Firman Tatariyanto,
PERINGATAN Hari Bumi pada 22 April diharapkan menjadi titik balik peningkatan kesadaran tentang perubahan iklim yang semakin mengancam masa depan bumi. Perubahan iklim menjadi isu global di mana terdapat Perjanjian Paris untuk menurunkan gas rumah kaca hingga 2030.
Indonesia melalui UU No. 16 Tahun 2016 menetapkan target penurunan 29% dari upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Pemenuhan target ini mendorong penggunaan seluruh instrumen kebijakan, antara lain pada sektor kehutanan dan perubahan lahan sebagai penyumbang emisi.
Akan tetapi, peningkatan jumlah titik panas sebagai titik api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di tengah pemberitaan banjir pada 2021 seolah menjadi paradoks lingkungan yang memprihatinkan. Sebagai suatu fenomena, karhutla selama bertahun-tahun seperti menjadi ‘rutinitas bencana’.
Pertanyaannya perlukah lahan terbakar menjadi objek pajak untuk dapat mengurai kasus kebakaran lahan dan memenuhi target penurunan gas rumah kaca tadi? Untuk membahas itu, terlebih dahulu perlu diketahui efektivitas kebijakan dalam mengatasi bencana tersebut.
Merujuk Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2015 dalam kebijakan pengendalian karhutla dan aturan perundang-undangan perlindungan lingkungan hidup serta penegakan hukum pidana atas kasus karhutla, pemerintah telah memiliki instrumen kebijakan untuk mengatasi bencana tersebut.
Namun, seluruh instrumen itu belum mampu meredam persistensi karhutla yang menyebabkan kabut asap. Salah satu pendorongnya adalah dalam penegakan hukum, kerugian ekologis kebakaran hutan tidak seimbang dengan denda pada pembakar lahan menurut putusan pengadilan (Tatariyanto, 2018).
Selain itu, Greenpeace (2016) dan penelitian Varkkey (2016) menunjukkan motivasi ekonomi menjadi akar masalah pembakaran lahan dan belum sepenuhnya terjawab melalui kebijakan komprehensif. Dampaknya, kebakaran lahan hanya menjadi ‘biaya’, bukan hukuman yang memberikan efek jera.
Apakah ini menjadi jalan buntu untuk menurunkan gas rumah kaca? Tentu tidak, bauran pendekatan ekonomi dan hukum lingkungan akan menutup celah kebijakan tersebut sehingga mampu memberi efek jera kepada para pembakar lahan.
Pendekatan ekonomi terutama melalui instrumen pajak akan meningkatkan efektivitas penerapan aturan perundang-undangan lingkungan hidup dan memberikan fleksibiltas bagi pemerintah dalam memengaruhi perilaku merusak lingkungan yang dilakukan pembakar lahan.
Perubahan Mekanisme
PAJAK bekerja optimal saat pemerintah mampu menghubungkan sumber polusi dengan beban pajak yang diakibatkannya. Dampaknya, masyarakat akan memilih lahan dengan melihat environmental footprint yang rendah dari aktivitas yang memengaruhi lingkungan hidup (Vasijevic, 2016).
Dalam kalimat sederhana, masyarakat yang melakukan pelanggaran lingkungan dan menimbulkan kerusakan lingkungan akan terbebani pajak lebih tinggi. Desain yang ditawarkan melalui perubahan mekanisme pajak bumi dan bangunan sektor perkebunan perhutanan dan pertambangan (PBB P3).
Pengenaan dilakukan dengan peningkatan nilai PBBP3 yang dibayar dengan memasukan unsur pajak karbon perusahaan atas lahan yang terbakar/sengaja dibakar dengan memperhitungkan dampak asap dari kebakaran tersebut.
Saat ini, PBBP3 dihitung dari nilai jual objek pajak (NJOP) kebun, dari NJOP tanah ditambah standar investasi tanaman, dikalikan tarif PBB. Perubahannya, NJOP kebun, dari NJOP tanah ditambah standar investasi tanaman ditambah standar kebakaran lahan, dikalikan tarif PBB ditambah tarif pajak karbon.
Standar kebakaran lahan adalah luasan lahan yang terbakar dan penghitungan tingkat pencemaran udara secara kumulatif atas kebakaran lahan pada suatu daerah dikurangi biaya pemadaman dan pencegahan kebakaran (faktor kesengajaan atau kejadian luar biasa) yang dilakukan perusahaan.
Perubahan mekanisme pengenaan PBBP3 ini dalam jangka panjang akan meningkatkan biaya pembakaran lahan dan pada saat bersamaan meningkatkan insentif pencegahan kebakaran pada proses pembersihan lahan melalui penghitungan standar kebakaran lahan.
Hal itu diharapkan mengurangi metode pembersihan lahan melalui pembakaran lahan. Penerapan pajak karbon juga aakn menjadi insentif program perkebunan berkelanjutan yang memperhitungkan dampak lingkungan perkebunan, sehingga insentif pembangunan berkelanjutan makin terwujud.
Bagi pemerintah, pendekatan instrumen pajak akan memberikan keuntungan ganda sebagai double dividend. Pertama, melalui perluasan basis pajak yang pada akhirnya meningkatkan rasio pajak dan pada saat bersamaan mendorong perbaikan lingkungan.
Kedua, mengurangi distorsi sistem perpajakan dengan memindahkan beban pajak seperti penurunan tarif pajak penghasilan orang pribadi ataupun startup kepada kegiatan ekonomi yang menimbulkan efek kerusakan lingkungan seperti kabut asap. (Pearce, 1991) Â
Pada akhirnya, instrumen pajak yang dilakukan akan membuat sistem perpajakan Indonesia bergeser dari pajak yang terkait dengan lingkungan seperti dalam UU No. 28 Tahun 2009, menjadi pajak lingkungan yang memindahkan beban pajak ke aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan.
Lingkungan hidup dan sumber daya alam bukan warisan yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Momentum timbulnya bermacam bencana di Tanah Air dan meningkatnya kembali titik api di beberapa wilayah semestinya tidak lagi menjadi fenomena timbul tenggalam yang musiman.
Oleh karena itu, terobosan kebijakan melalui instrumen pajak diharapkan dapat mendukung pemenuhan target penurunan gas rumah kaca Indonesia hingga 2030 bersamaan dengan peningkatan efektivitas pengurangan bencana kebakaran lahan di Indonesia.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.