Yunus Darmono. (Foto: Istimewa)
PENGENALAN sosial budaya setempat menjadi aspek yang krusial dalam operasional Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama. Hal ini dirasakan oleh Yunus Darmono yang saat ini mengemban tugas sebagai Kepala KPP Pratama Banyuwangi.
Menyadari bahwa penerimaan pajak berkorelasi langsung dengan tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pajak, KPP Pratama Banyuwangi juga menggandeng seluruh stakeholder. Strategi collaborative compliance dijalankan. Hasilnya, realisasi penerimaan pajak pada tahun lalu tercapai.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Yunus terkait dengan pencapaian KPP Pratama Banyuwangi dan strategi ke depan dalam menjalankan tanggung jawab utama mengumpulkan penerimaan pajak. Apalagi, pendekatan berbasis kewilayahan tengah dimatangkan oleh DJP. Berikut kutipan wawancaranya:
Dengan performa realisasi penerimaan pajak secara nasional pada 2019 sebesar 84,4% dari target, berapa realisasi penerimaan yang berhasil dikumpulkan KPP Pratama Banyuwangi?
Realisasi penerimaan KPP Pratama Banyuwangi pada 2019 sebesar Rp1,09 triliun atau 104,19% dari target dan tumbuh 78,56% dibandingkan dengan realisasi pada 2018. Kinerja penerimaan KPP Pratama Banyuwangi ini jauh di atas rata-rata nasional. Tercapainya target 2019 selaras dengan pertumbuhan perekonomian Kabupaten Banyuwangi sebesar 5,86%, di mana sektor pariwisata tumbuh paling pesat.
Kebijakan sektor pariwisata yang mengedepankan pada berkembangnya pariwisata alam dan budaya telah mendorong berkembangnya sektor UMKM secara masif, sehingga tingkat kesejahteraaan dan konsumsi masyarakat pun meningkat. Disamping itu, ada kemudahan perizinan mendorong masuknya investor besar, seperti pembangunan pabrik kereta api PT INKA, Marina Pantai Boom, Pabrik Aqua, Hotel Kokoon dan hotel-hotel berbintang lainnya.
Masuknya wajib pajak (WP) yang bergerak dalam tambang emas ke KPP Pratama Banyuwangi juga telah memberikan kontribusi yang besar bagi tercapainya target penerimaan 2019, disamping strategi pengamanan penerimaan lain yang telah dijalankan. Strategi itu adalah collaborative compliance, yaitu dengan menggandeng para stakeholder seperti pemerintah daerah, asosiasi, kampus, pesantren, dan lainnya dalam melakukan pengawasan WP.
Apa pelajaran yang bisa diambil dari kinerja pada tahun lalu agar bisa lebih baik lagi pada tahun ini?
Bahwa penerimaan pajak itu selaras dengan tingkat kesadaran dan kepedulian (awareness) masyarakat akan pajak. Peningkatan kesadaran pajak masyarakat tidak cukup dilakukan sendiri oleh DJP sehingga perlu menggandeng stakeholder lain. Oleh karena itu, strategi collaborative compliance yang telah dijalankan menjadi salah satu kunci tercapainya target penerimaan. Kerja sama dengan para stakeholder tersebut akan terus ditingkatkan pada 2020.
Pada 2020 ini, kerja sama dengan dunia pesantren akan lebih diintensifkan dalam bentuk “Santri Relawan Pajak”. Hal ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat Banyuwangi, yang secara kultural sangat dekat dengan dengan dunia pesantren.
Di samping itu kegiatan pengawasan WP berbasis smart kampung juga akan ditingkatkan. Aparatur desa akan dilibatkan dalam pemberian edukasi kepada WP terkait dengan pelaksanaan kewajiban perpajakan seperti penyampaian SPT secara e-Filling, pembuatan billing, dan sebagainya.
Apa yang bakal dijalankan KPP Pratama Banyuwangi dalam menggali potensi dan mengoptimalkan penerimaan pajak pada tahun ini?
