HINGGA sebulan setelah program pengampunan pajak (tax amnesty) dimulai 18 Juli 2016, realisasi penerimaan negara dari uang tebusan yang masuk baru Rp819 miliar, setara dengan 0,5% dari target penerimaan tax amnesty yang dipatok APBNP 2016 yaitu Rp165 triliun.
Berbagai kalangan menduga rendahnya capaian tersebut disebabkan belum yakinnya wajib pajak untuk mengikuti tax amnesty. Sebagian lain menduga wajib pajak sedang dalam proses memahami aturan dan menghitung aset yang akan dilaporkan. Beberapa yang lain mengira memang masyarakat tidak tahu.
Semua alasan itu bisa diperdebatkan. Kalau wajib pajak ragu, negara toh sudah menjamin kerahasiaan data surat pernyataan. Dirjen Pajak juga sudah memerintahkan penghentian pemeriksaan. Kalaupun ada aparat pajak yang berani bermain, wajib pajak bisa dengan mudah lapor. Jadi ragu karena apa?
Kalaupun wajib pajak ragu karena menganggap ketentuan tax amnesty rumit, ini juga masih debatable. Sebab sebenarnya ketentuan tax amnesty ini sederhana dan tidak sesulit yang dibayangkan. Karena itu, tidak perlu memaknainya sebagai sesuatu yang rumit, apalagi interpretatif.
Tapi bahwa wajib pajak masih belum mengerti sepenuhnya aturan-aturan tersebut, tentu itu tidak kita mungkiri bersama. Dan sudah menjadi bagian dari tugas kita semua untuk menjelaskan, apa manfaatnya jika mengikuti tax amnesty dan apa risiko yang harus dihadapi jika tidak ikut program ini.
Memang, di Jakarta terlihat tingkat partisipasi masyarakat untuk program ini lebih tinggi. Mungkin karena soal kedekatan akses informasi. Apa yang terjadi di daerah-daerah memang menunjukkan kesenjangan kecepatan informasi ini. Sukar diingkari, masyarakat di daerah sangat membutuhkan sosialisasi.
Di sisi lain, harus kita akui bahwa literasi perpajakan masyarakat kita juga masih relatif rendah. Dalam situasi ini, maka dibutuhkan kerja keras untuk terus menyosialisasikan program tax amnesty, supaya masyarakat bisa paham, mengerti, dan akhirnya ikut berpartisipasi dalam program ini.
Mengingat periode tax amnesty yang singkat, bisa dikatakan sosialisasi ini menjadi penentu berhasil tidaknya tax amnesty. Artinya, sosialisasi ini menjadi salah satu kunci. Kita bersyukur Presiden mau langsung turun tangan memimpin sosialisasi ini. Jadi, pemerintah terlihat juga menyadari itu.
Tapi tentu ini bukan pekerjaan mudah. Dalam berbagai acara sosialisasi tax amnesty yang digelar, di Jakarta, Medan, Manado dan seterusnya, pertanyaan yang diajukan wajib pajak hampir sama. Mereka bertanya bagaimana jika, bagaimana jika, seperti itu. Dan mereka tentu tidak bisa disalahkan.
Ini berarti wajib pajak butuh dialog. Mereka ingin tahu lebih banyak. Jadi, perlu agak bersabar, tetapi tetap gencar. Sekali lagi, kini, sosialisasi inilah yang menjadi penentu berhasil tidaknya tax amnesty. Kalau pemerintah lelah dengan agenda sosialisasi ini, ya sudah, lebih baik lupakan saja target tax amnesty.
Sejalan dengan itu, format sosialisasi juga perlu diperbaiki. Acara sosialisasi yang lebih didominasi oleh presentasi atau paparan baiknya mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, format tanya jawab bisa lebih dikedepankan. Jangan remehkan dampak dari perubahan format seperti ini.
Selain itu, kerja sama lintas bidang dan profesi, mulai dari konsultan pajak, perbankan, manajer investasi, juga perlu digalakkan. Sosialisasi yang diadakan sendiri-sendiri, dengan sosialisasi yang diadakan bersama-sama tentu akan berbeda efeknya. Ditjen Pajak harus memfasilitasi sosialisasi seperti ini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.