Bapak Bangsa Singapura Lee Kuan Yew
SABTU malam, 24 September, 23 tahun silam. Puluhan bankir, pemilik perusahaan sekuritas, trader, dan para pejabat otoritas pasar modal berkumpul di ballroom Hotel Westin Plaza, Singapura. Mereka tengah menunggu satu sosok yang kelihatannya tak hendak tergantikan.
Situasi kala itu penuh ketidakpastian. Dua jiran utama Singapura, yaitu Indonesia dan Malaysia, sudah bergabung dalam kancah ekonomi global. Sejalan dengan itu, Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Malaysia pun booming saling berkompetisi memberikan jasa keuangan.
Di ujung sana, China semakin agresif membuka pasarnya. Antrean pelaksanaan privatisasi BUMN dan lelang komoditas secara terbuka seolah berjalan tanpa henti. Belum lagi Tokyo, Seoul dan Hong Kong. Semua seperti berpacu, bersaing, menyambut tumbuhnya suatu era baru.
Lee Kuan Yew, sang Patriarch yang kehadirannya ditunggu malam itu, agaknya tahu apa yang sedang terjadi: Serangkaian kecemasan akan masa depan Singapura, dan itu semua hanya bisa diredam dengan respons kebijakan yang memberikan kepastian dalam jangka panjang.
“Kita tengah menghadapi suatu periode pertumbuhan Asia yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dalam suatu pasar yang semakin terintegrasi,” katanya mengawali pidato makan malam ulang tahun ke-10 Bursa Berjangka Singapura, seperti dicatat National Archive of Singapore.
Memang, bagi Singapura, situasi itu jelas rawan. Kompetensi inti Singapura pada lini jasa keuangan yang dibangun dengan susah payah sejak 26 tahun silam bisa buyar dalam sekejap. Kehadiran pusat-pusat keuangan baru di kawasan adalah ancaman yang tidak bisa diremehkan.
Formula yang diterapkan Singapura selama 26 tahun itu, yakni dengan menghapuskan witholding tax untuk pendapatan bunga deposan non-residen dan mengecualikan semua simpanan dolar Asia dalam perhitungan giro wajib minimum, boleh jadi dirasakan tak memadai lagi.
Beberapa kalangan mulai bisik-bisik membandingkan ketatnya aturan perbankan Singapura, dan terutama tarif pajak penghasilan (PPh) badan Singapura dan Hong Kong yang terpaut jauh, 27% banding 16,5%. Meski, tarif PPh yang 27% itu baru 5 bulan sebelumnya dipangkas dari 30%.
“Saya tahu beberapa di antara kalian membandingkan tarif pajak Singapura dan Hong Kong. Beberapa mungkin berkata, itulah sebabnya kami membangun kantor regional di sana, bukan di sini. Tapi saya akan katakan: Singapura tidak akan mengikuti Hong Kong!” tandas Lee.
Ia lalu mengingatkan reformasi pajak Singapura tahun itu—yang ditandai dengan dimulainya rezim GST (Good and Service Tax)—sudah memberi arah dan kepastian yang jelas kepada pasar. Ada tahapan kapan tarif PPh badan dan orang pribadi turun, dan bagaimana ia akan turun.
Pokok yang lebih penting, kompetensi inti Singapura di bidang jasa keuangan harus terus diperbaiki dengan memperkuat keahlian pengumpulan modal dan manajemen risiko. Penguatan keahlian ini juga sudah memiliki tahapan kebijakan yang jelas sampai beberapa tahun ke depan.
“Dan kita akan terus gunakan strategi memperbanyak insentif pajak. Tarif PPh kita harus terus susut semaksimal mungkin konsisten dengan kebutuhan APBN, tetapi tanpa mengubah Singapura menjadi negara suaka pajak seperti Hong Kong,” tegas Bapak Bangsa Singapura ini.
Jangan salah. Lee memang tidak mau Singapura menjadi suaka pajak, seperti yang kini dituduhkan saat tarif tertinggi PPh badan Singapura hanya 17,5%. “Kita jangan jadi suaka pajak seperti Hong Kong agar kita tidak kehilangan banyak manfaat dari tax treaty kita,” sahutnya.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.