ANALISIS PERPAJAKAN

Objek Cukai di Indonesia, Sudahkah Saatnya Diperluas?

Redaksi DDTCNews
Jumat, 28 Mei 2021 | 10.00 WIB
ddtc-loaderObjek Cukai di Indonesia, Sudahkah Saatnya Diperluas?
DDTC Fiscal Research.

DISKURSUS mengenai perluasan objek (ekstensifikasi) cukai telah mewarnai perumusan kebijakan perpajakan sejak beberapa tahun terakhir. Saat ini, isu tersebut kembali menyeruak ke ranah publik sebagai salah satu klausul revisi UU KUP.

Lantas, yang menjadi pertanyaan, argumentasi apa yang dapat menjustifikasi perluasan objek cukai tersebut?

Mengapa Dipungut Cukai?
Secara konsep, cukai merupakan jenis pajak atas konsumsi yang bersifat spesifik baik yang diproduksi secara domestik maupun impor dari luar negeri.

Pungutan ini memiliki beberapa ciri khas yang membedakan dari jenis pajak konsumsi lainnya yaitu bersifat selektif dalam cakupannya, diskriminatif dalam tujuan pengenaannya, serta pungutan terutang yang besarannya ditentukan oleh pengukuran unit kuantitatif (Cnossen, 2005).

Berkaitan dengan objeknya, penentuan komoditas yang akan dikenakan cukai sangat bergantung pada kebijakan masing-masing negara. Selain itu, secara konsep pungutan cukai memang berbeda dengan jenis pajak lainnya.

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Cukai sendiri disebutkan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai setidaknya salah satu dari 4 sifat atau karakteristik.

Pertama, konsumsinya perlu dikendalikan. Kedua, peredarannya perlu diawasi. Ketiga, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Keempat, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Kriteria ini juga selaras dengan pendapat McCarten dan Stotsky (1995) terkait 4 karakteristik jenis produk dan jasa yang dapat dikenakan cukai. Pertama, proses produksi, distribusi, dan penjualan dapat diawasi secara ketat oleh pemerintah.

Kedua, permintaan bersifat inelastis terhadap harga. Apabila harga naik, penurunan konsumsi akan kurang dari persentase kenaikan harga. Hal ini kemudian berdampak pada kenaikan penerimaan dan hanya menyebabkan distorsi yang rendah di pasar.

Ketiga, produk atau jasa merupakan barang yang dianggap mewah dan bukan merupakan kebutuhan pokok. Keempat, konsumsi atas produk menimbulkan eksternalitas negatif atau biaya sosial.

Berdasarkan pada analisis pola dan tren yang dilakukan di berbagai negara, kebijakan cukai sangat bervariatif (Kristiaji dan Yustisia, 2019). Belum ada definisi pasti atas cukai sehingga sangat sulit untuk menggolongkan objek kena cukai.

Meski demikian, berbagai jenis usulan BKC yang sudah sering didiskusikan pemerintah dan wakil rakyat —termasuk kantong plastik, minuman berpemanis, dan emisi karbon— pada dasarnya sudah memenuhi karakteristik dalam UU Cukai.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Cukai juga bisa menjadi landasan dan kepastian hukum bagi pemerintah untuk melakukan perluasan objek cukai. Variasi atas cukai lebih luas dibandingkan jenis pajak tidak langsung lain.

Terlebih, klasifikasi atas objek cukai menjadi sangat penting untuk menjadi landasan dalam jenis pemungutan yang akan dikenakan pada jenis objek tertentu dan pengawasan yang akan dilakukan.

Berdasarkan pada kajian DDTC Fiscal Research (2019), ada sejumlah BKC di kawasan Asean yang belum berlaku di Indonesia. BKC ini adalah kendaraan bermotor, bahan bakar, minuman berpemanis, dan plastik.

Hanya Indonesia yang tidak mengenakan cukai atas barang-barang tersebut. Oleh sebab itu, rencana pemerintah untuk memperluas objek cukai bukan sekadar kebijakan yang tak beralasan.

Justifikasi
TERDAPAT beberapa justifikasi yang dapat menjadi pertimbangan dilakukannya perluasan objek cukai di Indonesia. Pertama, penerimaan negara dari sektor cukai saat ini menjadi salah satu instrumen utama pendukung pendapatan negara Indonesia, khususnya dalam fase pemulihan ekonomi.

Pada 2020, penerimaan cukai tercatat senilai Rp176,3 triliun. Realisasi itu mengalami pertumbuhan sebesar 2,25% dari tahun sebelumnya. Artinya, penerimaan cukai tidak mengalami gangguan yang signifikan pada era pandemi Covid-19.

Ekstensifikasi BKC juga dapat menyeimbangkan struktur penerimaan cukai Indonesia. Pasalnya, selama ini sumber penerimaan cukai didominasi dari industri hasil tembakau. Cukai hasil tembakau menopang penerimaan cukai dengan kontribusi sekitar 97% setiap tahun. Dengan kata lain, cukai berperan sebagai instrumen pengendalian eksternalitas sekaligus sumber penerimaan.

