OPINI PAJAK

Benarkah Cek dan Biro Gilyet Dikenakan Bea Meterai?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 26 Januari 2021 | 09.08 WIB
ddtc-loaderBenarkah Cek dan Biro Gilyet Dikenakan Bea Meterai?

Benny Gunawan Ardiansyah,

dosen PKN STAN

TAHUN 2021 diawali dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, yang menggantikan UU Nomor 13 Tahun 1985. UU Bea Meterai yang lama telah berlaku selama 35 tahun dan belum pernah mengalami perubahan.

Berlakunya kenaikan tarif bea meterai dari Rp3 ribu dan Rp6 ribu menjadi Rp10 ribu diyakini akan menaikkan pendapatan negara. Dirjen Pajak Suryo Utomo menyebut target penerimaan pajak dari bea meterai dalam APBN 2021 meningkat dari semula Rp7,7 triliun menjadi Rp12,43 triliun.

Konten UU Bea Meterai tidak banyak mengubah rezim yang berlaku 35 tahun. Hal tersebut ditandai dengan tidak berubahnya objek pengenaan bea meterai, yaitu dokumen tertentu berupa alat untuk menerangkan suatu kejadian perdata dan alat bukti yang akan digunakan di pengadilan.

Ditjen Pajak (DJP) cukup tanggap menanggapi perluasan basis pajak dan kenaikan tarif ini. Salah satunya dengan beleid khusus atas tata cara pelunasan selisih kurang bea meterai yang terutang dari dokumen berupa cek dan bilyet giro melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-01/PJ/2021.

Aturan baru tersebut ditetapkan untuk memberikan kemudahan administrasi pelunasan selisih kurang bea meterai yang terutang atas dokumen berupa cek dan bilyet giro. Cukup menarik melihat pengenaan bea meterai atas cek dan bilyet giro ini.

Secara substansi, keduanya merupakan dokumen yang berisi perintah kepada bank untuk mengeluarkan dana nasabah. Cek merupakan perintah tertulis dari nasabah pada bank untuk menarik dananya dalam jumlah tertentu atas namanya atau yang ditunjuk.

Sementara itu, bilyet giro adalah surat perintah dari nasabah rekening giro kepada bank yang bersangkutan untuk memindahbukukan sejumlah dana dari rekeningnya ke rekening penerima dana yang disebutkan.

Pasal 7 huruf g UU Bea Meterai mengatur dokumen yang tidak dikenakan bea meterai berupa ‘dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah.’

Terdapat inkonsistensi antara pengenaan bea meterai  atas cek dan bilyet giro dengan ketentuan Pasal 7 huruf g tersebut, yaitu pada definisi ‘pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank’.

Sesuai dengan struktur UU Nomor 10 Tahun 2020 tersebut, pengenaan bea meterai atas cek dan bilyet giro didasarkan pada Pasal 3 ayat 2 huruf d, yaitu ‘dokumen yang bersifat perdata meliputi surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun’.

Pengaturannya lebih jauh lagi dalam penjelasan, ‘yang dimaksud dengan surat berharga antara lain saham, obligasi, cek, bilyet giro, aksep, wesel, sukuk, surat utang, warrant, option, deposito, dan sejenisnya, termasuk surat kolektif saham atau sekumpulan surat berharga lainnya’.

Dua Masalah
TERDAPAT dua permasalahan atas pengaturan ini. Pertama, UU Bea Meterai seharusnya melakukan definisi surat berharga dengan merujuk kepada UU lainnya mengingat kedudukan semua UU di Indonesia adalah setara.

Pengaturan pengenaan bea meterai atas cek dan bilyet giro tidak berubah dan masih sama seperti halnya UU Bea Meterai 1985, dengan masih merujuk kepada Kitab-kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

Berdasarkan Buku I titel 6 dan titel 7 KUHD, yang termasuk surat berharga adalah wesel, surat sanggup termasuk aksep atau promes, cek, kwitansi, saham, konosemen/bill of lading dan delivery order (DO).

Jika menggunakan KUHD ini, terdapat inkonsistensi karena konosemen diatur Pasal 7 huruf a, ‘Bea meterai tidak dikenakan atas dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang, termasuk konosemen.” KUHD sendiri turunan Wetboek van Koophandel yang berlaku mulai 1 Oktober 1838.

Berdasarkan asas lex specialis derogate legi generalis, seharusnya UU Bea Meterai merujuk kepada UU yang diterbitkan setelah 1985 dalam mendefinisikan surat berharga, yaitu UU No. 7 Tahun 1992 jo No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Pasal 1 angka 10 UU Perbankan mengatur surat berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang. 

Adapun Pasal 1 angka 8 UU Pasar Modal menjelaskan efek adalah surat berharga yang terdiri atas surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.

Kedua, pengaturan objek bea meterai ke penjelasan UU melawan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU itu menyebut penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh.

Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.

Penjelasan Pasal 3 ayat 2 huruf d atas surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun dapat ditafsirkan telah memperluas atau menambah norma yang tedapat dalam batang tubuh. Dengan demikian, pengenaan bea meterai atas cek dan bilyet giro seharusnya tidak mengikat.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.