BISNIS online merupakan usaha yang memiliki peluang cukup besar dan keuntungan yang cukup besar. Bagaimana tidak? Bisnis online tidak mengenal hambatan seperti daerah, negara, medan, dan masih banyak lagi. Ia tidak perlu modal yang besar seperti misalnya membuka toko konvensional.
Terbukti, banyak pedagang offline yang mulai memasuki pasar online. Jadi selain membuka toko konvensional atau lebih dikenal dengan perdagangan langsung, toko tersebut juga melayani transaksi atau permintaan online. Dengan kata lain membuka dua toko sekaligus tetapi berbeda cara penjualan
Karena itu, tak mengherankan jika porsi e-commerce makin lama makin besar. Dengan transaksi yang semakin besar ini, tentu ada potensi pajak yang bisa digali. Itulah sebabnya muncul Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIV yang akan berencana mengatur pajak e-commerce.
Paket kebijakan tersebut membagi model pemungutan pajak e-commerce berdasarkan proses bisnis dan online model yang selama ini tersedia, yaitu online market place, classified ads, daily deals dan online retail.
Namun, hingga kini peraturan menteri keuangan turunan paket tersebut belum terbit. Belum ada formulasi yang final mengenai sistem pemungutan pajak e-commerce. Pertanyaannya, lalu bagaimana pemerintah memungut pajak e-commerce itu?
Satu hal yang pasti, pemerintah tidak akan bisa dengan mudah memungut pajak e-commerce selama pemerintah tidak memiliki sistem dan teknologi yang bisa secara pasti melacak volume barang dan jasa yang ditransaksikan secara digital itu.
Tentu saja, jika permasalahan ini tak kunjung mendapat jalan keluar, bisa terbayang potensi pajak e-commerce yang tidak dapat direalisasikan. Kerugian potensial ini semakin lama juga akan semakin tinggi seiring dengan volume transaksi e-commerce yang kian besar.
Situasinya menjadi lebih rumit karena jika pemerintah tak kunjung bisa mencari solusi, para pedagang juga akan tergoda untuk meninggalkan toko konvensionalnya dan beralih ke modus toko online sebab selain lebih menguntungkan, juga tidak dipajaki.
Hal itu bisa terjadi karena memang toko online memiliki sistem yang memuat bahwa sang pedagang serta pembeli tidak akan terlacak saat bertansaksi jadi total pendapatan maupun pengeluaran tidak akan terdeteksi oleh pemerintah khususnya perpajakan.
Apalagi, sistem pemungutan pajak kita menggunakan prinsip self-assessment, di mana negara memberikan kepercayaan kepada wajib pajak (WP) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan sesuai ketentuan dan peraturan perundangan.
Dengan sistem self-assessment, tentu yang berperan adalah pemilik usaha e-commerce itu sendiri, karena memang tidak ada data pembanding. Pihak ketiga dalam hal ini tentu bisa diharapkan, meski efektivitasnya juga masih belum menjamin, karena memang karakter online-nya itu sendiri.
Katakanlah ada pihak ketiga yang ditunjuk untuk memungut atau memotong pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai dari pelaku bisnis online. Memang, pihak ketiga tersebut, misalnya bank, bisa langsung melakukan pemotongan. Namun, itu belum menutup seluruh celah.
Selain itu, dasar hukumnya juga harus kuat. Karena pengecekan transaksi online tidak mudah, dengan sendirinya penunjukkan pihak ketiga juga rentan masalah. Sistem withholding tax di dunia offline tidak serta-merta bisa diterapkan dalam transaksi online, belum lagi jika transaksinya antarnegara.
Yang pasti, sampai saat ini pemerintah belum menemukan jalan keluar atau cara yang tepat untuk menerapkan sistem pemungutan pajak online sesuai dengan prinsip kemudahan dan keadilan. Harus diakui, memang tidak mudah merumuskan formula sistem pemungutan ini.
Akan tetapi, ada beberapa solusi praksis yang dapat dilakukan pemerintah untuk dapat memungut pajak transaksi online, atau sekurang-kurangnya mendeteksi terjadinya transaksi online, sekaligus untuk mengampanyekan pentingnya kesadaran masyarakat akan pentingnya membayar pajak.
Pertama, memungut pajak e-commerce dengan mendeteksi sistem pop-up pada setiap jendala maupun beranda internet. Harus ada sistem yang bisa memastikan, bahwa sebelum iklan tersebut membayar pajak, maka iklan tersebut tidak bisa tayang.
Pemerintah juga bisa memberikan insentif, bahwa iklan pop-up yang memasang iklan layanan masyarakat berupa kepatuhan pajak pada setiap iklan pop-up tersebut akan mendapatkan pengurangan tertentu. Dengan cara ini, kampanye kepatuhan pajak akan semakin masif.
Kedua, menerbitkan ketentuan yang memaksa pelaku bisnis e-commerce yang memenuhi syarat tertentu telah terdaftar di pemerintah sekaligus memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan status PKP (pengusaha kena pajak), yang kalau tidak dipatuhi bisa berakibat penutupan situs.
Dengan status tersebut, maka dimungkinkan terjadi pemungutan pajak secara otomatis ini, dan untuk setiap barang yang ditransaksikan harus ditambah dengan pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, ada penambahan harga jual sebesar 10% untuk seluruh produk yang dijual.
Ketiga, bekerja sama dengan perusahaan media sosial. Kerja sama ini dilakukan untuk mendeteksi wajib pajak yang mengiklankan produknya di media sosial, sehingga bisa diketahui para pelaku bisnis e-commerce yang memiliki pendapatan dari bisnis online.
Selain itu, pemerintah juga harus memaksa perusahaan sosial media mengeluarkan data atau memungut pajak kepada pemilik akun sosial media yang sering melakukan pemasaran (endorsement) produk. Dari sinilah antara lain pemerintah bisa memiliki data transaksi e-commerce.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.