RUU KUP - DELIK & SANKSI PIDANA

Perkenalkan: Pidana untuk Badan

Redaksi DDTCNews
Kamis, 29 Desember 2016 | 15.30 WIB
ddtc-loaderPerkenalkan: Pidana untuk Badan
DDTCNews

PADA 1993, seorang janda memimpin gugatan atas pencemaran lingkungan yang dilakukan Pacific Gas and Electric Company di California, AS. Tiga tahun berselang, hakim memvonis perseroan denda US$333 juta, salah satu ganti rugi terbesar dalam sejarah. (Erin Brockovich, Universal Studios, 2000)

Cerita nyata itu adalah satu kasus di mana korporasi atau badan menjadi subjek hukum yang menerima hukuman pidana berupa denda yang besar. Tentu  saja, jumlah vonis pidana untuk kejahatan korporasi seperti ini tidak banyak. Jumlah vonis pidana untuk terdakwa perorangan-lah yang lebih banyak.

Hal ini bisa dimaklumi, karena memang dari segi praktik peradilan, usia pasal-pasal pidana korporasi masih relatif muda. Mengonstruksikannya pun tak mudah. Berbagai teorinya baru mulai berkembang pada abad 20. Jauh dibandingkan dengan doktrin hukum lama yang disusun sejak abad pertengahan.

Itulah yang juga menjelaskan kenapa, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia belum mengenal korporasi sebagai subjek hukum, alias masih menganut asas sociates delinquere non potest yang menganggap korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana (Mahrus, 2013).

Padahal, Belanda sendiri, pembentuk Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie 1918 yang diberlakukan kembali oleh Pemerintah RI melalui UU No. 1 Tahun 1946 dan UU No. 73 Tahun 1958, pada 1976 sudah memasukkan korporasi sebagai subjek hukum yang bisa dipidana (Sjahdeini, 2006).

Namun, seiring dengan semakin kompleksnya perekonomian Indonesia, dalam perkembangannya muncul aturan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum, seperti UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Hanya, dalam praktik, pasal pidana korporasi pada kedua UU tersebut jarang dipakai. Selain karena pembuktiannya lebih sukar dari pasal pidana perorangan, referensi dan yurisprudensinya juga masih sangat sedikit. Hingga kini hanya ada dua kasus di mana jaksa menggunakan pasal pidana tersebut.

Pertama, dalam kasus penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin oleh PT Giri Jaladhi Wana. Dalam kasus ini, Pengadilan Tipikor Banjarmasin pada 2011 memvonis perseroan denda Rp1,3 miliar dan hukuman tambahan berupa penutupan perseroan selama 6 bulan. Kasus ini sudah inkracht.

Kedua, dalam kasus penyalahgunaan jaringan 3G oleh PT Indosat Tbk dan anak perusahaannya, PT Indosat Mega Media. Dalam kasus terakhir ini, Pengadilan Tipikor Jakarta pada 2013 memvonis kedua perusahaan membayar denda Rp1,36 triliun. Hakim mempertahankan vonis itu pada tingkat banding.

Begitu pula dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyusul kedua UU tadi. Sampai hari ini, para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum pernah menggunakan UU ini untuk menjerat kejahatan korupsi oleh korporasi.

Padahal, apabila pasal pidana korporasi yang dipakai, dan kemudian bisa dibuktikan, ancaman nilai hukuman pidana dendanya jauh lebih besar daripada pasal pidana perorangan. Dalam konteks untuk kepentingan penerimaan negara, penggunaan pasal pidana korporasi tentu lebih bernilai strategis.

Pasalnya, tidak mudah bagi korporasi untuk bisa mengaburkan atau menyembunyikan asetnya dalam waktu singkat seperti biasa dilakukan perorangan yang disangka melakukan korupsi. Hal ini berarti, kerugian keuangan negara dalam kasus korporasi lebih berpeluang dipulihkan (Hamzah, 1996).

Lalu bagaimana jika RUU tentang Perubahan Ke-empat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mengadopsi pasal pidana korporasi? Akankah penerimaan negara mendapatkan berkahnya, atau malah pasal-pasal itu akan bernasib sama alias jarang dipakai?

PIDANA BADAN

HARUS diakui, sulit membayangkan bagaimana jaksa kelak dapat dengan mudah mengonstruksikan pasal pidana korporasi dalam RUU KUP guna mendakwa perusahaan pelaku pidana perpajakan. Dalam pidana korupsi biasa saja, pasal pidana korporasi toh jarang dipakai (Muladi & Priyanto, 2010).

Apalagi, konstruksi hukum tindak pidana perpajakan sangat berbeda dengan konstruksi hukum tindak pidana umum, dalam hal ini korupsi. Pengalaman dan keahlian khusus di bidang perpajakan jelas akan sangat dibutuhkan untuk dapat membangun konstruksi dakwaan pidana pajak yang meyakinkan.

