Yohan Suharsoyo,
PADA pengujung 2023, pemerintah telah menerbitkan ketentuan mengenai tarif efektif rata-rata untuk PPh Pasal 21 atau yang lebih dikenal dengan TER.
Pengaturan yang dituangkan dalam PP 58/2023 dan PMK 168/2023 itu secara fundamental telah mengubah mekanisme pemotongan PPh Pasal 21 yang selama puluhan tahun dikenal dan diajarkan di bangku-bangku kelas perpajakan.
Perubahan itu khususnya terkait pemotongan PPh Pasal 21 untuk masyarakat yang berprofesi sebagai pegawai, baik pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap. Namun, pemerintah menjamin bahwa ketentuan TER ini tidak akan memberikan tambahan beban pajak baru bagi masyarakat.
Penerapan ketentuan TER lebih menitikberatkan pada kemudahan dan kesederhanaan. Salah satu dasar terselenggaranya administrasi pajak yang baik adalah kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan undang-undang yang memudahkan administrasi dan memberi kejelasan bagi wajib pajak (Mansuri, 1994).
Sebelum berlakunya ketentuan TER, mekanisme pemotongan PPh Pasal 21 memiliki kompleksitas yang jauh lebih tinggi dibanding mekanisme pemotongan dalam withholding tax lain, seperti PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 ayat (2).
Mekanisme pemotongan PPh Pasal 21 dalam ketentuan sebelum TER, khususnya untuk masa pajak selain masa pajak terakhir (secara umum dapat dianggap sebagai masa Januari-November), memerlukan beberapa tahapan untuk mengetahui besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
Tahapan-tahapan tersebut akan menjadi jauh lebih panjang lagi jika dalam suatu masa pajak yang bersangkutan, pegawai misalnya juga menerima penghasilan selain gaji dan tunjangan rutin, seperti bonus, tunjangan hari raya (THR), atau rapel.
Tahapan-tahapan penghitungan inilah yang sebenarnya disederhanakan dalam ketentuan TER. Penyederhanaannya adalah hanya dengan mengalikan penghasilan bruto dalam dalam suatu masa dengan tarif tertentu dalam baris tabel TER yang sesuai.
Penyederhanaan penghitungan pemotongan PPh dengan tarif efektif seperti model TER sebenarnya bukan hal baru dalam sistem withholding tax di Indonesia. Contoh, pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa lain dalam PMK 141/2015, yakni dengan tarif sebesar 2% dari penghasilan bruto.
Tarif PPh Pasal 23 tersebut pada dasarnya merupakan tarif efektif. Tarif itu diformulasikan dari rata-rata penghasilan neto yang diperoleh oleh wajib pajak badan, yaitu sekitar 8% sampai 9% dari peredaran bruto, dikalikan dengan tarif pajak yang berlaku untuk wajib pajak badan.
Selain itu, penggunaan tabel TER untuk menyederhanakan penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 juga telah diterapkan otoritas pajak di berbagai negara lain, termasuk beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, dan Australia.
Di Malaysia, model tabel TER bulanannya dikenal dengan tabel potongan cukai bulanan (monthly tax deduction/MTD table). Sementara di Filipina dan Australia, model tabel TER disebut sebagai withholding tax table.
Meski penyebutan dan variasi tabel TER yang diterapkan dapat berbeda, mekanisme yang digunakan pada dasarnya tetap sama. Mekanismenya menggunakan persentase tertentu berdasarkan tingkat penghasilan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dipotong dalam suatu masa pajak.
TUGAS penting otoritas dalam pengumpulan penerimaan pajak adalah mendorong perilaku positif wajib pajak agar lebih patuh. Caranya antara lain lewat compliance by design approach, yaitu menciptakan sistem administrasi perpajakan yang dapat mendorong kepatuhan sukarela (OECD, 2023).
Penerapan ketentuan TER pemotongan PPh Pasal 21 dapat mendorong terciptanya mekanisme kontrol bagi wajib pajak, baik dari sisi pemberi kerja (pihak yang memotong) maupun pegawai penerima penghasilan (pihak yang dipotong).
Dengan penghitungan pajak yang lebih sederhana, pemberi kerja—sebagai pihak yang wajib melakukan pemotongan pajak—dapat terhindar dari kesalahan penerapan ketentuan perpajakan. Di sisi lain, pegawai—sebagai penerima penghasilan—juga dapat lebih mudah untuk mengecek kebenaran pemotongan pajak atas penghasilan yang diterimanya.
Terlebih, salah satu kebijakan baru dalam penerapan ketentuan TER ini adalah kewajiban pemberi kerja untuk membuat dan memberikan bukti potong bulanan kepada pegawai tetap penerima penghasilan. Kebijakan ini dapat menciptakan transparansi dalam pemotongan pajak.
Bagi pegawai tetap, pemberian bukti potong bulanan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengecek kebenaran penghitungan pajaknya. Bukti potong bulanan ini juga bisa menjadi bukti klaim pada akhir tahun jika ada kelebihan pemotongan pajak sehingga dapat menjamin hak pengembalian.
Untuk memfasilitasi pembuatan bukti potong bulanan yang wajib dilakukan pemberi kerja, Ditjen Pajak (DJP) telah menyediakan aplikasi pada laman resminya. Ada juga kemudahan penyampaian bukti potong bulanan, yakni dapat disampaikan secara elektronik, tidak harus hardcopy.
DJP juga akan segera merilis penerapan coretax administration system (CTAS). Salah satu fitur dalam CTAS dapat memfasilitasi pemberi kerja untuk menyampaikan bukti potong secara real time kepada pihak yang dipotong. Dengan demikian, cost of compliance diharapkan juga akan makin berkurang.
Bagi DJP, penerapan ketentuan TER merupakan sebuah langkah awal untuk menyempurnakan sistem administrasi perpajakan yang ada. Dengan demikian, otoritas dapat mewujudkan sistem administrasi perpajakan yang efektif, efisien, dan akuntabel.
Sebagai kebijakan baru yang secara fundamental berbeda dari ketentuan sebelumnya, kebijakan TER tentu dapat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi, kebijakan ini tidak akan menimbulkan tambahan beban pajak baru bagi masyarakat.
Penghitungan PPh pada akhir tahun masih tetap menggunakan cara yang sama dengan ketentuan sebelumnya. SPT Tahunan bagi pegawai tetap yang hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja juga dijamin akan tetap nihil alias sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Perubahan fundamental yang dilakukan merupakan bagian dari upaya untuk menyempurnakan sistem administrasi perpajakan menjadi lebih sederhana, akuntabel, dan transparan. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat menunjang penerimaan negara yang berkesinambungan.
Tentu saja diperlukan langkah awal, dukungan, dan masukan penyempurnaan untuk dapat mewujudkan sasaran yang diharapkan dari kebijakan ini. Seperti kata pepatah, “A journey of a thousand miles begins with a single step.”
* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.