PENETAPAN Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) diharapkan bakal menjadi tonggak awal perbaikan kemandirian fiskal daerah.
Melalui undang-undang tersebut, pemerintah pusat menawarkan skema opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) demi memperkuat kapasitas fiskal pemerintah kabupaten/kota.
Kabupaten/kota juga perlu bekerja sama dengan provinsi dalam pendataan kepemilikan kendaraan bermotor yang saat ini belum akurat. Bila dilakukan, kabupaten/kota dan provinsi akan sama-sama mendapatkan limpahan tambahan penerimaan.
Kali ini, DDTCNews berkesempatan untuk mewawancarai Kepala Bapenda Riau Syahrial Abdi guna mengetahui lebih lanjut tentang koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota menjelang penerapan opsen dan topik-topik lainnya. Berikut petikannya.
Bagaimana tren kinerja penerimaan pajak daerah di Riau di tengah pandemi Covid-19?
Saya jelaskan terlebih dahulu bahwa [realisasi] pendapatan Provinsi Riau pada 2021 itu melampaui target. Bila diperinci, realisasi penerimaan sampai dengan 104% itu dari transfer yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Untuk pendapatan asli daerah (PAD) 2021, semua pajak daerah tercapai kecuali PKB yang tinggal sedikit lagi tercapai. Pada 2020, [kondisinya] juga demikian dan 2019 masih normal. Hanya [pada] 2020 tidak tercapai karena pandemi Covid-19. Pandemi memberikan dampak terhadap kinerja PKB.
Namun, ada fenomena menarik. Meski setoran PKB pada 2021 kemarin tidak tercapai, tetapi BBNKB itu tercapai ketika harga sawit sedang naik. Setoran BBNKB atas kendaraan baru melompat. Selain itu juga kami memiliki strategi lainnya.
Pada saat dimulainya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kami langsung membuat insentif. Kami beri pembebasan denda. Yang biasanya kami berikan pada akhir tahun, kami tarik ke Maret dengan tujuan memberikan keringanan kepada masyarakat.
Kemudian, di tengah PSBB, kami juga menyiapkan layanan e-Samsat dan ada inovasi Transaksi Antar Jemput Antarkampung (Tanjak) untuk mengantisipasi PSBB. Jadi, meski memberi keringanan, tetapi target itu tidak terlalu jauh tidak tercapainya.
Bagaimana dengan kinerja penerimaan pajak pada tahun ini?
Dalam 3 tahun terakhir ini, kami memberikan relaksasi berupa insentif penghapusan denda pajak. Kala itu, argumentasinya ialah untuk membantu masyarakat dan mengejar pajak kendaraan yang sudah mati, sudah 5 tahun.
Logikanya, ketika kami sudah memberikan insentif selama 3 tahun berturut-turut, seyogyanya kami bisa menjaring potensi pembayar pajak yang tadinya nonaktif jadi aktif.
Namun, karena perkembangan ekonomi dan keadaan hari ini, masyarakat yang diharapkan aktif bayar malah aktif menunggu pemutihan. Makanya tahun ini agak terdampak. Minat membayar pajak tinggi, tetapi menunggu akhir tahun dengan asumsi akan ada pembebasan denda.
Mereka lebih memilih menggunakan uang yang ada untuk keperluan lain karena mereka berasumsi akan ada pembebasan pada akhir tahun. Per akhir Agustus, kinerja pajak daerah sudah 62% [dari target]. Asumsi kami sampai akhir September ini bisa 75% dan akan terus dioptimalkan hingga akhir tahun.
Untuk BBNKB pada tahun ini signifikan. Sudah lebih di 86% [dari target]. Untuk pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), kami harus perhitungkan ulang targetnya karena ada kenaikan harga BBM. Ini berdampak terhadap kinerja PBBKB kami.
Pada sisi lain, kami melihat karena ada pembatasan jenis kuota BBM tertentu. Ketika dihitung nanti, asumsi kami tidak [naik] terlalu signifikan.
Terkait dengan rencana implementasi penghapusan data registrasi kendaraan yang STNK-nya mati selama 5 tahun?