Karena itu, konstruksi tuntutan pidana terhadap badan harus dimulai sejak proses penyidikan, yang berarti masih berada di tangan penyidik sipil DJP. Dengan kata lain, harus ada kerja sama lebih erat antara penyidik DJP dan jaksa guna membangun konstruksi dakwaan pidana badan yang solid.

Kondisi ini pula yang agaknya turut menjelaskan bagaimana di sisi lain draf RUU KUP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk menahan tersangka sekaligus menyita dan merampas harta atau kekayaannya, juga kewenangan pada pengadilan untuk menyelenggarakan peradilan in absentia.

Sejalan dengan itu, RUU KUP juga terlihat berusaha membangun konstruksi dakwaan pidana untuk korporasi dengan memperjelas ketentuannya, mulai dari pelakunya, penerima manfaat, atas nama, siapa yang dituntut dan dihukum, serta hukuman yang patut dikenakan. (Lihat tabel)

Perbedaan Delik & Sanksi Pidana di UU KUP & RUU KUP
NoDelikUU KUPDraf RUU KUP
a. Surat Pemberitahuan
1Menyampaikan SPT tidak benar karena alpaKurungan 3-12 bulan atau denda 1-2 kali pajakDihapus
2Menyampaikan SPT tidak benar karena sengajaPenjara 6 bulan-6 tahun & denda 2-4 kali pajakPenjara ≤6 tahun & denda ≤2 kali kerugian
3Dilakukan oleh badanTidak diatur Denda ≤6 kali kerugian
b. NIPP (NPWP)/ PKP/ NIOP
4Tidak mendaftar NIPP (NPWP)/ PKPPenjara 6 bulan-6 tahun & denda 2-4 kali pajakPenjara ≤4 tahun & denda ≤2 kali kerugian
5Tidak mendaftar NIOPTidak diaturPenjara ≤4 tahun & denda ≤2 kali kerugian
6Dilakukan oleh badanTidak diaturDenda ≤6 kali kerugian
7Menyalahgunakan NIPP (NPWP)/ PKP/ NIOP Penjara 6 bulan-6 tahun & denda 2-4 kali pajakPenjara ≤6 tahun
8Penyalahgunaan menimbulkan kerugianPenjara 6 bulan-6 tahun & denda 2-4 kali pajakPenjara ≤6 tahun & denda ≤2 kali kerugian
9Dilakukan oleh badanTidak diaturDenda ≤6 kali kerugian
c. Pembukuan
10Tidak menyelenggarakan pembukuanPenjara 6 bulan-6 tahun & denda 2-4 kali pajakPenjara ≤3 tahun
11Memperlihatkan pembukuan/ catatan tidak benarPenjara 6 bulan-6 tahun & denda 2-4 kali pajakPenjara ≤3 tahun
12Tidak menyimpan catatan/ dokumen pembukuanPenjara 6 bulan-6 tahun & denda 2-4 kali pajakPenjara ≤3 tahun
13Menolak untuk dilakukan pemeriksaan Penjara 6 bulan-6 tahun & denda 2-4 kali pajakPenjara ≤2 tahun & denda ≤Rp1 miliar
d. Penyetoran, Pemotongan & Pemungutan Pajak
14Tidak/ kurang menyetor pajak yang sudah dipotong/ dipungutPenjara 6 bulan-6 tahun & denda 2-4 kali pajakPenjara ≤7 tahun & denda ≤3 kali kerugian
15Dilakukan oleh badan Tidak diaturDenda ≤9 kali kerugian
e. Faktur, Bukti Potong, & Bukti Pungut
16Menerbitkan/ memakai faktur palsu/ belum PKPPenjara 2-6 tahun & denda 2-6 kali pajakPenjara ≤15 tahun & denda ≤2 kali kerugian
17Dilakukan oleh badanTidak diaturDenda ≤6 kali kerugian
f. Kewajiban Merahasiakan
18Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan karena alpaKurungan ≤1 tahun & denda ≤Rp25 jutaDihapus
19Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan karena sengajaKurungan ≤2 tahun & denda ≤Rp50 jutaPenjara ≤2 tahun atau denda ≤Rp1 miliar
g. Data & Informasi Perpajakan
20Pejabat tidak memenuhi kewajiban memberikan dataKurungan ≤1 tahun atau denda ≤Rp1 miliarPenjara ≤2 tahun atau denda ≤Rp1 miliar
21Pejabat menyebabkan pemberian data tidak terpenuhiKurungan ≤10 bulan atau denda ≤Rp800 jutaPenjara ≤2 tahun atau denda ≤Rp1 miliar
22Pihak lain tidak memberikan data/ memberikan tapi tidak benarKurungan ≤1 tahun dan denda ≤Rp25 jutaPenjara ≤2 tahun atau denda ≤Rp1 miliar
23Pihak lain menolak memberikan data/ keteranganKurungan ≤10 bulan atau denda ≤Rp800 jutaPenjara ≤2 tahun atau denda ≤Rp1 miliar
24Menyalahgunakan data/ informasi perpajakanKurungan ≤1 tahun atau denda ≤Rp500 jutaPenjara ≤2 tahun atau denda ≤Rp1 miliar
h. Pemeriksaan Bukti Permulaan & Penyidikan
25Menghalangi pemeriksaan bukti permulaanTidak diatur spesifikPenjara ≤2 tahun
26Menghalangi penyidikanPenjara ≤3 tahun & denda ≤RpRp75 jutaPenjara ≤2 tahun
i. Penyelesaian Kerugian Keuangan Negara di Bidang Perpajakan
27Terdakwa belum melunasiTidak diaturPidana tambahan uang senilai kerugian
28Terdakwa tidak sanggup melunasiTidak diaturHarta dirampas senilai kerugian
29Nilai harta rampasan terdakwa kurangTidak diaturPidana tambahan kurungan pengganti
30Terdakwa adalah badanTidak diaturPidana tambahan kurungan pengganti untuk pengurus
Sumber: UU KUP & draf RUU KUP dari Kementerian Hukum & HAM, diolah DDTCNews, 2016

