“Salah satunya bisa dilakukan melalui konsistensi penggunaan rentang kewajaran, pemeriksaan berkualitas tanpa dibebani target penerimaan,” katanya.
Kedua, penyelesaian di tingkat banding. Sengketa berkenjangan hingga Pengadilan Pajak, menurut Danny, hanya menghabiskan waktu dan biaya pihak bersengketa. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan penyelesaian sengketa di luar ranah pengadilan. Mediasi dan konsultasi dapat menciptakan proses penyelesaian sengketa yang lebih efisien dan efektif.
Selain itu, ada beberapa media nasional yang juga menyoroti perubahan kebijakan impor sementara. Ketentuan impor sementara diperketat melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 106/PMK.04/2019 tentang Perubahan Atas PMK No. 178/PMK.04/2017 tentang Impor Sementara.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Senior Partner DDTC Danny Septriadi mengatakan TP merupakan konsekuensi logis dari strategi grup perusahaan untuk menciptakan keunggulan kompetitif melalui sinergi antarafiliasi. TP baru dianggap manipulatif jika transaksi antarafiliasi tersebut memiliki motif menghindari beban pajak global.
Atas manipulasi itu, otoritas pajak hanya berwenang mengoreksi jika harga atau laba atas transaksi itu tidak wajar. Namun, proses penentuan kewajaran ini sering menimbulkan sengketa. Ada 2 hal yang sering menjadi pemicu sengketa.
Pertama, sangat sulit menemukan pembanding yang sempurna, baik dari sisi karakteristik produk, value chain, volume, strategi bisnis, hingga geografis. Kedua, proses menentukan harga atau laba yang wajar bukan ilmu pasti sehingga sarat perdebatan. Hal yang dianggap wajar, baik oleh otoritas pajak maupun wajib pajak sering bersifat arbitrary.
Sesuai PMK No. 106/PMK.04/2019, jenis barang yang mendapatkan pembebasan bea masuk menjadi lebih sedikit. Selain itu, jangka waktu dari impor sementara juga diperketat. Awalnya, jangka waktu impor sementara yang mendapatkan pembebasan bea masuk adalah 3 tahun. Dalam beleid teranyar, jangka waktu itu dipangkas menjadi 1 tahun.
“Itu hasil evaluasi yang kami lakukan, untuk kebijakan reekspor maupun impor sementara,” ujar Kasubdit Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Deni Surjantoro.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak (DJP) Yon Arsal mengatakan pada semester I/2019 telah terjadi lonjakan restitusi. Pada Mei lalu, restitusi sudah menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Mulai normalnya permintaan restitusi ini diyakini akan membuat penerimaan pajak pada semester II/2019 meningkat. Selain itu, berbagai upaya seperti pengawasan dan penegakan hukum juga akan dilakukan.
Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2019 hanya mencapai 5,05%, makin lambat dibandingkan kuartal sebelumnya yakni 5,07% maupun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 5,27%.
“Saya kira tren wait and see investor berlangsung sepanjang kuartal II/2019,” ujar kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto. (kaw)