Bapenda, Korlantas, dan Jasa Raharja kan masuk dalam bagian Samsat. Kami sebenarnya welcome. Yang penting ada unitnya dan bayar pajak. Kami juga memperhatikan kepentingan kawan-kawan Korlantas dan Jasa Raharja agar hak dan kewajiban terpenuhi.
Hak terhadap orang yang bayar pajak dan hak orang-orang yang terdampak, misal terjadi kecelakaan dan dijamin Jasa Raharja. Jadi, pada prinsipnya, kami sependapat secara nasional karena kita sudah Rakornas Kesamsatan.
Kami sepakat Pasal 74 UU LLAJ diberlakukan. Undang-undang sejak tahun 2009. Artinya kan sudah berlaku. Hanya saja mungkin selama ini tidak menjadi prioritas untuk ditekankan ke masyarakat.
Kalau dikaitkan dengan kepatuhan, kami yakin itu efektif meningkatkan kepatuhan. Namun, kami juga memikirkan dan mencari solusi ke masyarakat. Kalau Pasal 74 itu diberlakukan, ya kami tentu berpikirnya mungkin akan memberikan penghapusan denda pajak lagi.
Ini bisa menjadi solusi dan kesempatan terakhir bagi masyarakat untuk menghidupkan kembali pajak kendaraannya dengan membayar pokok pajak terutang saja dan dendanya kami hapus.
Jasa Raharja saat ini juga merasakan masalah ini. Mereka kehabisan uang karena tingkat kecelakaan tinggi, tetapi uang untuk asuransi tipis. Jadi, mereka ada kesulitan meng-cover itu.
Terlebih, perekonomian sedang kurang menggembirakan, inflasi masih tinggi, dan masyarakat masih terdampak. Untuk itu, penting mencarikan solusi sebagai bentuk kebijakan.
Kemendagri mengusulkan penghapusan tarif progresif PKB dan BBNKB kendaraan bekas, bagaimana menurut Anda?
Saya sependapat dengan Kemendagri. Pajak progresif itu kami melihat tidak [berdampak] signifikan. Mengapa? Karena di daerah seperti Riau yang operasionalnya lebih banyak untuk kelola SDA (sumber daya alam), rata-rata pemilik mobil mendaftarkan mobil mewahnya atas nama perusahaan, sehingga tidak kena progresif.
Mengenai BBN 2, kami sepakat untuk dibebaskan. Pak Gubernur Syamsuar sudah ingin dinolkan. Namun, ada masalah di kami. Perdanya itu harus direvisi karena gubernur memberikan pembebasan pajak dibatasi maksimal 50%.
Ini yang kami sedang mintakan petunjuk. Menurut biro hukum, karena UU HKPD sudah ada maka kami bisa buat pergub untuk memberi fasilitas BBN 2 nol itu. Penghapusan tarif progresif PKB dan BBN 2 akan memperbaiki data kendaraan bermotor.
Soal opsen PKB dan BBNKB, bagaimana nanti pengelolaannya dengan kabupaten/kota?
Ketika UU HKPD itu masih dirancang, kami ikut berkontribusi dalam forum-forum diskusi mengenai bagaimana merancangnya. Hampir tiap bulan, kepala Bapenda kabupaten/kota kami undang ke Bapenda Riau. Kita intens diskusikan polanya meski belum ada aturan teknis yang mengatur.
Kami coba simulasikan bagaimana pengelolaannya di lapangan. Provinsi ini kan sudah punya UPT Kesamsatan yang tersebar. Ada 44 UPT Tipe A, Tipe B, dan UP untuk membantu masing-masing UPT yang memerlukan jangkauan.
Ada 1 hal mendasar dalam diskusi kita, yaitu masalah rasa kepemilikan. Jalan yang dipakai itu jalannya kabupaten/kota, masyarakatnya itu masyarakat kabupaten/kota. Jadi, macet dan tidak macetnya jalan itu, kabupaten/kota yang punya kewenangan.
