Alamanda,
PESATNYA perkembangan digitalisasi telah berdampak pada perekonomian Tanah Air. Nilai transaksi ekonomi digital di Indonesia mencatatkan posisi tertinggi di Asia Tenggara.
Laporan e-Conomy SEA yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company transaksi ekonomi digital Indonesia pada 2020 diestimasi mencapai US$44 miliar (sekitar Rp623 triliun). Nilai transaksi ekonomi digital pada 2025 diproyeksi melonjak menjadi US$124 miliar (sekitar Rp1.756,4 triliun) pada 2025.
Fakta lain yang tak kalah penting adalah sektor e-commerce mendominasi sekitar 73% dari nilai total transaksi ekonomi digital di Tanah Air. Dominasi tersebut sekaligus menunjukkan besarnya pasar perdagangan digital di Indonesia.
Terlebih, ketika hampir semua sektor mengalami kontraksi pada masa pandemi Covid-19, sektor e-commerce justru mencatatkan peningkatan signifikan dari sisi transaksi, yaitu sebesar 54% dari senilai Rp305 triliun pada 2019 menjadi Rp464 triliun pada 2020.
Peningkatan tersebut dipengaruhi kenyamanan dan kemudahan yang disediakan e-commerce. Selain itu, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) selama masa pandemi juga turut memantik geliat dari aktivitas e-commerce.
Hasil penelitian e-Conomy SEA (2020) menunjukkan adanya peningkatan jam online dari semula 3,6 jam per hari (sebelum pandemi) menjadi 4,7 jam per hari (selama PSBB dan PPKM).
Besarnya potensi sektor e-commerce menjadi harapan untuk menjaga momentum penjagaan pertumbuhan ekonomi. Dukungan pemerintah pun diberikan melalui berbagai program untuk mengakselerasi inklusi digital.
Program yang dimaksud seperti pembangunan base transceiver station (BTS) di 5.053 lokasi daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T); penyediaan akses internet di 12.377 lokasi yang belum memiliki fasilitas 4G; serta peningkatan literasi digital kepada UMKM (Kemenkeu, 2020).
Kementerian Koperasi dan UKM mencatat posisi per April 2021, ada 4,7 juta UMKM yang merambah ekosistem digital dalam 11 bulan terakhir. Secara keseluruhan, jumlahnya hampir 13 juta atau 19% dari total sekitar 64 juta UMKM.
Namun, penggalian perpajakan sektor e-commerce tampaknya belum dapat mengimbangi pesatnya perkembangan sektor ini. Otoritas pajak mengalami berbagai kendala, mulai dari pendeteksian data transaksi, anonimitas pelaku usaha, serta kemudahan pelaku e-commerce untuk menghapus atau memberi informasi yang salah.
Tantangan ini dijawab dengan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Salah satu isi kebijakannya adalah penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak. Kebijakan ini tentu saja akan membuka peluang penunjukan online marketplace, seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, dan lainnya, sebagai pemotong/pemungut pajak bagi para pelaku usaha e-commerce.
Manfaat Penunjukan
PENUNJUKAN online marketplace sebagai pemotong/pemungut pajak berpotensi mendatangkan beberapa manfaat yang cukup besar. Pertama, sumber penerimaan pajak baru yang cukup signifikan dan bersifat stabil.
Nilai e-commerce Indonesia pada 2020 senilai Rp464 triliun. Jika atas transaksi e-commerce tersebut dikenakan pajak dengan tarif sebesar 0,5% (mengikuti tarif final UMKM berdasarkan pada PP Nomor 23 Tahun 2018), potensi penerimaan pajak yang dihasilkan mencapai Rp2,32 triliun.
Nilai tersebut diproyeksi akan terus meningkat pada masa mendatang. Selain itu, nilai tersebut belum termasuk potensi PPN yang dapat dikenakan kepada pelaku e-commerce dengan peredaran bruto melebihi Rp4,8 miliar.
Kedua, asas keadilan bagi pengusaha konvensional dan pengusaha digital. Salah satu asas perpajakan adalah keadilan. Dengan asas ini, wajib pajak yang berada dalam keadaan sama harus dikenakan dengan beban pajak yang juga sama.
Saat ini, kepatuhan perpajakan pelaku e-commerce masih terbilang rendah. Situasi ini dikarenakan masih banyaknya loophole yang memungkinkan wajib pajak dapat melakukan tax avoidance, bahkan tax evasion.
Oleh karena itu, penunjukan online marketplace sebagai pemotong/pemungut pajak diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan asas perpajakan yang lebih adil bagi seluruh wajib pajak.
Ketiga, withholding tax system sendiri memiliki banyak keunggulan. Adapun keunggulan itu seperti mengurangi tax evasion dan underpayment; menciptakan biaya pemungutan (collection cost) yang murah; serta meringankan beban wajib pajak karena pajak dipotong/dipungut dan dibayarkan ke kas negara saat penghasilan belum diterima (asas convenience of payment).
Meskipun demikian, usulan penunjukan online marketplace sebagai pemotong/pemungut pajak tentu saja berpotensi menimbulkan resistensi dari berbagai pihak, terutama para pelaku usaha e-commerce.
Selain itu, terdapat juga risiko para pelaku e-commerce akan berpindah usaha ke online shop milik pribadi, seperti di Instagram, Whatsapp, dan Facebook agar terhindar dari pemotongan/pemungutan pajak oleh online marketplace.
Dengan demikian, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, lembaga legislatif, pemilik platform online market, hingga para pelaku usaha e-commerce.
Selain itu, sosialisasi yang tepat dan komprehensif juga tidak kalah penting untuk menyukseskan program ini. Harapannya, penerimaan pajak yang mandiri sekaligus berasas keadilan tinggi dapat tercapai.