“SAATNYA kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah”, ujar Presiden Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor pada Minggu tanggal 15 Maret 2020.
Sejalan dengan imbauan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghentikan sementara pelayanan pajak dengan tatap muka dan memberikan panduan bekerja dari rumah bagi pegawainya. Kebijakan tersebut diatur dalam SE-13/PJ/2020 yang berlaku 16 Maret 2020 dan telah diperpanjang beberapa kali hingga 29 Mei 2020. Selama periode itu, praktis terjadi perubahan lanskap pelayanan pajak dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan pajak.
Sebelum Indonesia memasuki masa pandemi Covid-19, DJP telah melakukan upaya integrasi teknologi digital dalam pelayanannya. Setelah melalui proses panjang sejak penggunaan e-SPT di tahun 2002, e-Filling di 2007 hingga core tax system yang akan diuji coba pada 2023 dan berlaku di 2024. Untuk melihat catatan perjalanan layanan digital DJP dapat dilihat pada artikel 'Catatan Digitalisasi Pajak Indonesia'.
Ke depannya DJP akan lebih banyak investasi ke IT dan otomasi. Setidaknya terdapat 4 inisiatif di bidang IT, Pertama, digitalisasi interaksi, kedua, big data analytics, ketiga, otomasi dan keempat, kolaborasi. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi pada wawancara dalam majalah Inside Tax edisi ke-41 yang dapat diunduh di sini.
Perjalanan tersebut tentu dinamis, ada masa-masa di mana server down, lamanya respon email dan berbagai kesulitan yang dihadapi wajib pajak di lapangan. Sebagian wajib pajak mungkin menghadapi kendala dalam beradaptasi dengan perubahan metode pelayanan DJP, dan DJP harus sabar memahami WP .
Masa Pandemi Bersamaan Masa Pelaporan SPT Tahunan
Masa pandemi Covid-19 di Indonesia terjadi saat DJP punya hajatan besar yaitu SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan badan. Dengan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, pada 20 Februari 2020 DJP telah mengirimkan jutaan e-mail untuk mengingatkan wajib pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan lebih awal tepatnya sebelum 6 Maret 2020. Adapun untuk mengantisipasi beban pelaporan e-Filing tahun pajak 2019, DJP telah menambah server sejumlah 10 sehingga menjadi 20 server. (APBN KiTa Maret 2020)
Dalam laporan APBN KiTa April 2019, Kementrian Keuangan mengklaim isi e-mail yang dikirimkan merupakan hasil riset dengan menerapkan pendekatan perilaku wajib pajak (behavioural insights). Masih dalam laporan tersebut, disebutkan pada tahun 2019 terjadi perubahan perilaku wajib pajak yang terdorong melaporkan SPT lebih awal.
Akibatnya terjadi pergeseran beban puncak SPT Tahunan menjadi sebelum 16 Maret 2019 sesuai isi himbauan dalam e-mail. Hasilnya penyampaian SPT orang pribadi (OP) elektronik tahun pajak 2018 naik menjadi 95 persen dari sebelumnya 83 persen.
Sayangnya, untuk tahun pajak 2019, per 1 Mei 2020, masih terdapat sekitar 7 juta wajib pajak orang pribadi dan badan yang belum menyampaikan SPT Tahunan. Menurut DJP, turunnya jumlah pelaporan SPT Tahunan dipengaruhi penghentian sementara pelayanan tatap muka.
Betapa tidak, pada musim pelaporan SPT Tahunan yang lalu, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) penuh dengan wajib pajak. Baik itu untuk berkonsultasi seputar SPT elektronik, meminta e-FIN, atau mengatur ulang password DJPOnline. Di mana akibat pandemi COVID-19 kegiatan tatap muka langsung menjadi ditiadakan dan wajib pajak kesulitan dalam melakukan konsultasi yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka langsung.
Sebenarnya DJP telah mengantisipasi padatnya wajib pajak di KPP, misalkan terkait e-FIN, dengan menggunakan Kring Pajak 1500200, melalui telepon atau email resmi masing-masing KPP, akun media sosial KPP, atau yang terdapat dalam laman www.pajak.go.id/unit-kerja. Namun belakangan layanan telepon Kring Pajak dihentikan sementara.
Walaupun layanan telepon Kring Pajak dihentikan sementara, wajib pajak tetap dapat menggunakan layanan melalui twitter @kring_pajak, email [email protected] untuk informasi, email [email protected] untuk pengaduan, dan live chat di laman www.pajak.go.id.
Tidak hanya itu, DJP juga mengantisipasi adanya wajib pajak yang belum paham bagaimana tata cara pengisian SPT secara e-Filing atau e-Form dengan mengadakan kelas pajak online. Sebagian kecil KPP juga menyediakan nomor seluler khusus untuk konsultasi SPT yang terdapat di laman www.pajak.go.id/unit-kerja.
Di lapangan, tetap saja terdapat kesulitan bagi wajib pajak yang tidak terbiasa dengan digitalisasi layanan perpajakan. Mengingat sebelumnya, e-Fin atau e-Filling tetap saja dimanfaatkan oleh wajib pajak dengan melakukan layanan tatap muka dengan petugas di KPP. Hilangnya tatap muka tersebut sulit digantikan dalam konteks perubahan yang sangat cepat.
Menurut DJP, turunnya jumlah pelaporan SPT Tahunan 2019 menjadi pembelajaran baik bagi wajib pajak maupun DJP. Ke depannya, DJP akan semakin banyak memanfaatkan pelayanan melalui saluran elektronik dan teknologi informasi.
