LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Robotisasi Pengadilan Pajak, Kenapa Tidak?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 27 Oktober 2020 | 14.01 WIB
ddtc-loaderRobotisasi Pengadilan Pajak, Kenapa Tidak?

Dizar Al Farizi,

Surabaya, Jawa Timur

DALAM laporan Mahkamah Agung (MA) tahun 2018, dari 4.469 jumlah perkara yang masuk pada kamar Tata Usaha Negara (TUN), 3.491 perkara merupakan peninjauan kembali perkara pajak. Ini menunjukkan 78 % perkara TUN didominasi peninjauan kembali perkara pajak.

Pada 2019 negara lebih sering kalah di Pengadilan Pajak. Jumlah putusan pengadilan pajak naik dari 6.034 putusan pada 2018 menjadi 6.763 putusan pada 2019. Namun, tingkat kemenangan Ditjen Pajak (DJP) pada 2019 turun dari 43,54% menjadi 40,54% (Laporan Kinerja DJP 2019).

Menurunnya jumlah putusan yang mempertahankan objek banding/gugatan disebabkan 4 hal. Pertama, banyaknya koreksi ketentuan formal yang dimentahkan hakim, nomor seri faktur pajak yang terbit sebelum tanggal jatah nomor seri dan SPT Masa PPh Pasal 26 yang tanpa formulir DGT 1.

Kedua, perencanaan strategi pemenangan kasus yang belum optimal. Ketiga, kualitas koreksi pemeriksaan yang banyak menyalahi aturan sehingga menyebabkan posisi DJP di Pengadilan Pajak menjadi lemah.

Keempat, cara pandang Majelis Hakim yang lebih mengedepankan keadilan substantif, dan mengabaikan fungsi peraturan pajak yang lainnya atau untuk menjaga ketertiban di bidang administrasi perpajakan (DJP, 2019).

Hal ini tentu menjadi ironi di tengah negara yang berperang melawan pandemi. Sektor pajak yang diharapkan mampu menjadi amunisi dalam memulihkan kondisi kesehatan dan ekonomi justru kehilangan potensi pemasukannya karena DJP kalah di Pengadilan Pajak.

Digitalisasi dan Robotisasi
PERKEMBANGAN teknologi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam dekade ini sangat pesat. Otomatisasi maupun digitalisasi terjadi pada hampir seluruh bidang industri. Mewabahnya Covid-19 makin mengakselerasi kebutuhan menyesuaikan dengan penggunaan layanan digital.

Dalam bidang perpajakan misalnya, telah dikeluar Keputusan Ketua Pengadilan Pajak Nomor KEP-016/PP/2020 tentang Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan Pajak. Langkah ini patut diapresiasi mengingat penyelenggaraan sidang secara daring kini telah menjadi kebutuhan.

Terlebih, keberadaan Pengadilan Pajak yang saat ini berpusat di Ibu Kota Jakarta alias belum tersebar di daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Adanya persidangan virtual tentu akan memudahkan para pihak dalam bersidang pada saat maupun setelah pandemi berakhir.

Tidak hanya itu, penggunaan kecerdasan buatan (AI) atau robot dalam menyelesaikan perkara pajak menarik untuk mulai dicoba. Beberapa kampus hukum di Amerika dan Eropa telah membuat pusat penelitian dan pelatihan terkait hukum dan teknologi kecerdasan buatan.

Telah mulai dikembangkan pula pengacara robot (robolawyer) dan robot yang mampu menghasilkan putusan hukum (robojudge) (Wyner, 2018). Di Uni Eropa, penggunaan online dispute resolution (ODR) hakim atas suatu sengketa kontraktual adalah robot dan sudah dilegalisasi.

Para pihak yang bersengketa ‘diadili’ oleh robot di pengadilan tingkat pertama dan akan bertemu dengan hakim manusia pada tahapan banding. Di Amerika, beberapa kantor hukum telah mempekerjakan robot, di antaranya robot Lisa dan Ross (Yazid, 2019).

Bahkan dalam satu riset, Lawgeex mampu mengalahkan akurasi pengacara manusia dalam me-review dan mengidentifikasi masalah hukum. Tidak hanya itu, dalam melakukan analisis, Lawgeex hanya membutuhkan 26 detik, jauh lebih efisien dari manusia yang membutuhkan waktu berjam-jam.

Pada 2016, The Guardian melaporkan hakim kecerdasan buatan yang dikembangkan University College London berhasil membuat penilaian tiruan 584 kasus Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. Hasilnya, 79 % dari jumlah tersebut sama dengan keputusan akhir pengadilan oleh manusia.

Pengadilan Tinggi Rakyat Beijing juga meluncurkan penelitian cerdas dan sistem penilaian Hakim Rui yang berfungsi khusus memberikan informasi akurat kepada hakim seperti spesifikasi penanganan perkara dan analisis hukuman (Suwarno, 2019).

Di Rusia, Sberbank merilis pengacara robot yang dapat mengajukan gugatan kepada individu. GlavstrahControl juga menciptakan robot untuk menyelesaikan sengketa asuransi. Di Meksiko, pengambilan putusan yang simpel telah menggunakan kecerdasan buatan. (Kusumawardani, 2019)

Empat Alasan
DIMULAINYA ‘robotisasi’ di Pengadilan Pajak sangat dimungkinkan oleh 4 alasan. Pertama, perkara pajak lebih mengedepankan keadilan formal ketimbang keadilan substansial. Penerapan algoritma pada perkara pajak relatif lebih mudah karena banyak bersinggungan dengan pasal dan angka.

Kedua, jumlah perkara pajak yang tidak sebanding dengan hakim yang menangani perkara, terlebih di MA. Dengan adanya robot yang membantu hakim menyelesaikan perkara dapat menghadirkan proses yang relatif lebih cepat, efektif dan efisien. Kepastian hukum pun bisa segera didapat.

Ketiga, berkurangnya interaksi tatap muka antarmanusia diharapkan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya moral hazard yang dilakukan fiskus maupun wajib pajak dalam proses penyelesaian perkara pajak.

Keempat, dengan tingkat akurasi yang lebih mumpuni, maka potensi penerimaan pajak yang diperoleh negara dapat lebih optimal. Tentu ini semua perlu diimbangi pula dengan digitalisasi sektor perpajakan.

Menarik bilamana menjadikan Pengadilan Pajak sebagai pilot project pengadilan pertama di Indonesia yang menggunakan robot. Dengan demikian, regulasi berikut prosedurnya harus mulai dipersiapkan. Para pemangku kepentingan harus mulai memikirkan dan membuat rumusan.

Perguruan tinggi juga dapat membantu dengan meneliti dan menciptakan robot ini. Terlebih, pajak robot kian menjadi keniscayaan. Akan terasa janggal manakala pajak robot sudah diberlakukan, tetapi pengelolaan perpajakan berikut penyelesaian perkaranya masih manual.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.