Makanya kemarin kami mulai ke pendataan. Kita ini ibu kotanya Pekanbaru. Ada daerah perbatasan, yang notabene kabupaten, yang wajahnya sudah seperti kota. Kami ajak nih. Kalau dulu provinsi tidak melihat dan tidak terlalu peduli ia bayar di mana. Sekarang itu harus diperbaiki.
Yang sering diuntungkan itu kotanya. Ini karena orang lebih suka beraktivitas di kota. Pembayaran juga di kota, sehingga menjadi pendapatan kota. Kalau ada opsen maka ke depan kabupaten/kota itu harus betul-betul firm dan fix atas data kendaraannya.
Oleh karena itu, mumpung belum ada opsen, mari kita rapikan data kendaraan. Harus riil datanya. Kebetulan Pak Gubernur Syamsuar sudah tahun keempat memberikan bantuan keuangan sejumlah Rp200 juta per desa.
Kami ada sekitar 1.980 desa. Artinya, ada Rp316 miliar setiap tahun yang diberikan langsung ke desa. Rata-rata dipakai untuk penguatan BUMDes. Kami melihat seyogyanya tiap-tiap desa atau BUMDes ikut mendata wajib pajak provinsi dan kabupaten/kota.
Paling tidak provinsi dulu. Misal, jumlah kendaraan di desa ada berapa. Kalau mau dikolaborasikan dengan kabupaten/kota, kan juga ada objek pajak di desa, seperti perusahaan yang memakai air tanah.
Kami juga ada pajak air permukaan dan pajak kendaraan di kebun sawit. Ini basisnya kan desa semua. Kalau ini berjalan baik, data akan menjadi dasar dalam menentukan target pendapatan. Itu cara yang kami gagas meski bentuknya masih berbeda-beda.
Sekarang sudah ada BUMDes yang bersurat ke Bapenda Riau untuk berkolaborasi pendataan sampai upaya penagihan pajak. Menurut kami, ini wajar karena mereka adalah entitas bisnis. Kita menyambut baik hal ini.
Harapannya, koordinasi antara Bapenda Riau dan kabupaten/kota menghasilkan data yang akurat dan memiliki cara untuk mengoptimalkan penagihan pajak yang tertunggak itu.
Mengenai retribusi sawit dan DBH sawit dalam UU HPKD, bagaimana menurut Anda?
Kami memandang pengaruh retribusi sawit untuk provinsi tidak terlalu signifikan. Menurut kami, ini lebih untuk pemerintah kabupaten/kota. Ini karena kewenangan sawit tersebut sebagian besar ada di pemerintah kabupaten/kota,
Izin usaha perkebunan (IUP) dan segala macam itu ada di kabupaten/kota. Kecuali [untuk urusan] yang lintas kabupaten/kota, itu baru kewenangannya milik provinsi. Untuk itu, layanannya sangat spesifik dan adanya di bawah. Itu di kabupaten/kota yang mengambil porsi.
Kalau provinsi, menurut kami, retribusi skala besar adalah di bibitnya, atau sertifikasi, atau yang lain. Atau mungkin di hilir ketika layanan di produk turunan. Itu mungkin bisa di provinsi.
Mengenai DBH, kami awalnya usulkan DBH sawit masuk di Pasal 111 UU HKPD. Sebetulnya bukan sawit yang kami usulkan, tetapi lebih ke perkebunan. Jadi DBH perkebunan. Kalau kita lihat dari jenis-jenis DBH di UU HKPD itu kan semuanya industri ekstraktif yang mengelola sumber daya, berbasis lahan, dan berbasis tanah.
Oleh karena itu, kami melihat seharusnya ada DBH perkebunan. Kami berharap sebenarnya semua industri ekstraktif masuk ke skema itu. Kami juga sudah memberi masukan terbaru, termasuk penghitungan besaran, ke Komisi XI dan Kemenkeu.
Sudah digagas juga oleh teman-teman Kaltim mengenai jenis-jenisnya. Menurut kami, DBH lainnya itu tidak hanya sawit. Sawit kan hanya salah satu. Selain itu, ada ruang udara dan ruang laut yang juga diatur kewenangannya dalam UU 23/2014. Di sana ada potensi DBH lainnya juga. (rig)