Untuk mengamankan target penerimaan 2020 yang diperkirakan naik sekitar 30% dibandingkan dengan realisasi 2019 perlu kerja keras dan cerdas. Strategi pengamanan penerimaan secara garis besar akan fokus pada pengawasan WP prioritas dan pengawasan WP berbasis kewilayahan.
Apa maksudnya?
Jadi, intinya ada segmentasi dalam melakukan pengawasan WP. Strategi ini akan diawali dengan mapping WP secara lebih detail sesuai dengan karakteristik WP. Walaupun kegiatan mapping WP telah dilakukan juga di tahun –tahun sebelumnya, secara garis besar, WP akan dikelompokkan menjadi tiga.
Pertama WP badan. Kelompok ini terdiri atas badan pusat (badan nonkonstruksi dan badan konstruksi) dan badan cabang (badan cabang wajib pajak BUMN dan badan cabang WP lainnya). Kedua, WP pemungut, yang terdiri atas bendahara SKPD-Satker utama, bendahara desa, bendahara BOS, dan benhara lainnya. Ketiga, WP orang pribadi (OP), yang terdiri atas WP OP nonkaryawan (usahawan), WP OP profesi, dan WP OP karyawan.
Berapa jumlah WP prioritas itu?
WP prioritas akan ditentukan sebanyak 200—300 WP, terutama untuk WP badan NPWP pusat nonkonstruksi dan WP OP usahawan. Untuk WP prioritas, arah pengawasannya lebih ke kegiatan intensifikasi dengan pendekatan analisis material atau laporan keuangan. Sementara, untuk pengamanan penerimaan berbasis kewilayahan difokuskan kepada kegiatan ekstensifikasi WP, yang antara lain dengan pengawasan berbasis smart kampung.
Artinya ini sejalan dengan rencana penambahan KPP Madya dan ekstensifikasi berbasis kewilayahan lewat KPP Pratama?
Betul. KPP Pratama Banyuwangi akan mendukung kebijakan Kantor Pusat DJP. Kebijakan ini pada intinya adalah fokus pada pengamanan penerimaan melalui segmentasi WP. Kebijakan ini sebenarnya secara tidak langsung sudah diterapkan di KPP Pratama Banyuwangi dalam beberapa tahun terakhir. Dalam pengawasan WP, KPP Pratama Banyuwangi telah melakukan segmentasi WP sesuai karakteristik WP Banyuwangi.
Pengelompokan WP seperti yang sudah saya sebutkan tadi. Di samping itu, ada pula segmentasi sesuai dengan jenis kegiatan usaha WP, misalnya WP Dagang, WP Tambak, Distributor, Toko Bangunan, dan sebagainya. Dan dari sisi kontribusi penerimaan dikelompokkan menjadi WP prioritas dan WP wilayah. Adanya segmentasi WP ini akan memudahkan dalam menentukan fokus penggalian potensi pajak dalam rangka pengamanan target penerimaan pajak dengan resource SDM yang terbatas.
Dengan adanya implementasi compliance risk management (CRM), apakah ada perubahan dari sisi pembinaan dan penegakan hukum di KPP Pratama Banyuwangi?
Selama ini kegiatan pembinaan dan penegakan hukum terhadap WP telah dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan melihat potensi pajak maupun deterrent effect [efek jera] kepada WP. Implementasi CRM justru akan semakin memudahkan dalam kegiatan pembinaan dan penegakan hukum terhadap WP.
Ini karena melalui CRM, akan dengan cepat diketahui WP-WP mana yang akan menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti. Jadi secara manajerial, CRM akan sangat membantu dalam pengawasan WP, sehingga akan membantu menentukan strategi apa yang harus dilakukan dalam pengawasan WP.
Bagaimana karakteristik dan tingkat kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Banyuwangi?
