Ilustrasi koruptor. (Getty Images)
SALAH satu hal pokok dalam UU Pengampunan Pajak yang baru disahkan DPR, Selasa lalu (28/6) adalah bahwa UU ini tidak melihat asal-muasal harta yang dideklarasikan atau direpatriasikan wajib pajak dalam program tax amnesty, apakah itu harta yang legal dan halal, atau harta yang ilegal atau haram.
UU ini juga menegaskan otoritas pajak tidak akan mencari tahu legal tidaknya harta tersebut. Semua harta, termasuk dari hasil korupsi, bisnis narkotika, atau perdagangan manusia, boleh dilaporkan dalam surat pernyataan harta untuk pengampunan pajak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3):
“Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/ atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”
UU ini juga menjamin negara akan melindungi data yang disampaikan wajib pajak dalam surat pernyataan tersebut. Data itu tidak akan digunakan sebagai jerat hukum. Untuk memastikannya, ada sanksi bagi pihak terkait yang membocorkan. Jaminan perlindungan data ini terutama ditegaskan dalam Pasal 20:
“Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/ atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.”
Namun, tentu tidak berarti UU ini membolehkan praktik korupsi, narkotika, atau perdagangan manusia. Praktik itu tetap pelanggaran hukum. Hanya, haruslah dipahami bahwa praktik perpajakan sejak awal tak membedakan ‘jenis kelamin’ harta atau transaksi. Harta adalah satu hal, sumber harta hal lain.
Kalaupun ada sistem yang bisa membedakan asal atau legal tidaknya harta, maka kita bisa bayangkan, betapa sulitnya membuat sistem tersebut. Pembedaan itu sendiri juga tidak mudah, bahkan cenderung tidak realistis, yang akhirnya justru menghambat tujuan diadakannya pengampunan pajak.
Lalu bagaimana bisa dikatakan UU Pengampunan Pajak ini tak mengampuni koruptor atau menghalalkan tindak pidana korupsi? Jawabannya terutama terdapat di Pasal 20 tadi. Pasal ini dengan tegas membatasi data yang tidak boleh digunakan sebagai dasar lid, dik, dan tut, yaitu data dalam surat pernyataan.
Dengan demikian, data lain di luar surat pernyataan tetap bisa dimanfaatkan sebagai dasar lid, dik, dan tut. Ini berarti, UU ini tidak memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Pemeriksa Keuangan, juga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, untuk menganggur.
Lembaga-lembaga tersebut tetap bisa menunaikan tugas kenegaraannya untuk menindak praktik korupsi dan seterusnya, melaporkan indikasi terjadinya kerugian keuangan negara, atau menyampaikan analisis atas transaksi keuangan yang di luar kebiasaan hingga mengundang kecurigaan.
Sampai di sini, kita berharap persoalannya menjadi jernih. Otoritas pajak dapat berkonsentrasi penuh menyukseskan program tax amnesty, sementara wajib pajak tidak takut mengikutinya. Pada saat yang sama, aparat hukum juga tidak ragu menindak tegas praktik korupsi.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.