Secara lebih terperinci, ketentuan hukuman pidana untuk korporasi diterapkan pada 5 pasal. Pertama, Pasal 107 untuk korporasi yang tidak memenuhi kewajiban mendaftar/ memiliki Nomor Induk Pembayar Pajak (NIPP), Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Nomor Induk Objek Pajak (NIOP);

Kedua, Pasal 108 untuk korporasi yang menyalahgunakan NIPP, PKP dan NIOP; Ketiga, Pasal 109 untuk korporasi yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau memenuhi kewajiban tersebut tetapi SPT atau keterangan yang disampaikannya tidak benar.

Keempat, Pasal 110 untuk korporasi yang tidak atau kurang menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut; dan Kelima, Pasal 111 untuk korporasi yang menerbitkan atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan/ pemotongan/ dan atau pembayaran yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya.

KONSOLIDASI & SISTEMATISASI

UNTUK memperjelas ketentuan tindak pidana korporasi itu pula agaknya, berbeda dengan UU KUP yang berlaku saat ini, ketentuan tentang pidana dalam draf RUU KUP dikonsolidasikan sekaligus disistematisasi ke dalam bab tersendiri, yang terdiri atas 16 pasal (Bab XXI Ketentuan Pidana Pasal 107-122).

Dari 16 pasal itu terlihat, dalam hal pengaturan mengenai delik dan sanksi, draf RUU KUP membagi sanksi dalam tiga kategori, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana pengganti. Di sinilah terlihat perbedaan antara pidana untuk terdakwa individu (orang pribadi) dan terdakwa badan.

Pada pidana pokok, ancaman bagi terdakwa badan hanya denda, tanpa penjara. Namun, untuk pidana tambahan, sanksi bagi terdakwa individu maupun badan disamakan. Pasalnya, pidana tambahan ini dikenakan hanya jika kejahatannya terbukti merugikan keuangan negara di bidang perpajakan.

Pidana tambahan ini tidak lain berupa pembayaran uang pengganti atas kerugian keuangan negara di bidang perpajakan tadi. Nilai uang pengganti tersebut setara dengan kerugian keuangan negara yang ditetapkan, yang dalam hal ini dilakukan oleh DJP.

Dengan adanya pidana tambahan ini, maka dengan sendirinya pemulihan kerugian keuangan negara di bidang perpajakan sudah masuk ke dalam putusan hakim. Itu berarti, DJP tidak perlu lagi menagih jumlah pajak terutang milik terdakwa dengan menetapkan Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Bagaimana jika jumlah uang pengganti dari pidana tambahan ternyata masih belum cukup mengganti kerugian keuangan negara yang didakwakan? Draf RUU KUP memberikan kewenangan kepada jaksa untuk melakukan eksekusi perampasan harta terdakwa senilai kerugian keuangan negara tadi.

Perampasan harta yang dilakukan apabila pembayaran uang pengganti belum mencukupi kerugian keuangan negara berlaku sama baik untuk terdakwa individu maupun badan. Sampai di sini terlihat, pidana pokok dan tambahan untuk badan masih sepenuhnya ditanggung badan.

Pengurus badan baru ikut menanggung kejahatan badan apabila nilai harta hasil rampasan ternyata masih belum memenuhi nilai kerugian keuangan negara. Pengurus badan dikenai pidana pengganti berupa kurungan dengan memperhitungkan pidana pokok dan tambahan yang sudah dibayar.

Sampai di sini pertanyaannya, dengan sulitnya pembuktian, tentu tidak serta merta kelak kita akan sering melihat pasal-pasal pidana untuk badan itu dipakai guna memaksimalkan pemulihan kerugian keuangan negara di bidang perpajakan. Inilah sebetulnya antara lain pokok yang perlu dipikirkan oleh Tim Reformasi Perpajakan.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.