Pada 2019 , kepatuhan WP, dilihat dari penyampaian SPT Tahunan PPh WP badan dan OP nonkaryawan tercapai 101,95%. Dari jumlah WP badan dan OP nonkaryawan wajib SPT Tahunan PPh sebanyak 33.990 WP, target penyampainnya 23.793 WP atau 70%. Adapun WP badan dan OP nonkaryawan yang menyampaikan SPT Tahunan PPh sebanyak 24.258 WP atau 71,37%. Capaian ini masih di atas rata-rata capaian Kanwil DJP Jawa Timur III, yaitu sebesar 101,78%.
Sektor usaha apa saja yang potensial dan menonjol di KPP Pratama Banyuwangi?
Realisasi penerimaan KPP Pratama Banyuwangi pada 2019 yang senilai Rp1,09 triliun, disumbang paling besar dari WP badan sekitar 83,30%. Selanjutnya, ada WP pemungut (bendahara) dengan kontribusi sebesar 10,33% dan WP OP sebesar 6,38%.
Apabila dilihat per sektor, setoran terbesar dari sektor pertambangan dan penggalian sebesar 46,69% dari total penerimaan. Sementara, kontribusi sektor administrasi pemerintah (bendahara) sebesar 10,71%, sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 9,09%, sektor konstruksi sebesar 7,60%, sektor jasa keuangan sebesar 7,46%, dan sektor lainnya sebesar 18,45%.
Era teknologi dan transparansi digadang-gadang akan membuat era baru hubungan wajib pajak dan otoritas pajak. Bagaimana perspektif Anda dengan hal ini?
Transparansi kepada para stakeholder merupakan suatu keharusan yang tidak bisa dihindarkan. Ini sebagai salah satu perwujudan implementasi good governance kepada masyarakat. Agar bisa beradaptasi dengan hal ini maka fiskus dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman pada nilai-nilai Kementerian Keuangan, yaitu integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan. Untuk bisa menerapkan nilai-nilai tersebut maka ada kegiatan-kegiatan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan hard skill dan soft skill para fiskus harus terus sering diadakan.
Sebagai Kepala KPP, apa tantangan terbesar yang Anda rasakan?
Dari segi manajerial, kita dihadapkan pada pegawai yang beragam dan komposisi usia, preferensi budaya, agama, ekonomi yang berbeda. Seorang Kakap [Kepala KPP] harus bisa mengenal orang per orang dan memastikan tempatnya sesuai, bahkan cara pendekatan kita juga akan berbeda satu orang dengan yang lainnya. Apalagi, rentang usia staf yang jauh, ada yang milenial dan kolonial pasti berbeda pendekatanya. Ini mengasyikan untuk saya.
Dari segi core business, penerimaan, tantangannya adalah bagaimana kita mengenal wilayah, menguasainya, dan menentukan strategi yang tepat untuk memaksimalkan capaian tugas kita. Terkadang, satu kantor hanya butuh edukasi, mungkin juga butuh law enforcement yang keras, dan sebagainya. Bagaimana mengenal sosial budaya setempat menjadi hal krusial juga. Makanya, dengan adanya IKU [indikator kinerja utama] yang seragam di seluruh Indonesia, pasti ada kantor yang kesulitan pencapaiannya, sedangkan di kantor lain sangat gampang.
Membuat semua orang berbahagia adalah hal yang tidak mungkin. Makanya, saya berusaha agar orang yang tidak bahagia sangat minimal di kantor saya. Harapan saya, mereka bahagia dengan kondisi yang ada dan memberikan kontribusi maksimal untuk institusi.
Apa harapan Anda untuk DJP dan Indonesia?
Saya bermimpi DJP menjadi institusi yang memiliki marwah, didukung oleh semua pihak dan semakin dekat dengan masyarakat. Dengan demikian, jika ada orang yang membayar pajak tidak benar, semua masyarakat menganggap sebagai suatu yang tabu, aneh, dan tidak layak disebut warga Indonesia. (kaw)