Kedua, mengikuti praktik dan perkembangan perpajakan internasional.  Indonesia masih tergolong dalam negara yang extremely narrow coverage dalam pengenaan cukai. Beberapa negara seperti Brunei Darussalam, Thailand, Brazil, dan India bahkan telah melakukan harmonisasi peraturan cukai dengan perkembangan perdagangan internasional.

Selain itu, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia masih tergolong dalam negara yang belum optimal dalam menggunakan kebijakan pengenaan cukai. Hingga saat ini, Indonesia hanya memiliki 3 objek kena cukai yakni hasil tembakau, etil alkohol, dan minuman mengandung etil alkohol.

Berdasarkan pada tren di berbagai negara, kategori objek kena cukai secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, yaitu cukai terkait dengan kesehatan; cukai terkait dengan lingkungan; cukai terkait dengan barang mewah; cukai terkait dengan barang berbahaya; cukai terkait dengan hiburan; serta cukai terkait dengan produk barang dan jasa spesifik.

Studi komparasi menunjukkan secara rata-rata terdapat 9 kategori objek kena cukai dari 53 negara (Kristiaji dan Yustisia, 2019). Apabila ditelusuri berdasarkan klasifikasi negaranya, negara dengan kategori upper-middle income dan low income memiliki sekitar 12 kategori objek kena cukai. Sementara itu, negara dengan kategori lower-middle income memiliki sekitar 8 kategori objek kena cukai dan high income memiliki sekitar 6 objek kena cukai.

Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan negara kawasan Asean, secara rata-rata, terdapat 11 kategori objek kena cukai di masing-masing negara. Brunei Darussalam dan Thailand tercatat memiliki objek kena cukai paling banyak di Asean.

Ketiga, jika semisal PPnBM diubah menjadi cukai, sejatinya selaras dengan definisi dari OECD serta praktik kebijakan regional. Hingga saat ini, Indonesia masih merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang belum menerapkan cukai atas kendaraan bermotor. Padahal, kolaborasi dalam hal perpajakan dan cukai akan dilakukan pada 2025 oleh negara-negara Asean (Asean Economic Community Council, 2017).

Di samping itu, saat ini, pengaturan PPnBM atas kendaraan bermotor dan barang mewah lainnya masih menjadi satu dengan PPN dalam UU PPN. Padahal, konsep pemungutan PPnBM sendiri jauh berbeda dengan PPN. Menurut David Williams (1996), pengenaan pajak tidak langsung atas barang mewah sebaiknya tidak dikaitkan dengan pengenaan PPN. 

Jika suatu negara ingin mengenakan tarif pajak yang tinggi terhadap pajak tidak langsung terkait dengan barang atau jasa tertentu, cara yang umumnya digunakan ialah dengan dimasukan dalam ketentuan cukai atau dikategorikan sebagai pajak tersendiri. 

Beberapa negara telah menerapkan cukai atas barang mewah. Misalnya, kepemilikan yacht untuk kepentingan olahraga dan hiburan seperti di Azerbaijan dan Timor Leste. Selanjutnya, negara Bangladesh, Papua Nugini, dan Korea Selatan yang telah mengenakan cukai barang mewah atas perhiasan. Selain itu, ada juga negara yang mengimplementasikan cukai barang mewah atas jam tangan dan tas, seperti Brunei Darussalam, Korea Selatan, dan Ethiopia.

Keempat, selaras upaya bersama dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016) mencatat Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China.

Selama beberapa dekade terakhir, jumlah negara telah mengimplementasikan cukai pada objek kantong plastik terus meningkat (Bloom DE, et. al. 2011). Kebijakan cukai atas plastik ini ke depannya juga dapat menumbuhkan kesadaran atas konsekuensi lingkungan dari konsumsi plastik mengingat bahan baku dan lahan publik untuk pengelolaan limbahnya yang semakin langka.

Selain masalah limbah plastik, rencana pemajakan atas emisi karbon menjadi opsi objek cukai yang rasional. Terlebih, saat ini Indonesia menjadi salah satu dari 20 negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia (BP Statistical Review of World Energy, 2019).

Hal-hal tersebut yang kemudian mendasari urgensi ekstensifikasi cukai di Indonesia. Perlu dicatat, penerapannya tentu tidak akan mudah karena menyertakan pro dan kontra. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat situasi ekonomi saat ini yang masih belum pulih.

Terlepas dari pro dan kontra, regulasi utama yang mengatur cukai di Indonesia telah memberikan keleluasaan untuk melakukan perluasan objek cukai. Selanjutnya, tergantung pada hasil perundingan antara pemerintah dan DPR sebagai perwakilan untuk rakyat. 

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Geovanny Vanesa Paath
baru saja
Kebijakan ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) ini dalam jangka panjang dapat sangat memberikan efek positif tidak hanya ke perekonomian nasional tapi juga bagi permasalahan lingkungan dan masyarakat itu sendiri, khususnya apabila dibentuk kebijakan ekstensifikasi atas barang yang menimbulkan eksternalitas negatif bagi lingkungan dan masyarakat.