Pentingnya Layanan Pajak secara Digital
Digitalisasi layanan pemerintah selama pandemi Covid-19 untuk memberikan informasi yang akurat, bermanfaat dan terkini kepada masyarakat adalah penting, begitu menurut United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN DESA) dalam laporannya berjudul COVID-19: Embracing digital government during the pandemic and beyond (April 2020).
DJP pun, melalui laman www.pajak.go.id/covid19 memberikan informasi terkini mengenai kebijakan DJP dalam merespons Covid-19, termasuk di dalamnya pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan selama masa pandemi Covid-19. Selain melalui laman tersebut, DJP juga memanfaatkan berbagai kanal media sosial dan media masa digital untuk menginformasikan berbagai kebijakan perpajakan merespon pandemi Covid-19.
Dalam laporannya berjudul Tax and Fiscal Policy in Response to the Coronavirus Crisis, OECD menekankan pentingnya penguatan otoritas perpajakan melalui penggunaan teknologi baru dan digitalisasi. Diharapkan dengan digitalisasi layanan perpajakan akan meningkatkan kepatuhan dan mengurangi beban pada wajib pajak dengan administrasi perpajakan yang lebih baik (OECD, 2020).
Inovasi Layanan Digital
Akibat pandemi Covid-19, kebutuhan penerapan layanan teknologi menjadi sangat penting untuk menjamin efektifitas pelayanan publik (UN/DESA, 2020).
Berkaca dari dunia kesehatan komersiil, teknologi kecerdasan artifisial telah menunjukkan kemampuan beradaptasi di tengah pandemi. Layanan aplikasi “dokter virtual” melalui telemedicine untuk mendapatkan saran medis dan bahkan resep obat menjadi suatu hal yang normal dilakukan sekarang ini.
Bagaimana dengan DJP? Penulis membayangkan suatu saat nanti akan ada aplikasi di smartphone yang terintegrasi dengan seluruh layanan pajak di masing-masing KPP. Setelah wajib pajak memasukkan identitas pajaknya untuk login, akan ada “petugas pajak virtual” yang bertugas sebagai helpdesk, atau sebagai account representative.
Nanti melalui aplikasi tersebut, wajib pajak bisa chat dengan “petugas pajak virtual” untuk meminta saran atau panduan dalam administrasi pajak. Bisa saja “petugas pajak virtual” tersebut hasil dari kecerdasan artifisial atau juga tetap representasi dari petugas pajak sesungguhnya, hanya saja interaksinya melalui saluran digital.
Penerapan kecerdasan artifisial yang lebih unik dapat dilihat di Tiongkok. Di Distrik Dianbai, Maoming, Propinsi Guangdong misalnya, otoritas pajak di sana telah memperkenalkan robot cerdas ‘face-to-face tax” yang pertama di Tiongkok. Bahkan, National Taxation Bureau Tiongkok telah menerapkan kecerdasan artifisial, yaitu Lingyun robot customer service yang dapat memberikan layanan konsultasi melalui telepon 24 jam setiap hari (Ding dalam Huang, 2018).
Model pelayanan tersebut di atas adalah model digitalisasi interaksi, di mana DJP juga telah memanfaatkan teknologi informasi untuk mempercepat layanan perpajakan yang minim interaksi. Live chat melalui website DJP dan beberapa nomor kontak whatsapp DJP pun sudah menggunakan kombinasi antara chat bot dan petugas pajak.
Sebut saja layanan konsultasi Kantor Wilayah DJP Jawa Barat I yang diberi label TASYA (Tanya SaYA). Ada 6 fitur utama TASYA, yaitu panduan pajak, persyaratan pajak, formulir pajak, tenggat pajak, tanya dan konsultasi, serta daftar kontak KPP se-Kanwil DJP Jawa Barat I (Bisnis Jabar, 27/03/2020).
Lebih lanjut, DJP sendiri telah mencanangkan program Click, Call, and Counter (3C) sebagai bagian dari transformasi layanan digital. Yaitu, program pelayanan dengan konsep eskalasi di mana kebutuhan WP dapat dilayani secara digital termasuk untuk mengajukan permohonan (Click), kemudian jika belum terpenuhi kebutuhannya, wajib pajak dapat menelepon (Call) contact center, dan pada akhirnya wajib pajak dapat menemui petugas pajak di Counter.
React, Resolve and Reinvent
Menurut UN DESA, pandemi Covid-19 memaksa lembaga pemerintahan dan publik untuk beralih kepada teknologi digital untuk merespon terhadap krisis dalam jangka pendek (React), menyelesaikan masalah dalam jangka menengah (Resolve) dan memformulasi ulang sistem dan kebijakan dalam jangka panjang (Reinvent) (UN DESA, 2020).
Saat ini, DJP telah mempertontonkan kecepatan reaksi DJP dalam merespon pandemi Covid-19 dalam bentuk digitalisasi layanan pajak. Menurut penulis, belum pernah perubahan layanan digital pajak mengalami perubahan secepat ini sebelumnya, dan hal ini patut diapresiasi.
Untuk jangka menengah penulis berharap DJP dapat menyelesaikan masalah-masalah yang belum diselesaikan. Khususnya, terkait pelaksanaan ketentuan peraturan pajak yang belum dilaksanakan secara digital.
Kemudian, dalam jangka panjang, DJP diharapkan untuk memformulasi ulang sistem administrasi pajak secara digital dalam merespon kejadian kahar atau bencana alam dan nonalam. Mengingat, Indonesia menduduki peringkat ke 5 negara top 20 economies yang mengalami bencana alam terbanyak kurun waktu tahun 2000 sampai 2017 (UN, 2018).